KOMPAS, Selasa, 29 Mei 2002
Pangkoopslihkam Maluku Sekaligus Jadi Pangdam
Jakarta, Kompas - Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Endriartono
Sutarto akan melantik Mayor Jenderal Djoko Santoso sebagai Panglima Kodam
XVI/Pattimura menggantikan Brigjen Mustopo, Kamis (30/5) besok. Djoko sekaligus
akan menjabat sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan
(Koopslihkam) Maluku.
Penunjukan Djoko, yang kini menjabat Panglima Divisi II Komando Cadangan
Strategis TNI AD (Kostrad), didasarkan pada Surat Keputusan Panglima TNI No
Skep/388/V/2002 yang ditandatangani oleh Panglima TNI Laksamana Widodo AS, 27
Mei 2002, sedangkan Mustopo akan ditarik ke Markas Besar TNI AD.
"Belum diputuskan posisi apa yang akan diduduki Brigjen Mustopo. Masih akan
dilakukan pengaturan personel di lingkungan TNI AD," kata Kepala Dinas Penerangan
(Dispen) TNI AD Brigjen Ratyono kepada Kompas, Selasa.
Kepala Pusat Penerangan (Puspen) TNI Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin menjelaskan,
penunjukan Mayjen Djoko Santoso didasari dua hal. Pertama, dilakukannya
peningkatan organisasi Kodam XVI/Pattimura yang semula hanya dipimpin jenderal
berbintang satu. Kedua, perlunya sinkronisasi terhadap restrukturisasi untuk
meningkatkan efektivitas Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD) Maluku, dengan
dibentuknya Koopslihkam.
Koopslihkam yang dipimpin Panglima Kodam XVI/Pattimura berada di bawah
Gubernur Maluku sebagai PDSD dan membawahi Satuan Tugas (Satgas) Keamanan
dari unsur TNI dan Satgas Penegakan Hukum dari unsur Kepolisian RI (Polri).
"Manajemen operasional Koopslihkam Maluku sedang dalam perumusan secara
terpadu antara TNI dan Polri, sedangkan komando pengendaliannya langsung
dibawahi PDSD Maluku," kata Sjafrie.
Mantan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengharapkan, pembentukan
Koopslihkam di Maluku tidak dipertentangkan dengan Ketetapan MPR No
VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, yang mengatur peran TNI sebagai alat
pertahanan negara dan Polri sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat.
"Perdebatan itu perlu diselesaikan. Dulu Polri dikedepankan dengan harapan akan
efektif, namun kenyataannya Polri, Kejaksaan, maupun Pengadilan belum mampu
menghasilkan tertib sipil yang didambakan. Terus terang saja, masih dibutuhkan
kewibawaan TNI untuk mengembalikan situasi ke kondisi aman. Kehadiran TNI yang
diperlukan tentu saja tidak lagi salah prosedur, tidak asal main tembak," ujar Juwono.
Situasi dilematis yang dihadapi TNI di Maluku, menurut Sjafrie, karena belum jelasnya
tugas dan peran TNI maupun Polri dalam hal internal security (keamanan dalam
negeri). Hal itu pun diakui KSAD Jenderal Endriartono Sutarto saat menyampaikan
pemaparan sebagai calon Panglima TNI di Komisi I DPR 22 Mei lalu. Dalam
menyelesaikan berbagai persoalan keamanan, kata Endriartono, TNI sering
dihadapkan pada dilema antara kebutuhan nyata dengan kewenangan karena belum
ada aturan main atau hubungan kerja yang tegas dan jelas antara TNI dan Polri.
Selain masalah internal security, aspek keamanan nasional juga mencakup public
security (keamanan dan ketertiban masyarakat) dan external defense (pertahanan
eksternal). "Public security jelas sepenuhnya tugas Polri, dan external defense
sepenuhnya tugas TNI. Akan tetapi, menyangkut internal security, tidak jelas berapa
besar porsi TNI dan berapa besar porsi Polri," ujar Sjafrie.
Polri tak masalah
Sedangkan dari pihak Polri, Wakil Kepala Badan Humas Polri Brigjen (Pol) Edward
Aritonang, Selasa siang, mengatakan, Mabes Polri masih membahas siapa perwira
tinggi Polri yang akan ditugaskan sebagai Wakil Pangkoopslihkam di Maluku.
Diharapkan, pada akhir pekan ini juga sudah ditetapkan siapa brigjen (pol) yang
ditugaskan untuk itu.
"Yang sedang dibahas, bukan persoalan struktur Koopslihkam-nya. Hal itu sudah
tidak menjadi masalah lagi karena Polri ikut dalam rapat pembentukannya. Yang
sekarang kami bahas adalah siapa personel Polri yang tepat untuk menduduki
jabatan Wakil Koopslihkam itu," jelasnya.
Menurut Aritonang, ada tiga kemungkinan. Pertama, jabatan itu dirangkap oleh
Kepala Polda Maluku Brigjen (Pol) Soenarko DA. Kedua, menugaskan personel Polri
lain. Ketiga, baik Wakil Pangkoopslihkam maupun Kepala Polda Maluku sama-sama
dijabat oleh dua orang baru.
Kepala Polda Maluku Brigjen (Pol) Soenarko DA hari Selasa siang menerima 719
anggota Brigade Mobil (Brimob). Kedatangan Brimob di bawah kendali operasi (BKO)
Polda Maluku ini untuk menggantikan 1.161 anggota Brimob yang selesai masa
tugasnya di Maluku. Mereka berasal dari Resimen I dan II Kelapa Dua sebanyak 219
orang, serta Satuan Brimob Polda Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara
Timur (NTT), Sulawesi Tenggara (Sultra), dan Sulawesi Utara (Sulut) masing-masing
100 orang.
Keseluruhan anggota Brimob yang baru tiba tersebut akan ditempatkan di sembilan
pos di wilayah kerja Polda Maluku. Di dalam Kota Ambon, selain di Polda Maluku dan
Polres Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease, mereka juga akan disiagakan di wilayah
Gonsalo, Tantui, Batugong, Suli, dan Nania. Di luar Kota Ambon, dua satuan
setingkat kompi (SSK) Brimob akan ditempatkan di wilayah Pulau Saparua.
Sebelumnya, jumlah seluruh anggota Brimob yang di-BKO-kan di Polda Maluku
mencapai 1.366 orang. Sebanyak 1.161 anggota di antaranya direncanakan
dikembalikan ke kesatuan masing-masing sekitar 30 Mei mendatang setelah
menjalani penugasan minimal enam bulan. Sementara, 201 anggota yang baru tiba di
Kota Ambon, 2 April lalu, masih memperkuat tugas operasional di Maluku.
Bisa menjamin
Sosiolog Dr Thamrin Amal Tomagola mengungkapkan, pengangkatan seorang
perwira tinggi TNI berbintang dua akan menyatukan kekuatan TNI dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia (Polri) yang selama ini dinilai kurang bersatu sehingga
konflik di Ambon terus terjadi. Dengan menyatukan kekuatan TNI dan Polri di bawah
kendali seorang, keamanan di Ambon bisa lebih dijamin.
"Kita perlu memberikan waktu sebulan untuk melihat apakah jenderal bintang dua itu
efektif mengamankan Ambon," ujar Thamrin di Jakarta, Selasa.
Thamrin mengakui, semestinya pada tingkat darurat sipil bukan kekuatan dan
kepemimpinan militer yang dikedepankan, melainkan kepemimpinan sipil. Tetapi,
karena selama ini dianggap ada masalah dengan kepemimpinan sipil di Ambon, maka
tampilnya seorang pati berbintang dua diharapkan dapat membantu.
Campur tangan
Masih terkait masalah konflik di Ambon, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII)
sangat memprihatinkan adanya campur tangan lewat resolusi parlemen Uni Eropa
dalam kasus Maluku. "Saya kira hal itu tidak terlepas dari permintaan sekelompok
orang di dalam negeri. Misalnya, seperti Front Kedaulatan Maluku (FKM) dan
lembaga gereja yang mengirim surat ke PBB dan mengundang PBB ikut campur
tangan menangani kasus di sana," kata Sekjen DDII Hussein Umar, usai menghadap
Wakil Presiden Hamzah Haz di Istana Merdeka Selatan, Jakarta, Selasa.
Hussein Umar menyatakan, tuduhan pihak asing merupakan skenario global untuk
menghancurkan gerakan dakwah Islam di Indonesia. Ia menilai tuduhan terhadap
tokoh-tokoh yang dianggap orang garis keras seperti Ja'far Umar Thalib, Habib Rizieq,
dan Abu Bakar Baasyir merupakan tuduhan tak berdasar.
"Apa yang salah dari orang-orang ini? Opini garis keras terhadap mereka harus
dihilangkan. Apakah dengan pakaian seperti itu mereka dikatakan sebagai garis
keras. Kami menolak ungkapan garis keras itu," katanya.
Menurut Hussein, DDII mengingatkan pemerintah agar pihak luar tidak terlalu jauh ikut
campur tangan masalah dalam negeri. "Soal Ambon atau Aceh, itu masalah dalam
negeri kita. Kita tidak dapat menerima perlakuan seperti itu," katanya. Hussein
menegaskan, umat Islam merupakan salah satu pilar utama tegak kokohnya Negara
Kesatuan RI. "Kami khawatir terhadap ancaman disintegrasi bangsa sehingga kami
menolak dengan tegas campur tangan asing pada masalah dalam negeri," katanya.
(lam/rts/tra/dik/mba)
Copyright © 2002 PT. Kompas Cyber Media
|