The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Melukis Damai Di Dulang Durian


MASARIKU NETWORK

Melukis Damai Di Dulang Durian

Dear All,

Hari menjelang sore ketika Masariku Network Ambon menyusuri jalan-jalan panas menuju daerah Toisapu, di petuanan adat negeri Hutumuri Pulau Ambon. Seminggu belakangan ini Toisapu telah menjadi incaran para penikmat buah durian, yang umumnya berdatangan dari Kota Ambon. Dari Ambon kami berangkat pada jam 1400 setelah memperoleh informasi bahwa biasanya petani durian menurunkan durian dari hutan pada pagi hari, dan berikutnya pada sekitar jam 1500 . Kami melewati daerah Galunggung di Negeri Batumerah dengan kecepatan sedang, sambil sesekali melambaikan tangan kepada teman-teman Muslim yang berpapasan di wilayah itu. Di depan kantor Pajak Bumi & Bangunan mobil kami dihentikan oleh beberapa pemuda tanggung, yang lalu menyodorkan kotak amal melalui jendela kaca yang terbuka. Tak nampak wajah garang melainkan senyum manis dan sapaan asalamu walaikum. Pada badan kotak itu tertempel kertas bertuliskan ‘dana pembangunan masjid'di kawasan itu. Segera kami membalas sapaan mereka, dan dua orang teman yang menyertai kami segera menyodorkan lembaran sepuluh ribuan ke dalam kotak amal itu. Menerimanya pemuda tanggung itu berulangkali mengucapkan terima kasih. ‘Jalan sa abang, seng usah takut-takut'(silahkan jalan abang, tak perlu takut), demikian ia menimpali sebelum kami melanjutkan perjalanan. Mendengar itu seorang rekan di mobil kami menjawab pasti"iyo katong parcaya" (ya kami percaya) sambil perlahan kendaraan kami bergerak ke arah Negeri Galala. Melewati negeri Galala menuju Negeri Paso kami berpapasan dengan beberapa mobil yang membawa penumpang dari Negeri Tulehu menuju Ambon. Beberapa diantara mereka yang sempat mengenali kami, melambaikan tangannya dengan penuh senyum. Tak terlihat raut kecemasan apalagi ketakutan di wajah mereka, ketika melintasi jalur yang didominasi oleh negeri-negeri Kristen dalam perjalanan menuju pusat kota Ambon. Kendaraan segera diperlambat ketika kami hendak melintasi kepadatan ruas jalan di pasar Negeri Passo. Para penjaja durian, langsat, dan manggis tumpah ruah bercampur dengan penjual ikan, sayur-sayuran serta kebutuhan dapur lainnya. Sejak pecahnya kerusuhan daerah pasar kaget yang dibangun berdekatan dengan Sekolah Polisi Negara ini menjadi pusat kesibukan dan kepadatan negeri Passo. Selain tentunya daerah pelabuhan Passo yang sekarang telah menjadi tempat persinggahan berbagai angkutan laut dari negeri-negeri Kristen di Lease dan Seram.

Di tengah kepadatan dan kemacetan pasar Passo, tiba-tiba kami dikejutkan dengan tepukan lembut di pundak kami dari arah luar jendela kaca mobil. Tak disangka seorang teman lama asal Negeri Tulehu telah berdiri disamping mobil, dan menyapa diantara keriuhan suara para pedagang menawarkan dagangannya. Dade, biasa kami menyapanya segera menawarkan pada kami untuk mengunjungi rumahnya di Negeri tulehu. Sebelum kerusuhan biasanya kami mampir di rumah dade yang kebetulan berdekatan dengan pangkalan speed boat trayek Ambon – Haruku. Di rumahnya yang sederhana itu selalu kami disungguhi kopi dan panganan kecil lainnya, sambil menunggu keberangkatan speed boat,. Sayang sekali tiga tahun kerusuhan merampas keakraban yang pernah kami bangun dulu. Makanya kami heran ketika menemuinya di tengah karamaian ruas jalan pasar Passo. Sambil beringsut di belakang antrean kendaraan yang sedang macet itu, Dade menjelaskan bahwa dirinya baru saja melakukan transaksi ikan di pasar itu. Ternyata Dade tidak sendiri, karena ia segera menunjuk kepada empat orang temannya yang sedang berteduh di emperan toko disamping jalan. Mereka terlihat akrab bercengkerama dengan beberapa pemuda asal Negeri Passo. Bahkan sempat kami mengenali juga dua orang pemuda asal Negeri Waai yang tertawa lebar bersama mereka. Rasa haru segera terlintas di benak kami menyaksikan keakraban yang terbangun diantara mereka. Namun kami segera dikejutkan oleh suara Dade yang menawarkan untuk turut bersama kami ke Toisapu. Tentu kami tak menolak, dan segera membukakan pintu baginya. Tak berapa lama kemudian kami melepaskan diri dari jeratan kemacetan itu, dan segera melaju menuju Toisapu. Perjalanan menuju Toisapu lebih merupakan perjalanan melepas kangen, terutama setelah Dade bergabung di mobil kami. Sepanjang perjalanan Dade menceritakan besarnya harapan masyarakat negeri Tulehu, supaya interaksi sosial yang pernah dibangun dulu dapat dirajut kembali. Dade bahkan dengan panjang lebar menjelaskan kesiapan sikap masyarakat Tulehu, untuk menyambut saudara mereka masyarakat negeri Waai kembali ke petuanan negerinya kembali. Memang terkadang ada juga sikap yang menolak, namun hal itu lebih banyak disebabkan oleh provokator para pendatang yang tak memahami asal-usul hubungan kultural diantara kedua negeri, tegas Dade. Tersirat kelirihan dan rasa haru membungkus setiap penggal kata ketika Dade menegaskan hal itu. Kaharuan yang mencitrakan ketulusan hati dan kemurnian nurani, disaat kami menuruni tanjakan terakhir memasuki daerah Toisapu.

Membelok memasuki petuanan Toisapu kami segera menjumpai pemandangan khas daerah penghasil durian. Tumpukan durian terhampar di kiri dan kanan jalan yang kami lalui, sambil ditunggui penjualnya. Dengan wajah ramah mereka menyapa setiap pengendara mobil yang melambatkan kendaraannya, sambil menawarkan tumpukan buah harum itu dengan harga yang cukup terjangkau. Beberapa mobil pick up terlihat berhenti dan melakukan transaksi durian, untuk kemudian dijual di pusat kota Ambon dengan harga yang tentunya jauh lebih mahal. Sejenak kemudian kami terpana melihat dua wanita berkerudung sedang mencoba menawar durian dari salah seorang penjual, sambil sesekali tertawa kecil. Tak sulit untuk menduga bahwa keduanya berasal dari komunitas Muslim. Sejenak terasa ada suatu daya sugestif yang memaksa kami menghentikan mobil dan kemudian menghampiri mereka. Mendekati mereka terdengar jalinan percakapan menarik diantara keduanya dengan ibu penjual durian tersebut."Tanta jang liat katong Acang lalu kasih mahal harga" (tante jangan karena kami Acang\Muslim lalu harganya dinaikan), ucap salah satu dari antara mereka kepada ibu pemilik durian itu."Ao seng nona, Acang jua su banyak yang datang beli disini, beta seng parlente" (ah, tidak nona, Acang\Muslim juga sudah banyak yang beli disini, saya tidak berbohong) jawab ibu penjual durian ramah."Iyo tanta, katong parcaya" (Iya tante, kita percaya), jawab si gadis berkerudung merah.

Dua gadis berkerudung membeli durian di salah satu pusat komunitas Kristen. Akan terlihat sederhana sebagai sebuah realitas umum di musim durian, bila kita tak mengingat bahwa konflik sosial selama tiga tahun telah hampir merobek hancur seluruh interaksi sosial diantara kami. Karenanya kehadiran dan interaksi antara kedua gadis berkerudung dengan ibu penjual durian, tiba-tiba menjadi sebuah realitas yang mahal untuk dinikmati. Entah mengapa tiba-tiba keinginan kami untuk membeli durian sirna begitu saja. Berempat kami terdiam dan saling memandang. Tak ada kata-kata yang terucap, namun kami bisa saling merasakan dan memahami perasaan setiap kami. Tanpa sadar kami mencapai sebuah pengertian batiniah yang universal, bahwa ternyata kami saling membutuhkan.

Dua kali ungkapan rasa percaya kami dengar sepanjang perjalanan hari ini. Ungkapan percaya di daerah Galunggung dari mulut seorang Kristen, dalam perjalanan menuju Toisapu. Dan berikutnya ungkapan percaya dari seorang gadis berkerudung disisi dulang ibu penjual durian. Selang beberapa menit kami merasakan suatu euforia batiniah, terhadap hadirnya kembali kepercayaan yang tulus diantara kami. Batin kami menari diiringi dinamika gendang perdamaian, yang mendinamisir aliran darah di tubuh kami. Ternyata perdamaian tak pernah bisa dihancurkan, ketika kami saling percaya. Sekalipun mungkin kepercayaan itu dilukis, di atas dulang seorang penjual durian.

MASARIKU NETWORK AMBON
 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/unpatti67
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044