The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Menolak Militerisme Di Maluku


Menolak Militerisme Di Maluku

Pengantar

Militer kembali berkuasa di Maluku? Jika pada beberapa saat lalu, Maluku diwarnai oleh bentrokan antar aparat militer versus kepolisian, maka pada saat ini jelas tampak bahwa militer menancapkan kuku dan menyalip peran kepolisian di Maluku. Dari waktu ke waktu, peran militer semakin kukuh. Namun, pertentangan ini ternyata bukan kisah baru, melainkan sudah merupakan cerita lama selama terjadinya kerusuhan. Pertentangan ini menimbulkan kecurigaan dan dugaan yang makin menguat, bahwa berbagai institusi ini memiliki kepentingan terhadap kelanggengan kekerasan di Maluku.

Latar Belakang

Orang patut menjadi curiga, sebab setiap kali peran militer mengalami degradasi maka kekerasan terjadi dan peran militer menjadi kukuh. Pada awal kerusuhan, di Ambon hanya ada Korem (Komando Resort Militer) dan keadaan yang rusuh tidak bisa dipulihkan. Korem kemudian meningkat menjadi Kodam (Komando Daerah Militer), yang ternyata juga tidak berdampak pada pulihnya keadaan Maluku. Peningkatan Korem menjadi Kodam, ditandai pula oleh kejadian kekerasan mendahuluinya.

Saat Kodam sudah hadir, muncul lagi masalah yang menunjukkan soal komando lapangan. Kekerasan terjadi, kepolisian dinilai gagal, maka komando lapangan beralih ke tangan pimpinan militer. Ternyata keadaan tidak juga pulih. Kekerasan berlanjut, laskar jihad hadir tanpa halangan apapun dari militer, mengesampingkan perintah Presiden Wahid yang melarang laskar jihad dibiarkan berangkat ke Maluku. Kekerasan berlanjut terus.

Keadaan Darurat Sipil kemudian dicanangkan oleh pemerintah. Pada posisi ini, ternyata peran militer dibatasi oleh kekuasaan yang dipegang oleh Gubernur (sebagai perwakilan Presiden di daerah) sebagai Penguasa Darurat Sipil di Daerah (PDSD). Kebetulan, orang yang menduduki jabatan Gubernur/PDSD adalah seorang sipil, demikian pula yang menjabat sebagai Presiden (Penguasa Darurat Sipil di tingkat Pusat/PDSP).

Dalam keadaan ini, banyak masalah timbul. Berbagai informasi didengar oleh masyarakat, mengenai benturan opini antara para pejabat dalam hal law enforcement di Maluku. Keadaan Maluku tidak pulih juga, malah makin menimbulkan korban yang banyak dan kerugian yang lebih besar. Eksesnya pun muncul dalam berbagai bentuk, hingga sampai pada soal aspirasi separatisme dll.

Terkadang, keadaan memburuk justru karena dipicu oleh perbedaan-perbedaan pandangan antara para pejabat sipil dan militer tersebut. Keadaan ini tidak saja dipicu oleh pejabat militer, melainkan juga kepolisian. Selain itu, pembiasan kebijakan juga terjadi sehingga semakin menegaskan segregasi yang terjadi di antara dua komunitas di Maluku, sehingga rakyat seakan-akan terus dipelihara untuk hidup dalam suasana yang kontradiktif-antagonistik.

Sebagai contoh, ada masa dimana kepolisian mendapat sorotan negatif, terutama dibawah pimpinan Kapolda Firman Gani yang berujung pada kasus Wijaya II (beberapa perwira Polisi dan Tentara ditangkap sebagai provokator kerusuhan). Kepolisian pada level pemimpinnya, waktu itu juga dicurigai terlibat dalam kerusuhan. Selain itu, kepolisian juga dinilai tidak tegas dalam pelaksanaan tugas-tugas mereka. Pada kasus Kesui, proses visum terhadap para korban sunat-paksa (forced-circumcision) tidak pernah dilaksanakan, pelaku kejahatan juga tidak pernah diusut hingga kini. Dalam kasus FKM, kepolisian dinilai melakukan proses tarik-ulur yang seakan-akan memelihara ketegangan dan kekerasan potensial (pembiaran yang menyebabkan pembesaran masalah dan tidak ada langkah preventif sejak awal).

Pada saat yang lain, militer yang mendapat sorotan masyarakat. Kasus penghancuran kampus Universitas Pattimura, terjadi di depan hidung aparat militer, sehingga masyarakat sukar memahami bahwa militer tidak terlibat dalam kejadian tersebut. Hancurnya asset negara miliaran Rupiah, merupakan tanggung jawab aparat militer. Disertai dengan tergusurnya 30.000 penduduk dari Poka, Rumatiga, dan Wailela ke pengungsian merupakan suatu tragedi yang menadirkan kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan negara melindungi rakyat.

Namun kehancuran berbagai fasilitas umum sudah terjadi sebelumnya juga, dalam skala yang luas. Kehancuran kampus UKIM, perkantoran PT Telkom, dll, yang dalam salah satu footage televisi internasional, menimbulkan kecurigaan akan adanya hubungan antara kehadiran laskar jihad di Maluku dan peran aparat militer dalam kerusuhan.

Hubungan antara kehadiran laskar jihad dan aparat militer, sudah lama menjadi kecurigaan. Namun ini memang sebatas kecurigaan, sebab sulit bagi rakyat untuk memahami akan adanya relasi antara laskar jihad yang berideologi primordialistik-agama dengan tentara nasional Indonesia yang nasionalistik itu. Namun kecurigaan itu memang terus hidup, sebab berbagai pertanyaan tidak pernah terjawab, seperti:

* mengapa ribuan anggota laskar jihad bisa tidak dicegah masuk ke Maluku, pada saat diketahui bahwa kehadiran mereka akan potensial bagi meningkatnya kekerasan;

* penghancuran kawasan perdagangan di Jl AY Patty bisa terjadi di hadapan para aparat keamanan bersenjata lengkap;

* penyerangan asrama polisi (Brimob) di Tantui dan perampasan senjata/amunisi dari gudangnya bisa terjadi tanpa halangan;

Semuanya itu terlalu sukar untuk dipahami sebagai kebetulan, kecuali jika memang semua peristiwa itu merupakan tanda akan melemahnya kemampuan aparat keamanan di Indonesia melaksanakan tugasnya. Yang muncul kemudian adalah kesan, bahwa aparat keamanan di Indonesia paling bersemangat memperjuangkan peran dan kekuasaannya, tapi sangat lemah dalam mengimplementasikan tugasnya.

Berbagai tindak kekerasan terus terjadi di Maluku. Tragedi kemanusiaan berlangsung di berbagai pelosok kepulauan ini. Banyak kasus kekerasan hingga kini tidak pernah terlacak, seperti:

* pembunuhan terhadap 176 orang penduduk desa Duma di Halmahera dihadapan beberapa orang aparat militer, diikuti dengan kematian 500 orang pengungsi Duma yang melarikan diri dan tenggelam bersama dengan kapal KM Cahaya Bahari;

* penggusuran 30.000 penduduk dari Poka, Rumatiga, dan Wailela bersama kehancuran berbagai fasilitas publik milik semua orang, baik Salam maupun Sarani;

* pemaksaan pindah agama dan penyunatan paksa serta mutilasi wanita (female-genital mutilation), yang dialami oleh lebih dari 600 orang penduduk di pulau Kesui dan sekitarnya.

Semua tragedi di atas, menimbulkan pertanyaan dari masyarakat "Apa yang sebenarnya dicari dari semua kekerasan yang semakin berkanjang di Maluku?".

Sebenarnya, kecurigaan mengenai terkontaminasinya aparat militer dalam tindak kekerasan di Maluku, sudah pernah diakui sendiri oleh Pangdam I Made Yasa. Dalam suatu kesempatan, beliau mengemukakan bahwa sekitar 5% aparat militer, pada saat itu, terlibat kerusuhan. Juga dikatakannya, bahwa kekuatan militer kalah dari pasukan "putih". Kalau demikian keadaannya, rakyat patut memperoleh penjelasan dari pemerintah tentang:

* Apa yang sebenarnya terjadi?

* Siapa yang menyebabkannya terjadi? dan,

* Mengapa tidak bisa ditangani?.

Kekerasan antara para aparat keamanan sendiri sudah sering terjadi. Pada bulan Juli 2000, aparat keamanan baku tembak pada saat terjadi razia senjata terhadap anggota laskar jihad. Korban jatuh di pihak rakyat sipil, sebab kejadian tersebut melibatkan senjata berat termasuk panser! Anehnya, hingga kini tidak ada pertanggung jawaban pimpinan militer terhadap kerusakan yang ditimbulkan anak buahnya, terhadap harta benda milik rakyat sipil.

Kejadian lainnya berupa insiden di hotel Wijaya II, berupa operasi Batalyon Gabungan (Yon-Gab) terhadap para perwira kepolisian dan tentara yang menjadi provokator kerusuhan. Hingga kini, kelanjutan kasus tersebut tidak terdengar lagi, raib ditelan waktu.

Pada tahun 2001, terjadi insiden lainnya berupa baku tembak antara aparat Marinir versus personel Brimob, melibatkan alat persenjataan berat, menimbulkan kerusakan di berbagai tempat milik negara, dan menyebabkan ketegangan di kalangan rakyat sipil. Jadi tidak membantu untuk memulihkan keadaan.

Dengan demikian, kejadian bentrokan antara tentara Kopassus dengan polisi bukan lagi kabar baru di Maluku. Namun yang penting dicatat, bahwa kejadian itu melibatkan pula sikap dari dua lembaga yang berbeda (Polisi dan Tentara), mengenai hak untuk memeriksa tersangka pelaku kerusuhan. Anehnya, pemeriksaan terhadap tersangka pelaku kerusuhan itu menimbulkan kesan:

* Adanya sesuatu yang disembunyikan dan bisa terungkap lewat pemeriksaan; dan,

* Pengungkapan itu akan menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.

Pilihan Kebijakan

Pada waktu terakhir ini, ada kesan pemerintah berusaha membelokkan kenyataan dengan memunculkan kesan, bahwa seakan-akan dua komunitas di Maluku masih saling bertikai. Juga muncul kesan, bahwa seakan-akan pertikaian berlanjut karena munculnya masalah aksi separatisme RMS.

Kenyataan yang ada sekarang di Maluku, adalah:

* Kejadian saling menyerang antara dua komunitas sudah berhenti sejak bulan Oktober 2000 (kerusuhan di pulau Saparua);

* Komunitas Salam dan Sarani sudah membangun hubungan menuju rekonsiliasi lewat inisiatif seperti gerakan Baku-Bae dan perjanjian Malino II;

* Bentrokan yang sering terjadi sejak Oktober 2000, adalah bentrokan antara sekelompok perusuh dengan aparat keamanan (misalnya; bentrokan antara Yon-Gab dengan laskar jihad);

* Tindak kekerasan yang masih sering terjadi, adalah serangan ala teroris ke berbagai pemukiman penduduk dan membunuh penduduk di sekitar situ (ingat kasus Belakang Soya, Gonsalo Veloza, dan Soya);

* Ketegangan karena berlanjutnya kehadiran laskar jihad, yang menentang semua usaha rekonsiliasi dan memaksakan penduduk muslim untuk menerima pandangan-pandangan mereka mengenai kerusuhan;

* Munculnya organisasi FKM yang kemudian direaksi oleh pemerintah secara hostile "seakan-akan" sebagai bukti kehadiran RMS dalam skala besar di Maluku;

* Gagasan Darurat Militer, sudah secara jelas ditolak baik oleh rakyat maupun oleh pemerintah Maluku.

JADI?

Usaha terakhir menerapkan "Darurat Militer Terselubung" melalui kehadiran Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan (Pangkooplihkam) merupakan pilihan yang SALAH.

Karena pilihan rakyat lewat jalur yang partisipatif-demokratis (inisiatif rekonsiliasi) sedang berjalan, seharusnya itu yang diberi dukungan optimal dan bukannya dukungan setengah hati. Apalagi karena lewat jalur tersebut peran aparat keamanan menjadi berkurang. Seharusnya aparat keamanan lebih bergembira jika rakyat bisa mengatur keamanan dirinya sendiri.

Oleh karena itu, pemerintah harus mengambil pilihan yang BENAR, yaitu:

* Mendorong usaha re-integrasi antar komunitas, lewat cara-cara sipil, terbuka, dan jujur;

* Menegaskan tugas aparat keamanan adalah untuk mencegah distorsi atas usaha rekonsiliasi dari unsur-unsur anti-rekonsiliasi;

* Mengimplementasikan isi perjanjian Malino II dan memfasilitasi inisiatif rekonsiliasi seperti gerakan Baku-Bae; (di dalamnya sudah termasuk penegakan hukum; razia senjata; pengeluaran perusuh; dll);

* Mengurangi jumlah kehadiran aparat militer, menurunkan image kekerasan, dan memberi peran lebih besar kepada polisi dan lembaga penegakan hukum;

* Mencegah setiap proses politik negara (baik pusat maupun daerah) menjadi faktor distortif pada usaha rekonsiliasi.

From TL @ MASARIKU NETWORK AMBON
 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/unpatti67
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044