Jika Piagam Jakarta Diterima, Mega Bisa Kehilangan Bali
Hilversum, Selasa 06 Agustus 2002 13:30 UTC
Usulan menetapkan Piagam Jakarta dalam amandemen pasal 29 UUD 45 yang
diperjuangkan antara lain oleh Partai Persatuan Pembangunan, partainya Wakil
Presiden Hamzah Haz membuahkan sebuah pertanyaan besar tentang komitmen
kebersamaan. Piagam yang menjadikan Syariah Islam sebagai dasar hukum itu
menurut Drs. I Ketut Ngastawa, S.H. dari Pusat Kajian Hindu di Denpasar, Bali bisa
mengancam integritas bangsa. Lebih lanjut ia mengatakan apabila Presiden Megawati
tidak bisa bersikap tegas atas hal ini, maka Mega bisa kehilangan dukungan Bali.
I Ketut Ngastawa [IKN]: Ini dapat dimaknai bahwa kita masih mencari pijakan-pijakan
ke arah formalisme. Padahal ini sebenarnya sudah mantap, tetapi masih saja dicari
dan cenderung dalam kondisi bangsa Indonesia yang masih dalam krisis lalu muncul
seperti itu, boleh jadi menurut hemat saya ini sesuatu yang kurang mendukung
integritas bangsa Indonesia.
Jika hal ini dipaksakan oleh kelompok yang boleh dikatakan menyatakan dirinya
mayoritas, tetapi jika dicermati itu adalah oleh beberapa kelompok saja. Dan memang
karena masalah-masalah ini adalah masalah sangat laten, sehingga seolah-olah ini
menjadi sebuah keinginan besar dari sebagian bangsa ini.
Radio Nederland [RN]: Pak Ketut, dalam pernyataan mereka, mereka juga menyebut
bahwa apabila Syariah Islam berlaku kelompok minoritas jangan coba-coba
mengancam untuk memerdekakan diri. Bagaimana komentar anda?
IKN: Saya kira pernyataan yang ini pun merupakan semacam ancaman. Kalau itu
dipaksakan mereka juga tidak bisa memaksakan orang untuk menentukan
pilihan-pilihannya.
RN: Bagaimana reaksi teman-teman anda yang ada di Bali, yang menganut agama
Hindu, juga mendengar usulan Piagam Jakarta ini?
IKN: Dari dulu pandangang-pandangan orang Bali terhadap ini memang sedikit miring
karena apa yang dilakukan oleh orang-orang Bali khususnya pada republik ini kan
boleh dibilang tanpa reserve (tanpa syarat, Red). Jadi proses kebhinnekaan sangat
sangat dihargai di Bali. Dengan tutur yang begitu beragam, dan penghargaan atas
agama yang begitu beragam. Tetapi pemaksaan-pemaksaan semacam ini justru
mengingatkan apakah kita (masyarakat Bali, red) memang tidak diberikan
penghargaan oleh orang itu? Ini juga menjadi tanda tanya dari orang Bali khususnya.
Karena di Bali kulturnya beragam dan sangat menghormati.
Justru adanya kenyataan-kenyataan yang cenderung yang semakin mengkristal
oleh-oleh kelompok-kelompok tertentu belakangan ini, ini juga mengingatkan akan
eksistensi Bali. Apakah memang layak lagi untuk tetap berkomitmen seperti itu.
Semestinya komitmen-komitmen kebersamaanlah yang harus dikedepankan. Seperti
apa yang ditunjukan oleh masayarakat Bali pada umumnya.
RN: Apakah masyarakat Bali yang terkenal sungguh sangat mengagumi Presiden
Indonesia Megawati ini, masih cukup puas dengan cara kepemimpinan Megawati
yang cenderung plin-plan terhadap kelompok-kelompok yang mendukung Piagam
Jakarta ini?
IKN: Oh walau pun sikap Mega dengan semacam itu sedikit ada koreksi dari
masyarakat Bali tetapi apabila kemudian sikap-sikap kemudian yang kurang
mendukung dan kurang bijak dari Mega, atau Mega membuat blunder bagi Bali, ini
juga bisa menjadi bumerang bagi Mega pada khususnya untuk pandangan
masyarakat Bali terhadap Mega. Walaupun nuansa-nuansa sikap Mega seperti ini
hemat saya juga tidak lepas dari tindakan-tindakan atau barangkali telah dipengaruhi
oleh Taufik Kiemas, suaminya. Harus diakui sepintas menurut teman-teman saya itu
sedikit agak miring. Boleh dikatakan dengan begitu jauhnya terlibat Taufik Kiemas
khususnya ketika Megawati menjadi wakil presiden itu keterlibatan suaminya sangat
tinggi, sehingga dalam beberapa hal sikap mega dalam konteks ini "agak dimaklumi"
oleh masyarkat Bali karena terlalu jauhnya intervensi dari Taufik.
Tetapi apabila kemudian Mega memberikan statement (pernyataan, red) yang
memang nampaknya tidak mendukung konteks Bali yang sebenarnya adalah konteks
Indonesia dalam mendukung integritas, ini juga bisa menjadi hal yang berakibat fatal
ke depan. Dengan kata lain bisa saja Mega sudah tidak dianggap Fatsu, ini istilah
Fatsu ini adalah sudah tidak dianggap apa-apa lagi oleh Masayarakt Bali. Oleh sebab
demikian ini payah bagi Mega ke depan kan.
Demikian I Ketut Ngastawa, Sekretaris Pusat Kajian Hindu di Denpasar Bali.
© Hak cipta 2001 Radio Nederland Wereldomroep
|