Konflik Poso Pasca Perjanjian Damai Malino Bukti Mega-hamzah
Lemah
Hilversum, Rabu 07 Agustus 2002 14:00 UTC
Konflik antara Islam-Kristen di Sulawesi Tengah kembali terjadi sekalipun perjanjian
damai Malino telah disepakati kedua belah pihak. Menurut Pdt. Damanik dari pusat
krisis Poso, kerusuhan di Malitu dan Matako yang memakan korban lima orang luka
berat ini, membuktikan pemerintah sangat lemah. Megawati dan Hamzah Haz
nampaknya jauh lebih lemah dari Laskar Jihad, demikian Damanik.
Damanik (D): Tanggal 4 itu hari Minggu subuh sekitar jam 4 subuh tiba-tiba desa
Malitu itu diserang dari arah pengunungan dan dari arah laut. Dan yang diserang ini
justru terarah ke komunitas kristen di sana. Komunitas ini, yang sebenarnya dulu
adalah mereka yang sudah mengungsi ke Tentena tapi kemudian dalam proses
repatriasi, begitu pemerintah mengatakan aman dan sebagainya, ya dipulangkan ke
sana dan mereka mengalami lagi.
Kami mengadakan evakuasi terhadap penduduk yang masih ada di sana, terutama
yang beragama kristen. Karena hanya mereka yang diserang begitu. Dan kami
mendengar, dan kami melihat bekas-bekas termasuk bekas darah. Ada lima orang
yang tertembak begitu, tapi saat ini masih dirawat di rumah sakit di Tentena. Dan ada
27 rumah yang dibakar dan dua gereja rusak berat sekali. Dan gereja ini justru gereja
yang baru saja direnovasi dalam proses rekonsiliasi.
Radio Nederlan (RN): Penyerangan sendiri anda tidak bisa melihat atau katakan dari
informasi yang anda proleh, penyerangnya seperti apa begitu?
D: Orang-orangnya sebagian besar pakai atribut putih-putih dengan wajah ditutup.
Dan mereka memakai senjata otomatis. Informasi yang kami terima dari pihak aparat
yang mengetahui persis tentang senjata apa itu, itu jenis-jenis senjata yang dipakai
adalah AK 47, LE dan M 16. Itu semua senjata yang seharusnya di tangan aparat,
ya, bukan di tangan sipil gitu. Tapi begini. Transparan saja. Mereka meneriakkan
slogan-slogan agama Islam, slogan-slogan muslim, teriakan-teriakan yang bersifat
keagamaan begitu. Itu menurut saksi-saksi, saksi korban tentunya.
Dan sebenarnya kalau masyarakat itu sendiri, masyarakat Matako itu, antara kedua
belah pihak, itu sudah membaik. Hubungan itu sudah membaik. Nah, itu yang sangat
mengecewakan masyarakat yang korban ini. Tapi memang sangat disayangkan.
Selama ini ada pemboman, ada penembakan dan sebagainya, satu pun tidak ada
yang berhasil diungkap.
RN: Dan perjanjian Malino itu sendiri apakah memang tidak bisa meredakan.
Nyatanya ini terjadi lagi gitu?
D: Ya, sebenarnya sepuluh butir deklarasi Malino yang sering katakan sebagai Ten
Commandement itu, sangat baik. Tapi sosialisasi dan implementasinya yang
amburadul. Sehingga saya sendiri sudah memutuskan untuk keluar dari kelompok
kerja deklarasi Malino, tapi tetap komit dengan sepuluh butir itu. Nah pemerintah
sendiri kelihatan sekali sangat ragu-ragu menyatakan mana yang benar mana yang
salah.
RN: Lalu bagaimana dengan militer dan polisi? Apakah mereka selalu aktif untuk
menjaga atau justru selalu terlambat?
D: Itu selalu ada keterlambatan. Contoh seperti peristiwa di Matako, dan juga Malitu.
Itu hampir sama saja modus operandinya. Di situ ada aparat. Di Matako itu ada
aparat. Tapi mengapa mereka tidak bisa menghadapi itu, menghadapi para penyerang
itu? Itu pertanyaan kami. Walaupun pada pihak lain ada juga aparat yang dengan rela
mau membantu kami untuk evakuasi. Tapi tindakan-tindakan pada saat kejadian itu,
atau mengantipisipasi itu, itu nampaknya, wah, sangat kurang sekali begitu ya.
RN: Ada kabar yang menyebut ada pasukan asing yang masuk Poso dan wilayah
Tentena. Ini apa betul atau tidak, pak Damanik?
D: Kami justru dituduh oleh seorang yang bernama H. Adnan Arsal. Justru dia salah
seorang deklarator dan juga wakil ketua kelompok kerja untuk deklarasi Malino. Kami
sudah laporkan ini kepada pihak Polda, tapi tidak ada tindakan terhadap dia. Jelas dia
itu melanggar butir kelima Deklarasi Malino, yakni menyebar berita bohong dan
sebagainya. Sejak tahun 97 tidak ada lagi misionaris asing yang bekerja di gereja
Kristen Sulawesi Tengah. Itu bisa diperiksa data di imigrasi misalnya.
Tadi yang namanya H. Adnan Arsal itu justru mengatakan. Ini bodohnya dia. Dia
mengatakan bahwa kalau 68 misionaris asing yang katanya bekerja di GKST - itu
bohong dia- dikeluarkan dari Tentena, maka dia juga akan mengeluarkan Laskar Jihad
dari Poso. Nah, ini kan sudah pada satu sisi fitnah terhadap formasi misionaris, satu
lagi pada satu sisi pengakuan bahwa ada orang luar yang disebut Laskar Jihad yang
berada di Poso saat ini. Nah ini tidak ditindaki oleh pemerintah. Yang faktual saja pun
pemerintah dan aparat tidak melakukan apa-apa. Ya dalam berbagai pertemuan kami
sudah mengatakan bahwa aparat yang diakui di Republik ini hanyalah TNI dan Polri.
Tidak ada laskar-laskar lain. Nah, ini dia. Kok begitu rapuh Megawati dengan Hamzah
Haz ini. Itu pertanyaan kami juga gitu. Ada apa dengan mereka gitu? Seolah-olah
Laskar Jihad dijago ya. Lebih hebat otoritasnya dibandingkan pemerintah sendiri gitu.
Demikian Pdt. Damanik dari Pusat Krisis Poso.
© Hak cipta 2001 Radio Nederland Wereldomroep
|