Mahkamah Militer di Maluku: Mengadili atau Melindungi Tentara?
Hilversum, Minggu 23 Juni 2002 20:30 WIB
Peristiwa penangkapan pimpinan Geng Coker Berty Loupatty yang diduga terlibat
serangkaian kerusuhan di Ambon pertengahan bulan lalu belum hilang dari ingatan.
Betapa tidak, penangkapan yang dilakukan aparat Brimob itu, mendapatkan
perlawanan dari pasukan elit angkatan darat Kopassus. Mengapa upaya
penangkapan seorang warga sipil bisa menimbulkan bentrok antaraparat keamanan?
Sebenarnya apa urusan aparat dengan penangkapan seorang tokoh preman?
Sssttt-sssttt-sssttt yang beredar membisikkan, Kopassus selama ini jadi backingnya
Loupatty, sang preman dari kawasan Kudamati - Maluku. Kejadian ini semakin
memperkuat dugaan jangan-jangan aparat TNI juga terlibat konflik Maluku.
Tak heran, langkah pertama yang akan diambil Panglima Komando Operasi
Pemulihan Keamanaan Maluku yang baru dilantik, Djoko Santoso, adalah
menghidupkan kembali oditur dan mahkamah militer. Djoko yang juga merangkap
panglima militer Maluku menyatakan, sejak terjadi konflik, kedua lembaga ini praktis
tidak berfungsi di Maluku.
Djoko Santoso : Saya aktifkan Odmil dan Mahmil. Setiap pelanggaran anggota militer
kita sidang. Termasuk yang desertir Pak? Iya kalau tertangkap nanti pelanggarannya
apa. Semua apa saja yang dilakukan oleh tentara yang melanggar hukum di wilayah
Kodam XVI Pattimura akan kita adili.
Sejak Maluku dilanda konflik yang sudah berkepanjangan sampai tiga tahun, terjadi
banyak pelanggaran hak asasi manusia yang diduga dilakukan oleh anggota TNI.
Yang paling sering terdengar adalah kiprah para prajurit yang meninggalkan dinas
tanpa ijin atau desersi. Para desertir ini merekrut dan melatih sejumlah pemuda
dengan imbalan uang untuk mengacau dan memicu konflik antar dua kelompok yang
bertikai. Atau ada juga aparat yang tetap berada di dalam kesatuannya tetapi
membela salah satu kelompok dengan berbagai alasan.
Menurut anggota delegasi perjanjian damai Malino II untuk Maluku, Thamrin Elly,
kasus pelanggaran yang melibatkan TNI seharusnya merupakan agenda kerja Tim
Penyelidik Independen. Tim bentukan presiden ini akan segera menyelidiki berbagai
konflik di Maluku.
Thamrin Elly : Ya saya kira ndak bisa terlepas dari agenda Tim Penyelidik
Independen Nasional ini lagi. Kan tim ini akan bekerja. Jadi mungkin nanti
masukannya ada yang ditangani oleh Penguasa Darurat Sipil tapi ada juga yang
memerlukan penyelidikan Komisi Penyelidik Independen Nasional.
Namun sejauh ini, penyelidikan atas dugaan keterlibatan aparat militer, tidak masuk
agenda tim penyelidik independen Maluku. Butir agenda macam begini nampaknya
sulit masuk, terutama karena sebagian besar anggota tim adalah militer.
Sementara di kalangan militer, keterlibatan Kopassus atau kesatuan tentara lainnya
dalam konflik di Ambon selalu dibantah. Alasannya tentu karena tidak ada bukti. Lagu
lama seperti ini kembali diulang oleh juru bicara militer daerah Maluku, Mayor Herry.
Herry: Begini, ini yang perlu dicermati. Itu yang dianggap pelaku kerusuhan yang
mana? Selama di sini ya belum kita menemukan ada anggota Kopassus yang terlibat
melakukan pelanggaran. Ini kan kadang-kadang orang suka membawa-bawa nama
korps yang pada kenyataannya belum tentu orang itu adalah anggota dari kesatuan
tersebut. Jadi jangan terlalu percaya dulu dengan isu-isu yang sengaja dihembuskan
untuk menyudutkan institusi tersebut.
Karena itulah berbagai kasus yang diduga melibatkan militer di Ambon tidak pernah
terungkap dengan tuntas. Herry juga mengatakan selama konflik oditur militer dan
mahkamah militer memang tidak berfungsi maksimal. Hingga saat ini, baru 15 kasus
yang diselesaikan. Kebanyakan, memang kasus desersi.
Menariknya, pengamat konflik Maluku Thamrin Amal Tamagola justru berpendapat,
pengerahan mahkamah militer untuk meyelesaikan kasus-kasus yang melibatkan
aparat, tidak akan memuaskan semua pihak. Pengaktifan kembali oditur dan
mahkamah militer di Maluku menurut Thamrin justru menunjukkan keengganan
pemerintah mengungkap keterlibatan aparat. Tindakan ini semakin menunjukkan
pemerintah dan petinggi militer tidak mau mengakui bahwa aparat juga telah terlibat
pada pelanggaran HAM.
Thamrin Amal Tamagola: Ya itu makin memperjelas bahwa pihak pemerintah dan
militer sebenarnya ingin lari dari tanggungjawab, menggeser tanggungjawab. Karena
nanti itu kalau ada yang seperti itu lagi itu pelanggaran ham berat oleh militer dan
polisi di sana itu di bawa ke mahkamah seperti itu kan? Mestinya itu kan lewat
mahkamah Ham itu.
Thamrin bahkan yakin jika Tim Penyelidik Independen Maluku mau pun TNI tidak
berhasil mengungkap tuntas pelbagai kasus pelanggaran hak-hak asasi manusia
yang melibatkan aparat, maka pastilah tim ini tidak dipercayai masyarakat. Sekarang
tinggal menunggu apakah Panglima Militer Maluku bisa menepati janjinya. Seberapa
jauh wibawa mahkamah militer untuk bisa menjatuhkan hukuman terhadap anggota
TNI yang terlibat pelanggaran hak-hak asasi manusia. Ataukah justru TNI akan bebas
dari hukuman karena dilindungi oleh mahkamah ini? Dan perlu diingat, menggunakan
pengadilan untuk melindungi pelanggar ini sering dipraktekkan di jaman Orde Baru.
Tim Liputan 68H Jakarta melaporkan untuk Radio Nederland di Hilversum.
© Hak cipta 2001 Radio Nederland Wereldomroep
|