Apakah Komando Operasi Pengendalian Keamanan Maluku Bisa
Menyelesaikan Konflik?
Hilversum,Selasa 28 Mei 2002 15:10 UTC
Maluku tetap merupakan wilayah konflik antara sipil dan militer. Konflik horisontal
hanya sekedar imbas dari pertikaian antar kepentingan elit militer dan sipil di Jakarta.
Berdasarkan asumsi tersebut perlu dicermati paradigma penyelesaian konflik dengan
dibentuknya Komando Operasi Pemulihan Keamanan di Maluku. Laporan rekan
Syahrir dari Jakarta:
Akhirnya desakan Uni Eropa diperhatikan juga oleh pemerintah, meski MUI dan
beberapa organisasi Islam lainnya menolak Resolusi Parlemen Eropa yang dinilai
hanya menguntungkan golongan agama tertentu. Pemerintah Indonesia didesak
mengatasi masalah Maluku secepatnya. Karena itu pemerintah hanya memberikan
waktu 3 bulan kepada Panglima Divisi II Kostrad untuk mengeliminir potensi konflik
Maluku. Untuk mencapai target tersebut pemerintah telah merampungkan dan
memutuskan konsep restrukturisasi yang segera dituangkan dalam suatu Keppres.
Siapa yang menjadi Panglima Komando Operasi Keamanan Pemulihan Keamanan
atau Koopslihkam terjawab melalui SK Panglima No 388 tahun 2002. Panglima TNI
Laksamana Widodo AS memutuskan Mayjen Djoko Santoso sebagai Panglima
Kodam XVI/Pattimura, sekaligus merangkap sebagai Panglima Koopslihkam di
Maluku. Berarti Pangdam Patimura yang lama, dinilai gagal dalam mengatasi
kerusuhan-kerusuhan lalu, utamanya bentrokan antara Kopassus dan Brimob.
Pangdam lama tidak mampu melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian dan tidak
bisa menertibkan Kopasus di Ambon, Maluku.
Bukan rahasia lagi bahwa kekuatan milisi di Ambon didukung sejumlah jenderal
pensiunan maupun yang masih aktif. Kopasus pun nampaknya terlibat dalam suatu
skenario yang digagas dan dikendalikan dari Jakarta. Pangdam yang lama Brigjen
Mustopo kini ditarik ke Mabes TNI AD. Untuk menjamin kesatuan komando dan rantai
komando yang jelas, maka Koopslihkam dibentuk dan dipimpin langsung Pangdam
XVI/Pattimura. Koopslihkam itu membawahi Satgas Keamanan dan Satgas
Penegakan Hukum yang unsurnya berasal dari TNI dan Polri.
Sehubungan dengan itu Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan
bahwa restrukturisasi komando operasi pemulihan keamanan di Maluku nantinya
menggunakan Keppres, namun TNI tidak akan mengambil alih tugas-tugas kepolisian
dalam struktur baru tersebut. Menurut Menko Polkam, komando operasi pemulihan
keamanan tetap bertanggung jawab kepada Gubernur. Pengamat militer Letjen (Purn)
Hasnan Habib berkaitan dengan itu, mengritik rencana pemerintah. Itu tak ubahnya
menempatkan Maluku sebagai daerah operasi militer, katanya. Padahal tugas TNI
hanyalah sebagai penjaga keamanan dari ancaman luar. Sedang keamanan dan
ketertiban dalam negeri diserahkan polisi.
Hasnan Habib menjelaskan itu dengan merujuk TAP MPR Nomor 6 dan 7 tahun 2000
tentang peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI. Polisi hanya akan
menjabat sebagai Wakil Pangkoopslihan. Menurut Hasnan Habib kemarin,
kemampuan, komitmen, ketegasan dan kejujuran Penguasa Darurat Sipil (PDS)
Maluku dan jajaran di bawahnya termasuk Pangdam dan Kapolda, lebih penting
daripada mengangkat seorang panglima komando operasi. Kalau perlu tambahan
kekuatan militer bisa saja mereka diperbantukan kepada Pangdam, katanya.
Wilayah Maluku kini mungkin bisa disamakan dengan Timor Timur dahulu ketika
pemerintahan Suharto menunjuk seorang panglima komando operasi disana.
Seharusnya prioritas utama aparat keamanan di Maluku bukan menggelar operasi
militer, melainkan mencegah meluasnya konflik horisontal antar berbagai kelompok di
masyarakat. Kalangan LSM mengatakan, penyelesaian yang dilakukan tetap saja
tidak berbeda. "Penyelesaian di Maluku tetap saja dilakukan dengan cara-cara yang
sangat militeristik," ujar Shanty Parhusip, Koordinator Lembaga Studi
Kemasyarakatan. Sejak pemerintahan Habibie, pihak militer sudah mengharapkan
agar Maluku dijadikan wilayah kekuasaan militer lewat penanganan Penguasa Darurat
Militer. Tetapi kalangan sipil selalu menentangnya.
Shanty Parhusip: Penyelesaian konflik di Indonesia, khususnya di Maluku, tetap saja
masih menggunakan cara-cara yang sangat militeristik. Sejak jaman Habibie ada
kehendak yang sangat keras sekali dari pihak militer, untuk memberlakukan
pemerintah darurat militer di wilayah Maluku. Tapi ada respon yang sangat kuat, yang
menentang kehendak tersebut. Ini khususnya datang dari masyarakat sipil yang tidak
mau pemerintahan darurat militer diterapkan di wilayah tersebut.
Maka yang diberlakukan adalah Penguasa Darurat Sipil. Ini pun berlaku di Maluku
Utara. Wilayah-wilayah rawan ini dapat dikatakan sebagai tempat-tempat kontradiksi
utama militer dan sipil. Bahkan Panglima Laskar Jihad Dja'far Umar Thalib yang
tadinya keberatan propinsi Maluku Utara dipimpin Sinjo Sarundajang seorang Pejabat
Gubernur yang beragama Nasrani, mengubah sikapnya setelah ia mendengar bahwa
Sarundajang yang juga merangkap sebagai Irjen Depdagri akan diganti seorang
jenderal TNI.
© Hak cipta 2001 Radio Nederland Wereldomroep
|