SINAR HARAPAN, Senin, 27 Mei 2002
Pangdiv II Kostrad Bakal Menjadi Pangkoops Maluku
Jakarta, Sinar Harapan - Panglima Divisi II Kostrad Mayjen TNI Djoko Santoso bakal
memegang posisi Panglima Komando Operasional Pemulihan Keamanan
(Pangkoopslihkam) Maluku, yang direncanakan operasionalnya mulai pekan ini.
Demikian informasi yang diperoleh SH, Minggu (26/5) malam.
Informasi itu tampaknya menjadi kenyataan dengan adanya indikasi bahwa Djoko
Santoso dipanggil oleh Pang-kostrad Letjen TNI Ryamizard Ryacudu beberapa hari
lalu di Mako Kostrad. "Yah saya sudah panggil dia," ujar Pangkostrad kepada
wartawan, Jumat (24/5) siang.
Namun dijelaskan bahwa calon yang diajukan untuk memangku tugas Satuan
Komando ada tiga perwira jenderal bintang dua. Satu di antaranya diambil dari
Panglima Divisi II Kostrad.
Dalam pertemuannya dengan Pangdiv II Kostrad itu, Ryamizard menyampaikan pesan
kepada Pangdiv II kostrad bahwa dalam menjalankan tugas di Maluku harus tegas.
Jika tidak bisa tegas, tugas tak bakal berjalan dengan baik dan bahkan keadaan akan
seperti itu terus.
Lebih lanjut Pangkostrad menjelaskan hasil Rapat Kordinasi Khusus yang dipimpin
Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono telah memutuskan untuk membentuk
Satuan Komando Tugas yang dipimpin oleh jenderal TNI bintang dua sedangkan
wakilnya jenderal bintang satu dari kepolisian. "Adanya restrukturisasi ini supaya
satuan ini jelas rantai komandonya," ujarnya.
Dengan adanya ini, tambah Pangkostrad, paling tidak operasional tidak tumpang
tindih. "Tengok saja bentrok yang terjadi antara anggota Brimob dan Kopassus, itu
terjadi bukan masalah sentimen militer, tapi komando tidak jelas. Sekarang dengan
restrukturisasi ini komandonya jelas dan mudah-mudahan tidak terjadi lagi kejadian
yang tak diinginkan," tegas Ryamizard.
Menjawab pertanyaan apakah Pangdiv II merupakan calon tunggal untuk memegang
tugas komando di Maluku, Pati bintang tiga itu hanya menjelaskan bahwa Pangdiv II
itu merupakan salah satu calon dari tiga calon yang diajukan.
Sementara itu, Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono kepada wartawan usai
menyampaikan tentang restrukturisasi ini mengungkapkan kalau sudah menyangkut
nama, itu sudah menjadi urusan Panglima TNI jika itu memang anggota TNI. Dan
urusan Kapolri kalau itu kepolisian. "Di luar otoritas saya untuk menunjuk
jenderal-jenderal yang ditugaskan di Maluku," ujarnya.
Bentuk Antara dari Darurat Sipil dan Militer
Keputusan pemerintah untuk menerapkan komando tunggal bagi TNI/Polri di Ambon
merupakan bentuk antara dari darurat sipil dan darurat militer untuk penyelesaian
konflik yang ada di Ambon. Bentuk antara tersebut merupakan salah satu bentuk
penyimpangan untuk menembus batas-batas legalitas.
"Kasus Ambon itu memang rumit, tapi bentuk penyimpangan itu tetap harus diawasi
dan kalau ada pelanggaran harus ditindak dan tidak semata-mata menggunakan
hukum militer," kata Pengamat Militer Kusnanto Anggoro yang dijumpai di Jakarta,
Jumat.
Ditegaskan oleh Kusnanto, penerapan sistem ini juga masih merupakan tanda tanya
besar untuk penuntasan konflik di Maluku. Konflik di Ambon susah untuk
diselesaikan dengan cara semacam ini.
Keterlibatan faktor-faktor dari luar seperti Laskar Jihad, Front Kedaulatan Maluku
(FKM), dan juga tentara yang notabene didatangkan dari luar, masyarakat seringkali
tidak dilibatkan, dan inisiatif lokal semacam ini yang seringkali ditiadakan," kata
Kusnanto.
Penyelesaian konflik di Ambon yang relatif mengarah pada tertib sipil, menurutnya,
hanya memerlukan kekuatan infanteri dan bukannya kekuatan artileri. Pengiriman
khusus (PPRC—Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) justru menimbulkan tanda tanya.
Seharusnya penggelaran PPRC mendapat izin dari DPR. Meskipun keputusan
tersebut keputusan politis, presiden tetap harus mempertanggungjawabkan kepada
DPR.
"Sekarang apakah fungsi kontrol mengenai hal yang sangat spesifik ini masih
berlaku? Persoalan penggelaran pasukan tidak bisa dianggap masalah militer saja,
tetapi ini adalah masalah publik. DPR punya hak untuk mempersoalkan. Mestinya
ada celah untuk itu," tambah Kusnanto Anggoro.
Sosiolog Universitas Indonesia Thamrin Tamagola mengatakan satu komando untuk
aparat keamanan di Ambon memang tidak lazim digunakan. Keputusan tersebut
diambil berdasarkan dua hal, yaitu berdasarkan hubungan vertikal ke atas dari
gubernur sebagai penguasa darurat sipil dan vertikal ke bawah terhadap
satuan-satuan keamanan yang ada di Ambon.
"Ada satuan-satuan yang resmi dan tidak resmi, yang disebut dengan satuan-satuan
siluman. Satuan siluman ini sangat mengganggu. Gubernur itu seperti kakinya
diamputasi, berkuasa tetapi tidak secara resmi tidak bisa bergerak sama sekali," ujar
Thamrin.
Ia menambahkan bahwa pengiriman PPRC ke Ambon merupakan satu pelanggaran
terhadap tata cara pemerintahan. "Saya berharap pengiriman PPRC ini tidak akan jadi
metode untuk mengatasi masalah di daerah konflik," ujarnya.
Mengenai pengiriman pelapor khusus dari PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) ke
Desa Soya, Ambon, untuk menyelidiki insiden Soya beberapa waktu lalu, Thamrin
menyatakan sangat setuju. "Yang ikut campur itu bukan negara asing, tetapi PBB di
mana kita menjadi anggotanya. Kalau yang mengirimkan itu negara Eropa, itu baru
campur tangan," kata Thamrin. Seperti diketahui, usulan tentang pelapor khusus dari
PBB ini ditolak oleh pemerintah dengan alasan kedaulatan.
Sosiolog itu juga menekankan tentang pentingnya pembentukan tim investigasi
independen nasional yang tidak boleh ada unsur militer, polisi ataupun orang Ambon
yang ada di daerah tersebut atau di luar Ambon. Menurut Thamrin, anggota tim
investigasi independen harus memiliki pengalaman dalam hal investigasi.
Sementara itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)
dalam siaran persnya menyatakan bahwa langkah penempatan TNI sebagai
penanggung jawab keamanan di Maluku sama saja dengan menempatkan militer
sebagai penguasa darurat sipil di lapangan.
Dalam praktiknya akan sama dengan darurat militer karena dalam pelaksanaan
segala sesuatunya akan berada di bawah komando militer.
"Padahal sudah semestinya pemerintah menempatkan aparat militer dalam kendali
aparat keamanan sipil/polisi karena status militer dalam menjaga keamanan adalah
diperbantukan.
Keputusan ini juga mengabaikan fakta bahwa keterlibatan TNI adalah salah satu
faktor pemicu konflik di Maluku," demikian pernyataan yang ditandatangani
Koordinator Presidium Koordinatoriat Badan Pekerja Kontras Ori Rahman. (edl/emy)
Copyright © Sinar Harapan 2002
|