Suara Merdeka, Sabtu, 1 Juni 2002
Analisis Berita
TNI Malu-malu di Maluku
KONFLIK Maluku yang berkepanjangan memaksa banyak pihak menghela napas.
Pemerintah sendiri bagai kehabisan napas dan panik, sehingga mengambil putusan
"aneh", dengan membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan (Koopslihkam).
Panglima TNI Jenderal Widodo AS, yang bakal lengser 5 Juni mendatang, menunjuk
Mayjen Djoko Santoso sebagai Pangdam XVI/Pattimura, sekaligus sebagai Panglima
Koopslihkam di Maluku. Sedangkan Wakil Pangkoopslihkam dipegang Kapolda
Maluku Brigjen Pol Soenarko DA.
Menurut Kepala Staf TNI AD Jenderal Endriartono, ketika melantik Djoko Santoso
Kamis lalu, penyatuan operasi ini tidak dimaksudkan untuk meminggirkan peranan
Polri dalam bidang keamanan dan ketertiban masyarakat di Maluku. "Ini semata-mata
untuk sinkronisasi kinerja TNI dengan Polri demi meningkatkan efektifitas bantuan
kepada Penguasa Darurat Sipil Daerah (PSDS) Maluku," katanya.
Sebelumnya, Pangdam XVI/Pattimura dan Kapolda Maluku berdiri sejajar dan
sama-sama menjadi badan pembantu PDSD Maluku, dengan garis komando terpisah.
Karena itu, perimbangan wewenang antara Polri dan TNI tidak perlu dipersoalkan,
sebab wewenang riil tetap di tangan PDSD. Pangkoopslihkam sendiri tetap
bertanggung jawab kepada PDSD.
Tetapi jika dicermati secara jernih, pembentukan Koopslihkam tidak akan banyak
membantu penyelesaian konflik Maluku. Sebab, komando ini hanya salah satu dari
sejumlah pilar saja. Yang lebih penting justru peran aktif PDSD/Gubernur Saleh
Latuconsina serta masyarakat Maluku itu sendiri.
Selama ini efektivitas PDSD dipersoalkan, sehingga pembentukan Koopslihkam di
Maluku tidak akan efektif jika PDSD tidak mau aktif. Jadi, masalah pemulihan
keamanan mestinya lebih dipusatkan ke PDSD. Selaku pemegang otoritas tertinggi
dalam pemulihan keamanan di Maluku, PDSD sering ragu bertindak, tak berwibawa,
dan tidak mampu mengomandani bawahannya. Banyak perintahnya yang diabaikan
TNI dan Polri, sehingga terjadi kerusuhan pada 25-28 April lalu.
Selain itu, pembentukan Koopslihkam sepertinya menyederhanakan sumber konflik.
Seolah-olah kegagalan dalam mengatasi konflik sekadar soal koordinasi, padahal
konflik tak bisa diatasi hanya dengan itu. Banyak aspek yang menyulut konflik,
antara lain masalah sosial, ekonomi, keagamaan, dan keadilan.
Mirip Kopkamtib?
Pembentukan Koopslihkam di Maluku mengingatkan kita pada institusi menyeramkan
di masa Orde Baru, yaitu Komando Operasi Pemulihan dan Ketertiban (Kopkamtib),
yang pernah melambungkan nama Jenderal Soemitro dan Laksamana Soedomo.
Mungkin tidak sama persis, tetapi setidaknya rakyat Maluku bakal menganggapnya
sebagai momok yang menakutkan.
Sejumlah kalangan menilai, penempatan TNI sebagai penanggung jawab keamanan di
Maluku sama saja dengan menempatkan militer sebagai penguasa darurat sipil di
lapangan. Padahal otoritas tertinggi di tangan PDSD. Malah ada yang menganggap
TNI bakal menerapkan darurat militer terselubung atau "politik malu-malu" di Maluku.
Sebab pelaksanaan pemulihan keamanan berada di bawah komando militer.
Padahal sesuai dengan Tap MPR Nomor VII/2000 dan UU Kepolisian, tugas
keamanan dan ketertiban masyarakat ditangani Polri. Dalam Tap itu disebutkan,
tugas TNI adalah sebagai alat pertahanan negara (external defense). Sehingga dalam
tugas keamanan dan ketertiban, keberadaan TNI sekadar membantu - itu pun atas
permintaan Polri- dan komando operasi mestinya di tangan Polri (Kapolda).
Direktur Eksekutif PBHI Hendardi mengatakan, pembentukan Koopslihkam
merupakan bukti kegagalan TNI dalam menjalankan fungsi teritorial, yang selama ini
jadi kebanggaan mereka. Ia menduga Koopslihkam merupakan pintu masuk bagi
penanaman nilai-nilai dan pemapanan politik militeristik, yang sekaligus membangun
citra bahwa sipil tidak mampu menyelesaikan konflik.
Pakar militer Dr Kusnanto Anggoro mengakui, pembentukan Koopslihkam
menyimpang dari peraturan perundang-undangan. Tetapi kalau dipandang dari sudut
lain, ini merupakan kreativitas TNI dalam menembus batas-batas mekanisme yang
ada selama ini tapi tidak jalan.
Ide Pusat
Sebenarnya penerapan darurat sipil merupakan ide pusat, di mana Gubernur Saleh
Latuconsina dan DPRD Maluku semula menolaknya. Tetapi penolakan itu tak pernah
digubris, sehingga sejak 27 Juni 2000 pemerintah memberlakukan darurat sipil. Tidak
heran jika PDSD bersikap ogah-ogahan.
Pemerintah sendiri tak kuat menahan bisikan-bisikan militer, sehingga menuruti saja
kemauan beberapa petinggi TNI. Jadi, kesan bahwa sejak awal militer ingin "bermain"
di Maluku sulit dihindari lagi.
Jika pemerintah ingin mengefektifkan peran PDSD, yang harus dilakukan bukannya
membentuk Koopslihkam, tetapi melibatkan peran langsung dari PDS Pusat -dalam
hal ini Presiden. Berdasarkan UU 23/Prp/1959 tentang Keadaan Bahaya, yang jadi
dasar pemberlakuan darurat sipil di Maluku, peranan PDS Pusat seharusnya lebih
dominan ketimbang PDSD.
Pasal 3 (1) UU ini menyebutkan, penguasaan tertinggi terhadap keadaan darurat
dilakukan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang selaku PDS Pusat.
Selama ini PDS Pusat sepertinya lepas tangan, sehingga ketika PDSD dinilai tak
mampu menjalankan tugasnya, pusat justru membentuk Koopslihkam yang
mengundang kontroversi.
Dampak pembentukan Koopslihkam adalah pengerahan pasukan dari pusat akan
lebih besar, dan hal ini dikhawatirkan tak disukai masyarakat. Apalagi rakyat Maluku
sudah kehilangan kepercayaan terhadap aparat keamanan (TNI/Polri). Itu memang
sikap keliru, tapi masyarakat tentu punya alasan untuk bersikap apatis seperti itu.
Kentara sekali jika aparat keamanan ikut terlibat (langsung/tak langsung) dalam
kancah konflik. Apalagi sempat terjadi bentrok antara pasukan Kopassus dan Brimob
di Kudamati, Ambon, 13 Mei lalu.
Opini yang berkembang dalam masyarakat, aparat keamanan tidak mampu bertindak
profesional. Bahkan tidak sedikit anggapan bahwa aparat memihak atau bertindak
berat sebelah. Ada juga yang menilai aparat telah bertindak melebihi batas dan itu
justru memperkeruh suasana.
Setelah terbentuk Koopslihkam, aparat dipastikan akan bertindak lebih koersif, di
mana aksi pemaksaan dan kekerasan bakal dominan. Kalau ini dijalankan, maka
dalam waktu 2-3 bulan upaya pemulihan keamanan memang bisa menuai hasil.
Namun pembentukan Koopslihkam dikhawatirkan akan melahirkan kasus-kasus
pelanggaran HAM yang baru.
Tetapi, okelah, Koopslihkam terlanjur dibentuk dan panglimanya sudah dilantik. Kini
Djoko Santoso harus menjelaskan apa saja tugas yang diembannya, bagaimana
rencana pemulihan yang akan dijalankan, asal-usul pasukan, dan batas waktunya.
Selain itu, segala tindakannya mesti dipertanggungjawabkan kepada PDSD, bahkan
harus bisa dikontrol publik. Dengan demikian, kemungkinan praktik penyimpangan
oleh militer seperti terjadi di Aceh dan Timtim dapat dieliminasi.
Konflik di Maluku yang terjadi sejak 19 Januari 1999 -bertepatan dengan Hari Raya
Idul Fitri- ini menyebabkan minimal 9.700 jiwa tewas, 16.000 rumah rusak berat, dan
231.000 warga mengungsi. (Dudung Abdul Muslim-48)
Copyright © 2000 SUARA MERDEKA
|