SUARA PEMBARUAN DAILY, 11/7/2002
Pelacur dari Kamp Pengungsi (2)
Melacur Hanya supaya Dapur Tetap Ngebul
Oleh Wartawan"Pembaruan'' Eko B Harsono
Banyak gereja dan masjid di Ternate, Maluku Utara, rusak akibat amuk massa pada
kerusuhan beraroma soal agama beberapa waktu lalu. Rumah-rumah ibadah yang
rusak itu sekarang dijadikan kamp pengungsi. Upaya pembangunan kembali rumah
ibadah tersebut belum tampak. Malahan di dekat tempat ibadah itu terjadi praktik
maksiat. Sebut saja di dekat gereja yang nyaris hancur di pusat kota tersebut,
sekarang menjadi tempat transaksi seks. Para pekerja seks di situ tidak lain ialah
warga kamp pengungsi.
Gereja Ayam, demikian warga setempat menyebutnya, didirikan Belanda tahun 1897.
Atap dan tiang penyangganya rusak termakan api kerusuhan. Gereja milik jemaat
Gereja Masehi Injil Halmahera itu menampung 45 pengungsi asal Tidore dan Galela.
Di tempat transaksi seks yang disebut Pondok Kelapa (di samping Gereja Ayam) itu
tidak tersedia bir atau minuman keras. Para pencari kepuasan syahwat di situ tidak
biasa mencari bir atau minuman keras. Mereka memilih mereguk minuman tradisional
guraka, semacam wedang jahe, sambil ditemani kupu-kupu malam.
Pengungsi yang terjebak menjadi pekerja seks juga terdapat di kota Kabupaten
Tobelo. Di situ terdapat tempat hiburan bernama Golden Star yang menjadi
satu-satunya tempat favorit anak-anak muda. Tempat itu terletak tidak seberapa jauh
dari masjid Al Fallah yang juga telah dirusak. Kerusuhan di Tobelo pada 27 Desember
1999 memakan korban jiwa 880 orang, 825 rumah terbakar, 17 masjid dan satu 1
Gereja dibakar.
Praktik pelacuran tersebut dikeluhkan masyarakat di Tobelo. Mereka merasa risi,
apalagi pelacur-pelacur itu kebanyakan adalah warga pengungsi. Mereka yang
melacurkan diri bukan hanya perempuan lajang. Banyak janda yang juga terjerumus
karena suami mereka tewas dalam kerusuhan. Mereka terpaksa melacurkan diri
untuk mencari uang supaya dapurnya tetap ngebul dan keluarga tidak kelaparan.
Di empat kecamatan Tobelo, banyak juga wanita hamil dan mengaku sebagai hasil
hubungan intim dengan aparat keamanan. Banyak di antara mereka yang ditinggalkan
begitu saja karena pasangan mereka pindah tugas ke daerah lain. Namun, tidak
sedikit yang mengakui bahwa gadis-gadis di empat kecamatan itu banyak yang ingin
bersuamikan tentara.
Masalah pelacuran di sana lebih terkait pada soal pengangguran. Apalagi bantuan
makanan mereka terima tidak secara penuh. Para pengungsi terpaksa bekerja
serabutan untuk mencari penghasilan supaya kebutuhan makan mereka terpenuhi.
Ada yang menjadi tukang ojek, tukang becak, pemetik kelapa, atau nelayan. Banyak
juga yang menjadi buruh angkut di pelabuhan atau di pasar.
Peluang kerja yang terbuka lumayan luas ada di perkebunan. Sedikitnya tenaga
pemetik kelapa yang tersedia memberi peluang bagi pengungsi untuk mengisinya.
Banyak perkebunan kelapa di pedesaan yang membutuhkan tenaga mereka.
Hanya saja tidak semua orang berkemampuan melakukan pekerjaan itu, karena
kebanyakan pohon kelapa di sana tinggi-tinggi.
Selain pelacuran, hampir seluruh tokoh masyarakat di Ternate, Tobelo, Galela, Kao,
dan Malifut mengeluhkan soal minuman keras. Banyak orang kecanduan minuman
keras setelah terjadi kerusuhan. Kebiasaan baru menenggak minuman keras
diperkirakan karena minimnya aktivitas. Banyak pengungsi yang putus asa dan tidak
tahu harus berbuat apa. Mereka kemudian lari dari kenyataan dan jatuh ke pelukan
minuman keras. Bahkan di kalangan anak-anak muda, kebiasaan baru itu dirasakan
semakin mengkhawatirkan. Mereka mulai terang-terangan mabuk di jalan raya.
Minuman keras itu ada yang produk lokal. Larisnya minuman keras membuat
masyarakat di pedesaan akhirnya lebih senang menderas nira kelapa ketimbang
membuat kopra. Minuman keras dianggap lebih menguntungkan ketimbang kopra.
Di samping minuman keras produk lokal, juga beredar minuman keras Cap Tikus dari
Manado. Minuman dari Manado itu diselundupkan melalui kapal-kapal pelayaran
Manado-Ternate. Minuman keras Cap Tikus itu sekarang mudah didapatkan di
toko-toko.
Aparat keamanan berkali-kali merazia peredaran minuman keras itu. Mereka
mencegat kendaraan yang lewat dan menggeledah barang bawaan. Sayangnya
rencana razia sering kali bocor sehingga razia yang dilancarkan hasilnya tidak
maksimal. Banyak yang menduga ada oknum aparat yang bermain mata dengan
pedagang minuman keras Cap Tikus di pusat kota. Para tokoh Muslim setempat
menyatakan sudah sangat resah karena kebiasaan mabuk-mabukan sering memicu
pertengkaran yang berbuntut kekerasan.
Pertengkaran dan kekerasan sangat tidak mendukung upaya pemulihan kemanan.
Masalah itu juga sangat mengganggu upaya penyembuhan para pengungsi yang
terkena penyakit trauma. Banyak pengungsi yang menderita trauma akibat
kerusuhan. Ada yang langsung menjerit-jerit begitu mendengar dan melihat orang
bertengkar
Menurut Ketua Tim Pemberdayaan Masyarakat Pascakonflik untuk Maluku Utara, Dra
Shinto Adelar MSi, masih sekitar tiga persen pengungsi yang menderita trauma berat.
Karena itu, kesadaran masyarakat untuk menjauhi minuman keras akan sangat
membantu upaya Pusat Krisis Psikologis bagi para pengungsi.
Kekerasan sebagai dampak negatif minuman keras juga menimpa kaum perempuan.
Kaum pria di kamp pengungsi banyak yang tidak bekerja. Mereka menghabiskan
waktu dengan kongko-kongko dan menenggak minuman keras. Mereka pulang ke
kamp dalam keadaan mabuk dan jika ditegur sang istri malah menjadi marah-marah.
Mereka kemudian memukuli istri atau anak-anak."Ini yang banyak dikeluhkan kaum
perempuan di kamp pengungsian sekarang,'' ungkap Shinto. u (Habis)
----------
Last modified: 11/7/2002
|