TEMPO, edisi 16 juni 2002
Jurus Baru Membabat Para Desertir
Laporan Utama
Penyelesaian masalah desertir yang terlibat konflik sangat penting untuk perdamaian
di Maluku. Mampukah Panglima Djoko?
SETUMPUK laporan intelijen masuk ke meja kerja kantor Gubernur Maluku belum
lama ini. Saleh Latuconsina, sang gubernur yang juga penguasa darurat sipil daerah,
tentu saja terkejut. Isinya bikin dahi bekernyit: ada kelompok siluman yang ikut
bermain dalam konflik Ambon. Mereka kuat diduga merupakan sejumlah personel
tentara dan polisi yang sudah keluar dari kedinasan. Para desertir itulah yang aktif
bergerak, bahkan ikut mendalangi pelbagai insiden yang meledak belakangan ini.
Berita rahasia itu juga memetakan kubu-kubu mereka. Sederhananya disebut ada tiga
kelompok. Kelompok A adalah mereka yang berada dan bergerak di daerah
berpenduduk Islam. Mereka terdiri dari gabungan aparat muslim (TNI dan Polri), para
desertir, dan juga aparat yang telah dipecat dari kesatuannya. Sedangkan Kelompok
B khusus bergerak di daerah Kristen. Komposisi anggotanya sama dengan Kelompok
A, tapi beragama Kristen.
Kelompok A dan B ini terdiri dari aparat organik lokal Ambon. Anggota kelompok ini
adalah aparat keamanan dan bekas aparat yang keluarganya menjadi korban konflik.
Jadi, mereka bergerak karena dendam. "Kekuatannya tidak besar, tapi pengaruhnya
sangat besar. Laskar Jihad itu berani karena di-back-up oleh Kelompok A ini," kata
sumber TEMPO di kantor gubernur. Laskar dipimpin oleh Ustad Ja'far Umar Thalib,
yang pernah bikin geger lewat tablig akbarnya di Ambon, akhir April lalu. Ia kini
ditahan di markas besar kepolisian pusat di Jakarta.
Sedangkan yang ketiga adalah Kelompok AB, yaitu gabungan dari aparat Islam dan
Kristen, desertir musiman, dan mereka yang telah dipecat. Motivasi mereka adalah
demi kepentingan ekonomi semata alias dibayar. Yang terpantau saat ini, kata
sumber TEMPO, kelompok ini adalah grup yang sangat membenci Kopassus, satuan
elite di lingkungan Angkatan Darat.
Tiga kelompok ini memiliki kesamaan. Mereka gesit dan berani mati. Berani pula
melawan alat negara. Punya keahlian khusus dalam menembak. Kategorinya sangat
mahir. Mereka umumnya bergerak di hari Minggu karena ingin membenturkan
masyarakat dengan TNI. "Dalam setiap insiden, mereka memakai pakaian loreng,"
kata sumber TEMPO yang rajin memantau pasukan siluman di Ambon ini.
Gerakan mereka juga disoroti markas Komando Daerah Militer (Kodam) XVI
Pattimura. Kepala Penerangan Kodam, Mayor Herry Suhardi, mengatakan bahwa
pihaknya tidak menutup mata terhadap peran sejumlah aparat keamanan yang
terpengaruh oleh konflik, terutama yang penduduk asli Ambon. "Yang jelas, panglima
tidak akan main-main dengan mereka itu," katanya. Panglima yang dimaksud adalah
Pangdam Pattimura, yang kini dijabat Mayor Jenderal Djoko Santoso. Ia sekaligus
menjabat Panglima Komando Operasional Pemulihan Keamanan (Koopslihkam).
Tindakan penangkalan bukannya tak pernah dilakukan. Pada Juni 2000 lalu,
misalnya, Panglima Kodam Pattimura ketika itu, I Made Yasa, memerintahkan
penarikan seluruh pasukan dari Jawa yang khusus bertugas di Maluku. Mereka lalu
dikumpulkan di markas sebuah batalion tempur di sana untuk dihitung. Ada dugaan
terdapat pasukan liar yang gentayangan di Ambon. Aksi para desertir ini juga diakui
mantan Kapolda Maluku, Irjen Polisi Firman Gani (kini Kapolda Sulawesi Selatan). Ia
menyebutkan ada sekitar 50 orang desertir yang bermanuver di Ambon. Tapi sampai
kini sulit dideteksi.
Bahkan Mayor Infanteri Imam Santosa, Komandan Detasemen Sandi Yudha,
Kopassus di Maluku, pernah mengakui adanya desertir dari pihak Kopassus. Setelah
terjadi penangkapan para preman yang mengaku dididik secara militer dan dijadikan
informan untuk kegiatan Front Kedaulatan Maluku (FKM) oleh Kopassus, para "coker"
(sebutan untuk preman itu) menyebutkan beberapa nama anggota Kopassus yang
melatih mereka (lihat Nyanyian Para Saksi).
Tapi Mayor Imam membantah ada nama-nama itu di dalam pasukannya. "Mereka
mungkin saja desertir yang masuk ke Ambon. Mereka kebanyakan dari Jawa," Imam
menjelaskan. Dari mana pun mereka, toh gerakannya sangat berbahaya jika tak bisa
dikontrol. Belum lagi kasus bentrok antar-aparat, yang masih saja berkobar. Kepala
Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Ryamizard Ryacudu pernah menyatakan,
komando baru yang dipimpin Panglima Djoko ini bertugas menyinkronkan
satuan-satuan di Maluku.
Bentrok bersenjata antara tentara dan polisi terakhir terjadi di Kuda Mati, tak jauh dari
Kota Ambon, pada 13 Mei silam. Ketika itu terjadi baku tembak antara pasukan
Brimob dan Kopassus yang mengakibatkan tertangkapnya dua orang anggota
Kopassus dan Berty Loupatty, salah satu pemuda Ambon yang mengaku sebagai
informan Kopassus. Anggota Kopassus yang tertangkap digebuki polisi. Insiden
diduga karena salah paham antara kedua pihak yang sama-sama menjalankan tugas.
Tak akurnya tentara dengan polisi di lapangan sudah sering terjadi di Maluku (lihat
infografik). Kini, masalah itu berkembang menjadi potensi konflik laten yang siap
meledak sewaktu-waktu. Insiden Soya, yang didahului matinya listrik di seluruh
penjuru Kota Ambon, adalah contoh kejutan itu. Para penyerbu—menurut para saksi
mata mengenakan baju loreng dengan penutup kepala—bergerak gesit di kegelapan
dini hari, meledakkan dan membakar gereja, sekaligus membunuh 12 penduduk sipil.
Gubernur Saleh mengakui bahwa ada semacam pola baru pemicu konflik berupa
bentrok yang tiba-tiba muncul yang melibatkan petugas, meski sifatnya di-duga
"sangat pribadi": urusan sentimen agama, balas dendam keluarga, atau bermotif
ekonomi. Di depan anggota DPRD Maluku, Latuconsina menyebutkan bahwa setelah
Malino II disepakati (Februari 2002), sudah terjadi 11 kali konflik. "Pola ini bisa
berbahaya dengan sasaran terus melanggengkan konflik di Ambon," ia menjelaskan.
Semua persoalan itu berhulu sejak pertama kali konflik meletus pada 19 Januari 1999
lalu. Ketika itu banyak tentara dan polisi yang meninggalkan kesatuan mereka tanpa
izin, untuk pulang dan menjaga keamanan kampung halaman mereka. Bahkan
kemudian ada polisi dan tentara yang bertugas di luar Maluku yang pulang kampung
untuk menjaga keamanan di tanah kelahiran mereka. Ulah aparat pembangkang alias
desertir ini juga bikin runyam situasi. Mereka melatih penduduk sipil setempat, selain
aktif berpihak pada kelompok yang bertikai (lihat Alumni Galala dan Pasukan
Siluman).
Kontak senjata dan konflik Ambon makin kental bercirikan militer. Tidak saja dari
gaya penyerbuannya, tapi juga dari senjata yang dipakai. Menurut Latuconsina, para
aparat pembangkang itu sengaja melakukan kegiatan di luar jam dinas. Ada yang
bergerak dengan menggunakan topeng-topeng ninja atau menjadi pasukan siluman.
Hal itu yang merupakan bukti keterlibatan desertir. "Mana ada sih masyarakat kita
yang bisa bergerak cekatan seperti itu," katanya, setengah heran.
Pelanggaran disiplin ini juga pernah diusut. Sebuah tim pengusut dari Pomdam
XVI/Pattimura khusus bertugas menelisik masalah gawat ini. "Namun, penanganan itu
tidak tuntas dan ada pelaku yang tetap dibiarkan membawa senjata mereka," kata
Brigjen Rustam Kastor, pensiunan tentara yang bekas Komandan Korem Ambon,
kepada L.N. Idayanie dari TEMPO.
Pangdam (waktu itu) Made Yasa pernah pula bikin gebrakan. Ia melakukan operasi
batalion gabungan TNI-AD di Hotel Wijaya II, 15 Januari 2001. Dalam operasi
penyergapan yang diwarnai baku tembak itu, pasukan Made Yasa berhasil
menangkap 29 orang anggota TNI dan Polri, di antaranya ada beberapa perwira
menengah. Aparat yang ditangkap saat operasi ternyata biasa berpraktek sebagai
penembak jitu (sniper) di kawasan itu.
Soal senjata juga tak kalah pelik. Menurut sumber TEMPO di Kodam Pattimura,
sekitar 1.000 pucuk senjata standar TNI dan Polri masih beredar di masyarakat.
Sebagian besar senjata organik itu memang berasal dari gudang senjata Brimob di
Tantui yang dijarah massa dalam peristiwa penyerbuan asrama Brimob pada 21 Juni
2000. Tapi ada juga senjata organik yang berasal dari para desertir. "Senjata-senjata
yang masih beredar itulah yang masih menjadi potensi bahaya," kata juru bicara
Kodam Pattimura, Mayor Herry Suhardi.
Karena itu, Panglima Djoko langsung bergerak masuk Ambon. Setelah dilantik di
Jakarta, dua pekan lalu, ia langsung masuk Ambon. Selama empat hari ia melakukan
orientasi ke sejumlah kesatuan. "Yang penting, kami melakukan konsolidasi internal
(TNI) dan meningkatkan keterpaduan (dengan polisi)," ujar Djoko tentang prioritas
operasi komandonya. Ia kembali sebentar ke Jakarta untuk menghadiri acara
pelantikan Panglima TNI Endriartono Sutarto dan KSAD Ryamizard Ryacudu. "Kami
sedang melakukan inventarisasi, deteksi, imbau, lalu tangkap," kata Djoko, saat
ditanya sikapnya tentang desertir. Sebuah jurus baru yang masih kita tunggu
keampuhannya. Bina Bektiati, Tomi Lebang, Friets Kerlely, Yusnita Tiakoly (Ambon)
@ tempointeractive.com
|