JAWA POS, Rabu, 26 Mei 2004
Ada Asap tanpa Api?
Oleh J.E. Sahetapy *
Our lives begin to end the day we become silent about things that matter. -Martin
Luther King Jr.-
Gosip bagian dari kehidupan manusia yang tidak terpisahkan, bertalian dengan
realitas kehidupan sosial, politik, ekonomi, hukum, dan agama. Bahkan, terutama
kalau itu menyangkut konflik etnis, kekacauan berdarah, dan permusuhan rekayasa
agama.
Apalagi untuk Indonesia yang rentan dengan rekayasa. Rakyat jelas sudah tidak
bodoh lagi. Pemilu 2004 merupakan suatu indikator nyata. Justru media pers
menyiarkan berita yang tidak benar, antara lain, karena rasa takut "diperas", lalu
memuat berita yang tidak jujur, memutarbalikkan fakta saking ngeri terhadap
kelompok tertentu.
Apalagi kalau itu menyangkut apologetika dari para petinggi politik dan para politisi,
dari para pemimpin pemerintahan, dan terutama dari petinggi penegak hukum, atau
yang lebih "berkuasa" dari para pejabat berbintang yang memiliki kewenangan dan
kemampuan kekuatan bersenjata.
Dalam hal yang demikian, gosip di masyarakat akar rumput berkembang dengan
sangat cepat disertai analisis dari kaum cendekiawan yang dengan sedikit malu-malu
membantah apologetika tersebut di atas yang dipandang sebagai kebohongan.
Rakyat di akar rumput, terutama rakyat urban, sudah tidak boleh dipandang buta
politik lagi. Hasil Pemilu 2004 adalah suatu bukti nyata. Dan, gosip mereka bertalian
dengan konflik berdarah, apakah itu di Aceh, Papua, Poso, dan Ambon, jelas
mengindikasikan bahwa sebab musabab pelbagai kekacauan berdarah dipandang
oleh mereka, setuju atau tidak, tanpa alat bukti yuridis, sebagai rekayasa tingkat
tinggi (dari Jakarta?) dengan motif-motif tertentu yang sangat kotor.
RMS, suatu akronim yang bisa diartikan macam-macam, seperti KUHP adalah Kasih
Uang Habis Perkara, atau Kurang Uang Hukuman Penjara, atau Kasih Uang Hakim
Pasrah, berlaku untuk hampir setiap konflik berdarah di Indonesia, termasuk di
Ambon. RMS adalah cerita kuno lagi basi yang hampir tiap tahun di-blow up
sedemikian rupa untuk maksud-maksud politik tertentu.
Semua itu bergantung bagaimana rekayasa dari pihak berkuasa secara politis dan
mungkin dengan kerja sama mereka yang memiliki senjata. Mereka yang berkuasa
dan bersenjata tahu betul bagaimana "menghasut" masyarakat di Ambon. Mereka
sangat mudah dihasut, terutama dengan ramuan agama. Mereka yang di akar rumput
"have nothing to loose anymore", kecuali nyawa mereka. Hari esok seperti sudah
gelap dan tidak dipikirkan lagi.
Justifikasi untuk mengacau dan mengadu domba dengan menggunakan RMS yang
bukan saja sudah bangkrut dan tidak ada apa-apanya lagi, namun bisa dieksploitasi
sedemikian rupa sehingga timbul konflik kekacauan, permusuhan, pembunuhan, dsb.
Sangat disayangkan dan memprihatinkan bahwa kelompok yang bertikai dan rela
membunuh sesama saudara seperti sudah tidak memiliki hati nurani serta tidak lagi
takut akan Sang Pencipta. Sang Pencipta seolah-olah dianggap setuju terhadap
perbuatan membunuh yang terkutuk itu. RMS jelas tidak dapat ditoleransi oleh siapa
pun dan harus ditiadakan serta diselesaikan secara hukum.
Kekuatan fisik RMS sejak 1951 sudah tidak ada lagi, kecuali kekuatan emosinya
yang tidak rasional yang dengan mudah dieksploitasi. Celakanya, konflik RMS
dibungkus dengan pembodohan politik dan motivasi jahat yang direkayasa.
Akibatnya, yang tidak berhubungan dengan RMS, seperti gereja dan sekolah demi
kepentingan bangsa, dibakar dan dirusak.
Ini motivasi jahat. Dan, pembakaran rumah -terutama pembumihangusan gereja-
seperti itu tidak boleh ditoleransi siapa pun. Padahal, semua itu tidak ada hubungan
apa pun, baik secara kausal atau tidak, dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). NKRI hanya digunakan sebagai tameng dan dalih untuk merusak, membakar,
dan membunuh.
Ternyata, adanya sniper atau penembak jitu gelap jelas sudah dipersiapkan dan
direkayasa. Penjelasan pihak berwenang sama sekali tidak masuk akal dan suatu
"kebohongan" atau "penipuan" yang sulit dimaafkan. Saya kutip berita koran: ".
pelakunya sulit diidentifikasi karena mayatnya tidak bisa diambil untuk diperiksa lebih
lanjut". (Suara Karya 5 Mei 2004 dan Media Indonesia 5 Mei 2004 berdasarkan berita
Antara).
Orang bertanya, siapa atau kelompok mana yang "mengambil" mayat-mayat itu dan
mengapa tidak bisa diambil. Apakah kepolisian (dan tentara) begitu takut! Dan, mana
sikap tentara yang, katanya, membela rakyat. Mengapa pejabat bersenjata hasrus
bohong begitu.
Alasan bahwa senjata-senjata itu berasal dari gudang senjata polisi yang dulu
dirampok ketika terjadi kekacauan berdarah bisa benar. Tetapi, semua orang di kota
Ambon juga tahu siapa yang menyerbu gudang senjata kepolisian di Tantui dan
mengambil senjata-senjata itu. Dan, mengapa senjata-senjata itu setelah berdamai
belum dikembalikan.
Dalam Kompas 1 Mei 2004 dengan judul Media di Konflik Maluku, harus diakui ada
benarnya analisis bahwa konflik di kota Ambon (Maluku) pada dasarnya adalah
konflik sentimen agama disuka atau tidak, benar atau tidak.
Dengan campur tangannya pihak luar, seperti rekayasa dari Jakarta, dikirimnya
orang-orang sipil bersenjata dari kelompok tertentu ke Ambon melalui pelabuhan laut
di Surabaya pada waktu itu dengan dalih yang sulit diterima raison d'etre-nya,
memperparah konflik berdarah, dulu dan sekarang, serta mungkin untuk waktu yang
akan datang. Tunggu saatnya lagi kalau tidak dibenahi secara tegas dan mendasar.
Saksikan saja bagaimana rumah-rumah ibadah dirusak dan dibakar. Demikian pula,
pembunuhan orang-orang yang dilabeli Obeth dan Acan.
TNI ternyata diakronim bukan lagi Tentara Nasional Indonesia karena mereka tidak
objektif, berpihak dan menembaki pihak/kelompok tertentu. Bagaimana mungkin
rakyat yang merasa dizalimi dan melihat mereka ditembak mau percaya terhadap
TNI. Pada waktu itu, sangat mengherankan kalau rakyat di kota Ambon sampai
menghujat dan meminta sebaiknya keamanan dipercayakan kepada Angkatan Laut
dan Angkatan Udara. Demikian pula, jenderal-jenderalnya setali tiga uang alias sama
saja. Sedih dan perih melihat semuanya itu.
* Prof Dr J.E. Sahetapy SH MA, guru besar Emeritus Unair
© 2003, 2004 Jawa Pos dotcom.
|