KOMPAS, Senin, 02 Agustus 2004
Kami Tak Ingin Palu seperti Poso
"PENDETA Susianti itu sahabat saya. Tetapi setelah peristiwa penembakan itu,
keluarganya memandang saya jadi lain. Melihat saya, keluarganya seperti bagaimana
... gitu," kata seorang perempuan berjilbab kepada Kepala Kepolisian Daerah
Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal (Pol) Taufik Ridha.
LONTARAN pengalaman pribadi itu terungkap pada dialog Komite Nasional Pemuda
Indonesia (KNPI) Sulawesi Tengah (Sulteng) dengan penanggung jawab keamanan
dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) wilayah Sulteng itu di aula Markas Kepolisian
Daerah (Polda) Sulteng di Kota Palu, Jumat (23/7) silam.
Perempuan berjilbab itu berdiri. Kata-katanya terlontar keras. Raut wajahnya tampak
serius. Tanpa senyum, juga tanpa amarah. Namun, kata- kata yang meluncur dari
mulutnya itu demikian terkesan sebagai lontaran dari batin yang terdalam. Berbicara
dengan hati membuatnya tak mampu menyembunyikan rasa prihatin, gelisah,
gundah, dan pedih.
Boleh jadi yang hendak dikatakan perempuan berjilbab itu adalah ketika
simbol-simbol agama tersentuh, sentimen agama bereaksi. Ketika seorang pendeta
ditembak, semua mata menuding dan curiga bahwa yang berbuat adalah orang-orang
Islam. Sebaliknya, ketika ada yang merusak rumah ibadah Muslim atau menembak
ustadz, semua telunjuk menuding ke orang- orang Kristen. Bahkan, sekarang ini
penembakan atau kasus-kasus yang jelas-jelas bermotif kriminal pun bisa digiring
menjadi isu agama. Sesederhana itukah mencari jawaban atas kasus-kasus
tersebut?
"Menurut analisis saya, ada pihak ketiga. Mereka orang- orang profesional,
orang-orang bayaran. Mungkin terkait dengan kasus-kasus lama di Poso. Buktinya
mereka menembak dengan jitu," kata tokoh Islam, Prof Dr Sulaiman Mamar MA,
Pembantu Rektor I Universitas Tadulako.
"Soalnya, umat Islam dan Kristen di Palu damai-damai saja. Tidak ada friksi dan
gejolak," kata tokoh peace building Poso (sekitar 220 kilometer arah timur Kota Palu)
itu menambahkan.
"Kita yakin abad ke-21 ini adalah abad kebangkitan agama, tetapi penembakan
terhadap rohaniwan itu adalah pukulan untuk semua umat beragama," ujar Pendeta
Widodo MTh di depan 180-an tokoh agama dan pemuka masyarakat di Kantor Wali
Kota Palu beberapa hari lalu.
Secara eksplisit dia mengajak agar semua prasangka dipupus dalam-dalam. Yang
harus dilawan itu bukan simbol- simbol agama tertentu, tetapi sosok yang bernama
terorisme. "Kita harus melawan terorisme. Terorisme itu lintas agama. Karena umat
Kristen juga bisa kok ngebom gereja. Orang Kristen juga bisa kok menembak
pendetanya," ucapnya.
Penembakan terhadap Pendeta Susianti Tinulele (dan empat anggota jemaat lainnya,
yang mengalami luka-luka) hari Minggu malam, 18 Juli lalu, di Gereja Efata telah
membuat warga Kota Palu terkejut. Keheningan kota seakan terusik. Kasus
penembakan jaksa Ferry Silalahi pun belum terhapus dari benak warga.
Selain itu, ada teror bom saat prosesi pemakaman Pendeta Susianti di Gereja Efata
dan juga di Gereja Bala Keselamatan. "Sepertinya ada pihak-pihak yang tidak ingin
Sulawesi Tengah ini aman," tutur Gubernur Sulteng Aminuddin Ponulele.
Untunglah kecemasan belum begitu menghantui warga Kota Palu. "Sampai saat ini
masih aman, tidak ada yang mengkhawatirkan. Kaum Muslim maupun Kristiani
sangat mengharapkan situasi aman tetap berlangsung," kata Charles, warga
Kompleks BTN Kelapa Mas Permai, Palu.
Apa yang dikatakan Charles benar. Di pusat-pusat keramaian aktivitas warga Kota
Palu seperti tak terganggu. Kendaraan tetap berseliweran di jalan. Lalu lintas tetap
ramai. Yang membuat jalanan agak lengang adalah hujan yang mengguyur kota itu
hampir setiap malam dalam pekan-pekan belakangan ini.
Tempat-tempat nongkrong anak muda pun tampak masih ramai. Kawasan Pantai
Taman Ria dan Pantai Talise, keduanya di Teluk Palu, setiap hari dikunjungi mereka
yang tergolong anak baru gede (ABG), yang hendak memandangi terbenamnya
Matahari dan debur ombak di Teluk Palu. Mereka datang bergerombol sambil
meneguk saraba serta menikmati pisang epe dan jagung bakar. Bahkan, semakin
malam pantai itu semakin ramai, terlebih lagi pada malam Minggu. Boleh jadi di
tempat-tempat seperti itulah kesumpekan hidup bisa diabaikan.
Palu seperti kota yang memadukan keindahan pemandangan laut di Teluk Palu dan
panorama Gunung Gawalise.
Jangan bandingkan dengan tempat-tempat ibadah, misalnya. Meskipun tidak ada
pengamanan yang terlihat begitu ketat, setiap ada kegiatan ibadah, rumah-rumah
ibadah itu selalu dijaga polisi. Selama ini ancaman datang tanpa gelagat.
Penembakan terhadap Pendeta Susianti, ancaman teror bom, dan bungkusan plastik
mirip bom di Gereja Bala Keselamatan membuat polisi harus bekerja lebih serius.
TAK mengherankan, sebanyak 281.646 warga Palu berharap kepada pihak
kepolisian. Sejumlah kasus yang merebak belakangan ini membuat banyak pihak
menuding polisi tidak bekerja serius. Tidak sedikit yang mengembuskan isu bahwa
polisi tidak optimal melaksanakan tugas utamanya, menjaga keamanan dan
kestabilan di ibu kota Sulteng yang luasnya 395,06 kilometer persegi itu.
"Dengan adanya penembakan terhadap Pendeta Susianti, polisi kecolongan lagi.
Padahal, penembakan terhadap jaksa Ferry Silalahi belum terungkap," tutur seorang
warga Palu.
Menanggapi itu, polisi pun gerah. Taufik Ridha berulang kali mengatakan bahwa
pihaknya bekerja sepanjang waktu, tidak kenal lelah, tanpa istirahat, siang dan
malam.
Kepala Kepolisian Resor (Polres) Palu Ajun Komisaris Besar Noman Siswandi juga
tak mampu menyembunyikan kegalauannya ketika bertemu sejumlah tokoh agama
dan pemuka masyarakat.
"Saya tidak bisa menerima apabila dikatakan polisi tidak melakukan pengejaran
(pelaku penembakan). Saya katakan, kami serius. Sampai mengorbankan jiwa pun
itu tidak masalah karena itu sudah menjadi tugas dan tanggung jawab kami," kata
Noman beberapa hari lalu.
Merasa belum puas menjelaskan kepada sejumlah tokoh itu, Noman menceritakan
langkah-langkah yang telah ditempuh pihaknya.
Sejak adanya penembakan terhadap Pendeta Susianti, katanya, pihaknya telah
mengejar tersangka pelaku sampai ke luar Kota Palu. Lima tim pemburu diterjunkan.
Namun, orang-orang yang dicurigai itu bergerak cepat, bagai belut.
"Setiap kami cermati gerak- gerik pelaku, mereka selalu berpindah-pindah dengan
cepat. Kami kejar ke suatu kota, mereka tahu dan cepat bergerak ke kota lain,"
katanya.
Sejumlah kasus yang merebak di Palu, terlebih penembakan terhadap Pendeta
Susianti, membuat Markas Besar (Mabes) Kepolisian Negara Republik Indonesia
(Polri) mengirim tim intelijen khusus yang dipimpin Brigjen (Pol) Sudibyo, Direktur
Badan Intelkam Mabes Polri.
Sulitnya polisi bertindak, kata Kepala Polda Sulteng, tak lain karena ulah masyarakat
sendiri. Bayangkan, setiap hendak bertindak, polisi selalu menemui kesulitan.
Kendala utamanya adalah masyarakat yang begitu tertutup.
Ia menilai masyarakat masih enggan bekerja sama. "Kendala di Palu dan juga di
Poso terkait dengan sikap masyarakat. Sebagian masyarakat masih tertutup untuk
memberikan informasi. Boleh jadi mungkin terkait dengan dendam. Maksud saya,
sebetulnya sebagian besar masyarakat menginginkan kedamaian, tetapi karena
faktor masih adanya dendam, membuat masyarakat masih tertutup. Nah,
ketertutupan inilah yang membuat kami kesulitan mengungkap kasus-kasus
tersebut," katanya.
Oleh karena itu, Kepala Polda Sulteng meminta bantuan masyarakat. Tanpa bantuan
masyarakat, katanya, polisi tidak mungkin bisa bekerja. "Kami ini bukan Superman,"
ucapnya.
Taufik mengambil contoh, "Saat suatu kasus akan dibawa ke pengadilan, kami
kekurangan saksi-saksi karena masyarakat tidak ada yang mau."
Menyadari kendala itu, Polda Sulteng membentuk pemuda kamtibmas yang
diharapkan berperan di kampungkampung.
Peran serta masyarakat itu rupanya menjadi perhatian banyak pihak. "Saya minta
masyarakat membantu dan berpartisipasi aktif memberikan informasi kepada polisi.
Tanpa bantuan informasi itu, pengungkapan sejumlah kasus akan terhambat," kata
Gubernur Aminuddin Ponulele.
Permintaan senada dilontarkan Wali Kota Palu Suardin Suebo. "Warga diminta
menyampaikan informasi apabila ada aktivitas orang yang patut dicurigai, paling tidak
kepada pihak terdekat, semisal lurah," ujarnya.
Sebaliknya, warga mengharapkan aparat pemerintah, polisi, tokoh agama, dan
pemuka masyarakat turun langsung ke masyarakat memberi penyadaran dan
pemahaman. Peran mereka sangat membantu untuk memupus rasa cemas sekaligus
mencegah kemungkinan munculnya amarah. "Cuma jalan itu yang kami harapkan,
karena pemahaman masyarakat di kalangan bawah itu berbeda-beda. Apalagi
masyarakat yang muda-muda yang masih emosional," kata Charles.
"Saya ingin mengimbau semua umat bahwa kita semua bertanggung jawab menjamin
keamanan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat di Kota Palu. Marilah kita
menjalin komunikasi. Mungkin budaya silaturahmi harus dibangun kembali untuk
saling mengunjungi," ujar Widodo.
Imbauan serupa dilontarkan Prof Sulaiman. "Umat jangan sampai terpancing atas
kasus- kasus yang dilakukan orang- orang bayaran tersebut. Jangan sampai ada
dendam," kata Sulaiman Mamar. (Subhan SD)
Copyright @ PT. Kompas Cyber Media
|