KOMPAS, Sabtu, 05 Juni 2004
Sidney Jones: ICG Bukan Organisasi HAM
SAMPAI beberapa waktu lalu, Sidney Jones (57) berusaha untuk mengesampingkan
rumor tentang izin kerjanya yang tidak bisa diperpanjang lagi di Indonesia. Memang
izin kerjanya berakhir tanggal 10 Mei 2004, dan ia mendapat perpanjangan darurat
selama 30 hari. Namun, ia masih berharap bisa mendapat perpanjangan izin kerja.
BELAKANGAN ia harus menanggapi rumor itu dengan serius, karena beberapa
tuduhan yang harus diklarifikasi dan kesalahpahaman mengenai posisi International
Crisis Group (ICG), lembaga riset yang ia pimpin menggantikan indonesianis asal
Australia, Harold Crouch, yang harus kembali ke Australian National University (ANU)
pada tahun 2001.
Sidney Jones adalah pribadi yang menarik. Beberapa mahasiswa tingkat doktoral
yang pernah magang di Human Right Watch (HRW) di New York, harus mengikuti
ritme kerjanya yang tak kenal waktu. Selama dua tahun di Jakarta, Sidney juga tak
pernah cuti. "Tapi karena stres, hari Jumat saya pergi ke Bali. Nggak tahunya selama
tiga hari di sana, hujan terus. Apa itu berarti dewa-dewa di Bali juga marah sama
saya ha..ha..ha..ha...."
Sidney mencoba memberikan klarifikasi dengan berbagai pihak pekan ini, namun
keputusan bahwa ia harus meninggalkan Indonesia pada tanggal 10 Juni tampaknya
tak bisa ditawar lagi. Meski masih bisa tertawa dan bergurau, tak urung beberapa
ungkapan kalimatnya menyiratkan rasa berat hati karena harus meninggalkan
Indonesia.
"Ketika memutuskan keluar dari HRW dan bergabung dengan ICG, niat saya adalah
menetap di sini selamanya," katanya. "Teman-teman di ICG sudah seperti keluarga.
Di Indonesia saya punya lebih banyak teman dibandingkan di mana pun."
Berikut perbincangan dengan Sidney Jones, sehari setelah ia kembali dari Bali, pekan
lalu.
Menurut Anda, mengapa izin tinggal Anda tidak diperpanjang?
Saya tidak mau hanya menduga-duga tanpa dasar, karena justru di situlah
masalahnya. Tuduhan terhadap ICG juga tanpa dasar, dan saya tidak mau melakukan
hal serupa. Kalau misalnya saya pergi, saya berharap sekali ICG bisa terus
melakukan pekerjaannya di sini. Perlu diketahui bahwa ICG bukan organisasi HAM
seperti banyak diduga orang. Organisasi kami melakukan kerja akademis. Tugas
kami menganalisis konflik dan membuat rekomendasi tentang bagaimana konflik bisa
ditangani lebih baik, atau bahkan bisa dicegah.
Rekomendasi itu diberikan kepada siapa?
Kepada instansi pemerintah di Indonesia maupun kepada lembaga yang secara
relevan berkaitan. Misalnya saja dalam laporan tentang Aceh, kami mengusulkan
agar lebih banyak perhatian diarahkan kepada good governance di Aceh. Jadi terlalu
sederhana kalau melihat apa yang terjadi di Aceh hanya sebagai konflik antara TNI
dan GAM. Kami juga mempersoalkan kelemahan hukum otonomi khusus yang
diberikan ke Aceh karena rupanya tidak ada konsultasi dengan rakyat Aceh
sebelumnya. Ini berbeda dengan Papua. Jadi saya menduga banyak orang yang
mengritik laporan ICG belum membaca laporan itu seluruhnya.
Memang banyak disebutkan, penelitian mengenai masalah Aceh dan Papua yang
mengusik Pemerintah….
Saya ragu sebenarnya. Mereka pasti tahu bahwa kami tidak terlibat dengan aksi-aksi
solidaritas dan tidak pernah mendukung gerakan prokemerdekaan. Sesudah
dipastikan bahwa saya harus keluar dari Indonesia, ada beberapa pesan dari orang
yang tidak senang dengan kritik saya terhadap GAM. Mereka bilang, ironis sekali
nasib saya.
Jadi bukan hanya masalah Aceh dan Papua?
Selama ini ada sekitar delapan atau sembilan laporan yang dibuat ICG keluar. Di
antaranya terkait dengan persoalan Aceh, Papua, Jemaah Islamiyah, dan
desentralisasi. Jadi sebetulnya saya tidak tahu apa masalah sesungguhnya. Saya
juga agak bingung, karena yang kami tulis, selalu didokumentasikan. Kalau kita
bilang si A terlibat, ada dokumentasi, ada wawancara dengan saksi mata dan ada
sumber lain yang bisa dikonfirmasi. Tapi saya kira yang menarik, setiap kali laporan
ICG dipersoalkan, selalu ada alasan baru. Pertama, soal Aceh dan Papua. Kedua,
soal mengganggu stabilitas negara. Ketiga, soal merugikan kepentingan bangsa.
Semua tanpa perincian. Beberapa waktu lalu, waktu saya ada di satu program
dengan dua orang dari Komisi I DPR, mereka mengakui dalam rapat tertutup dengan
BIN (Badan Intelijen Negara) tidak ada yang spesifik diajukan.
Pernah mendapat ancaman atau intimidasi berkaitan dengan laporan ICG? Atau
pernah mendapat surat atau semacamnya berkaitan dengan izin tinggal?
Tidak. Kami tidak pernah mendapat telepon gelap, tidak ada selebaran gelap, tidak
ada orang yang tiba-tiba masuk ke kantor, atau apa pun yang membuat kami merasa
tidak aman. Yang terjadi sekarang ini boleh dikatakan semacam penghentian
kegiatan ICG secara halus.
Kalau berkaitan dengan izin tinggal, pertama, saya mendapat panggilan dari
Depnakertrans tertanggal 16 Februari 2004, karena mereka mendapat pengaduan,
yang akhirnya kami tahu dari BIN. Karena pengaduan itu, pekerjaan dan status ICG
mulai diperiksa.
Apakah semua ini ada hubungannya dengan capres yang militer?
Saya kira, tidak.
Apakah ini salah satu tanda kembalinya pemerintahan yang represif?
Setahu saya, saya tidak akan dicekal. Tidak ada larangan untuk kembali ke
Indonesia, asal saya tidak bekerja dan menetap di sini, meskipun saya
mengharapkan keputusan itu bisa berubah.
SIDNEY Jones bergabung dengan HRW selama 14 tahun dan memimpin Divisi Asia
merangkap 22 negara, dari Afganistan sampai China. Namun seluruh laporan tentang
Indonesia, ia kerjakan sendiri karena ia merasa lebih memahami Indonesia
dibandingkan rekan-rekan kerjanya yang lain.
Indonesia ia kenal jauh sebelum bekerja dengan HRW. Pada tahun 1977, ia
bergabung dengan The Ford Foundation (FF) yang menawarinya pekerjaan untuk
bekerja di Indonesia. Pucuk dicinta, ulam tiba. Saat itu ia sedang bosan berada di
lingkungan universitas. "Tapi saya belum pernah membaca tentang Indonesia, jadi
saya ambil buku Travel Guide Indonesia dan menghafal nama pulau-pulaunya supaya
tidak tampak terlalu bodoh," kenangnya.
Ketika harus belajar Bahasa Indonesia di Universitas Wisconsin, ia bertemu Tunggul
Siagian dan Umar Kayam (alm) sebagai gurunya. "Juga ada Aristides Katoppo, atau
Goenawan Mohammad, saya lupa. Yang jelas ada orang yang begitu terkenal,"
katanya. Tujuh tahun di Ford Foundation membuatnya enggan menyelesaikan
disertasi doktornya tentang Nahdlatul Ulama, meski ia sempat melakukan penelitian
di Kediri selama setahun.
Master of Arts lulusan University of Pensylvania di bidang International Relations dan
ahli sastra Arab dan Parsi ini meninggalkan HRW pada akhir tahun 2001. Ia mengaku
lelah dan tertekan dengan kebijakan Pemerintah AS terhadap Afganistan. "Saya ingat
tanggal 7 Desember saya naik pesawat tanpa ingat saya akan mendatangi konferensi
apa, dan harus ngapain di sana," kenang Sidney.
Ia tiba di universitas kecil di San Diego, California, pada pukul 11 malam, dan pada
pukul 10 pagi ia harus presentasi. Padahal ia belum membuat materinya sehingga
harus terjaga sepanjang malam untuk menyiapkan materi, yang, ia katakan tidak
terlalu baik, tentang pelanggaran HAM masa lalu.
"Saya selesaikan presentasi, tapi tidak mau tinggal lebih lama di konferensi itu. Saya
capai dan stres," lanjutnya. Kemudian ia pergi ke Kebun Binatang. "Saya berdiri di
depan orang utan yang wajahnya begitu simpatik. Saya mulai menangis. Saya kira
sudah waktunya saya keluar dari HRW."
Sidney memutuskan keluar dari HRW meski tanpa pekerjaan apa pun. Setelah lebih
tenang, ia kembali ke New York. "Saya bilang akan tetap di HRW sampai ada
pengganti saya. Lalu saya mulai membuat beberapa lamaran, termasuk ke ICG, dan
mendapat balasan segera dari Harold Crouch," sambungnya.
ICG mulai beroperasi tahun 2000 di Indonesia, karena reformasi politik yang
menjadikan situasi lebih kondusif bagi keterbukaan. Sidney benar-benar
meninggalkan HRW bulan Maret 2002 setelah HRW mendapatkan penggantinya dan
mulai bekerja di Indonesia bulan Mei tahun 2002.
Bagaimana Anda melihat Indonesia selama proses transisi ini?
Indonesia berada dalam masa yang sangat kritis. Keberhasilan transisi akan
betul-betul tergantung pada perkembangan yang terjadi lima tahun mendatang. Jika
tidak ada kemajuan yang berarti, masih belum ada lembaga politik yang betul-betul
kuat, belum ada partai politik yang berfungsi semestinya dan korupsi masih setinggi
seperti sekarang, kemungkinan besar eksperimen itu tidak akan berhasil. Saya kira
ada beban berat sekali untuk siapa saja yang akan menjadi presiden.
Kemajuan macam apa, menurut Anda?
Misalnya reformasi sistem pengadilan. Ini sangat penting. Juga membersihkan kantor
kejaksaan, memperkuat peranan sipil dalam sistem keamanan di dalam negeri,
memisahkan TNI dan Polri, memberantas korupsi mulai dari atas dan jangan berharap
dari bawah. Diperlukan presiden yang luar biasa tegas untuk tugas itu.
Adakah kemungkinan kembali ke militerisme?
Saya tidak mau mengatakan ada kemungkinan itu sekarang. Saya hanya mau bilang
jangan sampai kesempatan lima tahun mendatang dibuang. Ini kesempatan
menguatkan lembaga yang ada dan itu terserah rakyat Indonesia maupun
pemimpinnya, apakah kesempatan itu akan dimanfaatkan atau tidak.
Bagaimana dengan langkah menyelesaikan masa lalu?
Itu sangat penting. Tapi ada berita seorang anggota di Fraksi TNI/Polri meminta agar
kata kebenaran dalam RUU Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) dibuang saja.
Itu lucu sekali, karena berarti belum siap menerima apa yang sesungguhnya terjadi
pada masa lalu.
Harus diakui, pelanggaran masa lalu di negara lain tidak bisa ditangani dengan baik
kecuali ada pemerintah yang ingin betul-betul menyelesaikannya. Di Indonesia
kemauan untuk itu belum terlihat. UU KKR tidak bisa diimplementasikan dalam
situsasi seperti itu. (Wisnu Nugroho/Maria Hartiningsih)
Copyright @ PT. Kompas Cyber Media
|