KOMPAS, Sabtu, 26 Juni 2004
Rekonsiliasi Maluku Lebih Penting ketimbang Pemilu
SAMBIL mengumbar senyum, Ketua Komisi Pemilihan Umum Maluku Jusuf Idrus
Tatuhey menyatakan kebanggaannya. "Rakyat Maluku merasa dihormati. Katong
bakumpul lagi," katanya kepada Kompas seusai kampanye calon presiden Wiranto
pertengahan Juni lalu.
Masih dalam panggung yang sama, tokoh Kristen, Pendeta OG Tiven, mengatakan
rekonsiliasi lebih penting daripada kampanye itu. "Saya menyaksikan semua dengan
rasa haru. Rakyat berkumpul dan bernyanyi bersama Sio Mama dan melupakan
konflik," katanya.
Hari itu kata rekonsiliasi bagai magnet dan kemudian menebar ke seluruh persada
Maluku. Tak hanya rakyat, pemerintah dan tokoh agama pun terus menyatakan
rekonsiliasi dalam makna ideal. Tidak ada yang mampu menahan upaya perdamaian
di Maluku.
Maluku seolah menuju puncak perdamaian, pascakerusuhan 25 April 2004. Rakyat
histeris mengibas-ngibaskan panji, kemudian larut dalam suasana politik demokratis
tanpa embel-embel agama. Suasana kampanye tak ubahnya terjadi di daerah aman
yang masyarakatnya gemah ripah.
Tanpa ada rasa khawatir, sekalipun harus melewati jalur rawan, warga terus berpawai
mengelilingi kota. Laju kendaraan yang ditumpangi peserta kampanye seolah tak
mampu menghentikan animo massa untuk sekadar menyatakan identitas.
Kampanye pemilihan presiden direkam oleh TVRI Stasiun Ambon yang kemudian
menayangkannya ke pemirsa lokal dalam siaran ulang petang hari. Sekitar 75 persen
dari 1.270.414 warga Maluku menyaksikan acara itu.
Esoknya koran lokal bertiras 2.000 sampai 5.000 eksemplar yang terbit di Ambon
menulis besar-besar kata rekonsiliasi dalam berbagai judul. Mereka menyorot
kampanye Wiranto bukan dari sisi politik, tetapi maknanya. "Telah lama kami
menunggu suasana ini. Rekonsiliasi harus didorong terus," ujar Tiven menambahkan.
Mereka menghindari isu agama sebagai alat politik. Oleh politisi, agama ibarat bumbu
penyedap, bahkan sewaktu- waktu berubah menjadi lokomotif penarik massa
kampanye.
Bagi Maluku, benang kusut konflik harus ditegakkan. Masyarakatnya berusaha
memperbaiki citra sebagai rakyat yang pluralis, yang beradab, dan menghargai satu
sama lain. Penghargaan atas manusia memang sempat luntur ketika konflik dua
komunitas "Obet dan Acan" berlangsung hampir lima tahun.
"Stigma Maluku beradab dan saling menghormati antarwarga harus dibangun," kata
Thoss Lailossa, dosen sebuah perguruan tinggi di Ambon, yang juga anggota Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Maluku.
Menurut Lailossa, pandangan politik rakyat Maluku cukup selektif. Tema kampanye
disaring secara rasional dan masuk akal. "Jangan bicara ngaco, jual obat di sini.
Kampanye yang menjual disparitas tidak laku," katanya.
Meski berbeda aspirasi politik, berbeda latar belakang sosial, etnis, maupun agama,
rakyat Maluku bisa spontanitas menyatakan simpati kepada calon presiden (capres)
yang mendorong rekonsiliasi.
"Saya orang Muhammadiyah. Aspirasi politik saya mendukung Pak Amien Rais.
Namun, saya simpati atas kampanye Wiranto hari ini. Rasanya seluruh masyarakat
mendukung kampanye di Lapangan Merdeka," kata Jusuf Idrus Tatuhey.
Ia menambahkan, dalam dialog pemilu di RRI Maluku beberapa hari lalu, sebagian
pemirsa meminta agar KPU memberikan motivasi kepada para capres untuk "berani"
berkampanye di lapangan. "Katong ingin bakumpul ley, jangan pisahkan kami," kata
Tatuhey.
MASYARAKAT Maluku sempat kecewa karena dua capres yang datang ke Ambon
sebelumnya tampil dalam kampanye tertutup. Mereka berkampanye di gedung
terpisah, mendatangi dua komunitas dalam dua kesempatan berbeda.
Kampanye tertutup, kata Tatuhey, kurang efektif mempromosikan Maluku sebagai
daerah aman. Para capres terkesan kurang menangkap sinyal-sinyal perdamaian
yang dikirim masyarakat melalui kampanye legislatif Maret lalu. Kampanye legislatif
tergolong sukses di Maluku.
Kutni Tahupely, Sekretaris Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) Maluku, mengatakan, rakyat tak lagi mempersoalkan warna
politik setiap warga. Tidak ada garis demarkasi konstituen. Politik ya politik, agama
adalah agama, jangan dicampur aduk," katanya.
"Saya ingat ketika banyak orang Jakarta meramalkan Maluku akan rusuh saat
pemilu. Nyatanya, kami kampanye enteng-enteng saja. Massa PPP berbasis Islam
bebas masuk ke wilayah Nasrani, begitu sebaliknya ketika massa PDS (Partai Damai
Sejahtera) berbasis Kristen tanpa gangguan melintasi kantong Muslim," katanya.
Rekonsiliasi tumbuh dan berkembang secara alami di Maluku justru saat kampanye
politik yang penuh intrik dan kekerasan. Masyarakat sadar agama memang bukan
politik, sebaliknya politik bukan agama.
Sebagai gambaran, partai politik berbasis agama ternyata kurang diminati
masyarakat. Ketua KPU Maluku Tatuhey mengatakan, PPP yang pada Pemilihan
Umum (Pemilu) 1999 meraih delapan kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
provinsi, pada pemilu legislatif April lalu hanya meraih empat kursi. Demikian juga
PDS, hanya meraih dua kursi. Gambaran politik di Maluku menunjukkan
nasionalisme lebih diterima rakyat dibandingkan dengan partai yang menjual agama.
Dalam pemilu legislatif lalu yang diikuti 803.000 pemilih, partai berbasis nasionalis
dimotori Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) serta
Partai Demokrat menguasai 70 persen kursi DPRD Maluku.
Lalu, siapa capres terkuat di Maluku? Pertanyaan itu memang sulit dijawab karena
perolehan kursi DPR berlangsung imbang, artinya Partai Golkar, PDI-P, Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), dan PPP sama-sama meraih satu kursi.
Megawati Soekarnoputri yang oleh sejumlah kalangan dinilai sukses meredam konflik
di Maluku mendapat tantangan berat dari capres dari Partai Golkar, Wiranto. Partai
Beringin itu memang telah mengakar kuat pada sebagian rakyat pedesaan, seperti
tercermin dari hasil pemilu legislatif, dengan meraih 20 persen suara.
Keuntungan Megawati adalah, selain posisinya sebagai presiden yang tengah
memerintah, juga karena basis suara PDI-P yang 18 persen akan bertambah
signifikan dengan suara PDS yang 8 persen dan meraih posisi ketiga di Ambon.
Dari jajak pendapat yang dilakukan Kompas, selain Wiranto-Salahuddin Wahid,
pasangan yang juga cukup populer adalah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Kerinduan terhadap keamanan dan stabilitas agaknya menjadi cermin kuatnya
dukungan terhadap Wiranto dan Yudhoyono yang berlatar belakang militer. Di Maluku
Tenggara dan Kabupaten Buru, Wiranto lebih populer daripada Yudhoyono.
Amien Rais-Siswono Yudo Husodo juga punya peluang cukup besar jika bisa
"merebut" suara PKS sebagai peraih 7,29 persen suara, selain Partai Amanat
Nasional (PAN) yang mendapat 5,28 persen suara di daerah itu. Selain itu, Siswono
bisa mengandalkan suara beberapa partai yang jika ditotal cukup signifikan.
Adapun pasangan Hamzah Haz-Agum Gumelar harus bekerja keras untuk menambah
dukungan suara basisnya.
Rekonsiliasi tampaknya menjadi roh politik di Maluku. Jangan sembarang ngomong
antikorupsi ataupun janji-janji muluk. "Kami semua butuh perdamaian abadi," kata
Tatuhey menambahkan. (Jean Rizal Layuck)
Copyright @ PT. Kompas Cyber Media
|