KOMPAS, Selasa, 29 Juni 2004
Papua Mencari Presiden yang Tidak Terjebak Stigma OPM
PAPUA sampai hari ini masih dilihat sebagian pejabat Jakarta sebagai daerah hitam
dengan gerakan separatisme, disebut Organisasi Papua Merdeka. Kebijakan yang
diambil bagi proses pembangunan di Papua sering bermuatan politik, yakni
mengatasi gerakan ini. Keberadaan OPM inilah yang lalu membuat ambivalensi
kebijakan pemerintah pusat terhadap Papua tidak pernah hilang.
Ketika aspirasi kemerdekaan Papua menyeruak di seluruh pelosok (1999-2000)
dengan pengibaran bendera bintang kejora, pemerintah mengambil kebijakan
menerapkan pendekatan militer. Dengan pendekatan ini, pemerintah berlaku keras
terhadap orang-orang yang menentang kemauan pemerintah.
Namun, di sisi lain, pemerintah seperti menghargai mekanisme musyawarah, sampai
akhirnya pemerintah bersama DPR memberikan otonomi khusus bagi Papua melalui
Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2004. UU ini sebenarnya cukup ampuh
meredam keinginan sebagian warga Papua untuk merdeka.
Akan tetapi, lalu ada aksi penculikan dan pembunuhan Theys Hiyo Eluay, 10
November 2001, hanya dua pekan setelah UU Otonomi Khusus disahkan. Ini
membuat warga Papua bertanya-tanya, apa yang dikehendaki para elite di Jakarta.
Memang dalam kenyataan, UU Otonomi Khusus itu menjadi dasar dari praktik
"Papuanisasi" yang terjadi di berbagai bidang pemerintahan. Gubernur, bupati, camat,
dan jabatan lain diisi oleh orang Papua. Program beasiswa digelar, uang sekolah SPP
dibebaskan, pengobatan gratis diberikan.
Akan tetapi, Papuanisasi ini belakangan malah dikhawatirkan bisa memberi angin
baru bagi pejuang Papua Merdeka. UU Otonomi Khusus pun masuk dalam kategori
UU "hitam" karena sebagian muatan dan isi UU itu diadopsi dari kongres Papua II,
Mei-Juni 2000 di Jayapura.
Pemerintahan Megawati pun mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1/2003
tentang percepatan pelaksanaan UU Nomor 45/1999 mengenai pemekaran Provinsi
Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah, dan Irian Jaya Timur. Inpres ini seperti menihilkan
Otonomi Khusus karena tiba-tiba memekarkan provinsi tidak lewat mekanisme UU
Otonomi Khusus.
Pro kontra pemekaran provinsi pun memuncak dan berlangsung cukup seru di antara
elite politik di Papua. Deklarasi Irian Jaya Tengah malah membawa perang suku di
Timika yang menewaskan lima warga sipil. Perang adat pun diangkat untuk membela
pemekaran maupun yang menolak.
SEMUA unsur masyarakat Papua menunggu datangnya presiden baru yang mengerti
masalah Papua, tidak sekadar persoalan OPM.
Menurut staf dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih,
Henk Bleskadit Msi, persoalan Papua adalah persoalan harga diri, martabat, dan
pengakuan bahwa pemerintah sungguh- sungguh membangun Papua sebagai bagian
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Persoalan di Papua adalah persoalan kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, dan
keterisolasian. Masyarakat Papua sejak berintegrasi dengan RI masih jauh tertinggal
dari semua provinsi lain.
Mengatasi separatisme di Papua tidak boleh dengan mengerahkan pasukan,
menguasai sejumlah wilayah di Papua. Pendekatan ini malah menebar rasa takut
yang tak habis-habis di kalangan masyarakat Papua.
Masyarakat telah mengikuti lima calon presiden (capres)-calon wakil presiden
(cawapres) dan tim suksesnya berkampanye di Papua. Hampir semua mengucapkan
sederetan janji. Namun, tidak banyak yang memberi keyakinan bahwa harapan,
dukungan, dan perhatian para capres itu bakal benar-benar diterapkan kelak.
Ini sebabnya, harapan, dukungan, dan perhatian terhadap figur capres lalu terasa
lebih menonjol ketimbang partai politik. Figur Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf
Kalla, misalnya, punya tempat cukup istimewa bagi rakyat Papua. Sebagai Menko
Polkam dan Menko Kesra, keduanya cukup menunjukkan keberpihakan terhadap
Papua.
Ini juga terlihat dari jajak pendapat Kompas yang digelar di lima dari 14
kabupaten/kota di Papua, yaitu Kota Jayapura, Jayawijaya, Biak Numfor, Mimika, dan
Nabire. Di kelima wilayah itu, popularitas Yudhoyono-Jusuf Kalla jauh di atas calon
lain walaupun Partai Demokrat sendiri cuma meraih 4,5 persen dalam pemilu
legislatif.
Sebaliknya, Megawati yang sedang memegang kekuasaan justru tidak populer
karena munculnya Inpres Nomor I/2003, yang menimbulkan reaksi pro kontra
berkepanjangan, justru lahir dari tangan Megawati. Partainya, Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan, pun dalam pemilu legislatif lalu, walaupun berada di urutan
kedua dengan 8,08 persen suara, tidak signifikan dibandingkan dengan Golkar yang
meraih 24,7 persen.
Keuntungan Megawati adalah posisinya sebagai presiden yang sedang berkuasa.
Megawati juga bisa mengandalkan suara Partai Damai Sejahtera yang 6,3 persen
sebagai dukungan. Posisi Hasyim Muzadi tidak bisa mendongkrak popularitas
Megawati.
Setelah Yudhoyono, calon lain yang populer adalah Wiranto. Pertama, karena
Wiranto didukung mesin politik Golkar yang menguasai 24,7 persen suara dalam
pemilu legislatif. Faktor lain yang menguntungkan Wiranto adalah posisi Salahuddin
Wahid, yang kebetulan adik mantan Presiden Abdurrahman Wahid. Sebab, bagi
banyak warga Papua, Gus Dur adalah pahlawan demokrasi.
Kandidat calon lain, Amien Rais dan Siswono, tampaknya harus bekerja lebih keras
untuk menggalang dukungan bukan saja dari Partai Amanat Nasional, tetapi juga dari
beberapa partai kecil pendukung Siswono. Sebab, popularitas Amien-Siswono hanya
terasa di Jayapura, Biak Numfor, dan Mimika. Hal serupa dirasakan pasangan
Hamzah Haz dan Agum Gumelar.
Bagi warga Papua, yang dibutuhkan cuma presiden yang mengakomodasi aspirasi
Papua secara tulus. Warga Papua sudah lelah menghadapi ambivalensi kebijakan
Jakarta. Mereka tak ingin terus diperlakukan dengan stigma sebagai OPM.
(KORNELIS KEWA AMA)
Copyright @ PT. Kompas Cyber Media
|