The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Maluku Media Centre


Maluku Media Centre, Selasa, 13/07/2004 12:27:03 WIB

Harap-Harap Cemas Menanti, BBR Tak Kunjung Tiba

Reporter : Azis Tunny

Ambon, MMC ---- Potret pengungsi hingga kini masih terpampang jelas di seantero Maluku. Ratusan miliar rupiah telah mengalir dari pusat, namun masalah kemanusiaan ini tak kunjung tuntas.

Tahun 2003 saja, dana yang bersumber dari APBN sebesar Rp 176 miliar sudah mengalir, ditambah Anggaran Belanja Tambahan (ABT) Rp 30 miliar. Belum lagi sumber dana dari lembaga nonpemerintah, dermawan, LSM, maupun bantuan luar negeri dan sebagainya. Yang pasti, untuk masalah pengungsi telah menyedot ratusan miliar rupiah.

Meskipun sudah banyak dana terpakai habis, ribuan pengungsi masih hidup terlunta-lunta. Ada yang memilih hidup terorganisir di kamp-kamp pengungsian. Ada juga yang terpaksa tinggal di rumah kerabat, menempati rumah orang atau terpaksa mengontrak rumah karena sudah tidak ada tempat tinggal gratis.

Salah satu potret kehidupan pengungsi dalam pantauan MMC adalah pengungsi di Kabupaten Maluku Tengah (Malteng), Provinsi Maluku. Tercatat di Dinas Kesejahteraan Sosial (Dinkesos) Malteng, sebanyak 12.494 KK masih terlunta-lunta nasibnya dan tersebar di 19 kecamatan.

Dari pengungsi yang belum tersentuh bantuan itu, salah satunya pasangan La Jamudin (50) dan Wa Nauke (45). Pasangan suami-istri dengan lima anak ini, meninggalkan tempat asalnya di Dusun Saru, Kecamatan Saparua, 17 Februari 1999. "Waktu mengungsi kami hanya bawa pakaian secukupnya serta anak-anak punya ijasah sekolah. Pikirnya mengungsi hanya untuk sementara," ujar Jamudin kepada MMC di rumahnya.

Pria yang bekerja sebagai buruh bangunan dan bertani ini, sekarang bersama keluarga menempati sebuah rumah kontrakan kecil seharga Rp 70.000 per bulan. Kontrakan yang terletak di Kelurahan Lesane, Kota Masohi itu telah ditempatinya selama 2,5 tahun. Sebelum tinggal di rumah kontrakan, La Jamudin sekeluarga hidup berpindah-pindah tempat dengan menampung diri di rumah kerabat. "Kami tidak tahu kapan akan dapat bantuan rumah dari pemerintah," katanya.

Saat dilakukan pendataan untuk mendapat Bahan Bangun Rumah (BBR) dari pemerintah, sang istri terpaksa pergi ke Saparua untuk mengurusi surat keterangan mereka sebagai pengungsi. Namun, kehadiran surat-surat itupun tidak menjamin mereka mendapat BBR.

Ditemani dua kerabatnya, Wa Nauke pada 23 September 2003 mendatangi Kepala Desa Saparua, J. Titaley, untuk minta surat keterangan asal dan status pengungsi. Surat tersebut langsung disiapkan kepala desa dengan harapan dapat membantu keluarga La Jamudin di pengungsian. Berbekal surat keterangan itu, Jamudin sekeluarga kemudian mendaftarkan diri ke Kelurahan Lesane, tempat dimana mereka kini berada.

Saat ke Saparua, Wa Nauke yang beragama Islam mengaku tidak ada perasaan takut. Padahal daerah tersebut merupakan basis komunitas Kristen di Maluku. Saat turun dari speedboat yang ditumpanginya, warga Saparua yang mengenalnya langsung mengatakan, dia tidak usah takut karena dirinya akan aman di Saparua. "Dorang (mereka) bilang seng (tidak) apa-apa dan beta seng (saya tidak) usah takut," kata Wa Nauke yang sebelum pecah kerusuhan Masohi 30 Desember 1999, sering pulang-pergi Masohi-Saparua untuk berjualan sayur di Pasar Saparua dengan beberapa pedagang Muslim lainnya.

Untuk mempercepat proses memperoleh BBR, mereka juga membeli tanah di Desa Haruru dengan harga yang tergolong murah. Tanah seluas 15 x 20 meter dilepas pemiliknya, Daeng Tagili, seharga Rp 1.800.000.

Menurut Jamudin, tanah tersebut jika dijual dengan harga normal dapat mencapai Rp 3.500.000. Selain dia, 12 KK pengungsi juga dibantu Daeng Tagili yang menjual tanah dengan luas tanah relatif sama dan harga murah. Hingga kini, baru dua rumah yang rampung pembangunannya. Sementara Jamudin dan tiga KK lainnya baru membangun pondasi rumah. Dengan harapan jika bantuan BBR diperoleh dapat digunakan untuk mendirikan rumah.

"Untuk membeli tanah dan membangun pondasi kami berhutang karena perhitungannya akan diganti. Kami dijanji kalau ada bahan rumah dan surat resmi sebagai pengungsi maka biayanya akan di ganti. Padahal semua hanya janji-janji. Sekarang jujur saja saya tidak terlalu mengharapkan bantuan pemerintah. Saya sendiri harus kerja untuk menghidupi keluarga. Katong Seng (kami tidak) kerja berarti seng (tidak) makan," ujarnya pasrah.

Sementara itu, Lurah Lesane, Ny. Wahda S.Stp saat dikonfirmasi mengatakan, pengungsi yang bermukim di wilayahnya diberi bantuan berdasarkan data registrasi yang dimiliki kelurahan. Sebelumnya, 62 KK pengungsi yang mendiami Lesane telah menerima BBR pada awal tahun 2003. Saat ini, masih tersisa 399 KK atau 2.013 jiwa di sana. "Penyaluran BBR dilakukan pada dua tahap. Pada tahap pertama hanya 62 KK yang dibantu, itupun berdasarkan data registrasi kelurahan maupun Dinas Sosial," kata Wahda.

Dia mengemukakan, untuk memperoleh BBR pada tahap kedua di tahun 2004, pengungsi yang masih tersisa 399 KK itu harus melaporkan diri ke kelurahan disertai surat keterangan pengungsi dari tempat asal. Bila perlu, lanjut dia, juga disertai dengan sertifikat tanah di tempat asalnya.

Pengungsi Lesane dibandingkan empat kelurahan lainnya di Masohi (Ibukota Malteng), jumlahnya jauh lebih sedikit. Daerah yang berpenduduk mayoritas Islam itu tidak ada rumah yang terbakar dalam kerusuhan kemarin. Ironisnya, Kelurahan Letwaru yang berbatasan langsung dengan Lesane dan berpenduduk mayoritas Kristen, seluruh rumah di kawasan itu rata dengan tanah.

Selain itu, Nurlaila Sanaky (32), Pengungsi asal Dusun Tonetana, Desa Waipia, Kecamatan TNS mengungsi meninggalkan rumahnya pasca terbakarnya Gereja Silo di Ambon, Desember 1999. Dusun yang di tempati sekitar 100 KK itu hingga kini ditinggalkan kosong oleh penduduk lamanya. Dia mengaku, masih cemas kalau diminta untuk kembali ke tempat asal.

Bersama sang suami Basuti Sanaky (35) yang kini bekerja sebagai mengayuh becak, mereka harus rela meninggalkan kebun coklat di Tonetana. "Katong seng mau bale lai (Kami tidak mau balik lagi). Kalau katong bale (kami balik) lalu terjadi apa-apa sapa (siapa) yang mau tanggungjawab katong pung (kami punya) nasib," kata Nurlaila yang mengaku masih trauma dengan konflik.

Nurlaila sekeluarga sebelumnya mengungsi ke Desa Apui, Kelurahan Ampera Masohi dengan mengontrak sebuah rumah kecil seharga Rp 35.000 per bulan. Bersama suaminya, dia memboyong lima anaknya yang masih kecil-kecil untuk menempati sebuah rumah satu kamar di Kelurahan Letwaru.

Gubuk berukuran 3 x 4 meter, beratap daun rumbia dan berdinding papan itu di bangun di atas tanah milik kakak iparnya. Gubuk tersebut telah ditempati sejak Mei 2004. Nurlaila mengaku, suaminya terpaksa membangun rumah seadanya lantaran tidak mendapat BBR dari pemerintah. Mereka juga telah mendaftarkan diri ke kelurahan Ampera sewaktu masih tinggal di Apui.

Kepala Sub Bidang Pelayanan Sosial di Dinkesos Malteng, Albert Wattimena, mengatakan jumlah pengungsi Maluku Tengah sesuai hasil pendataan tercatat sebanyak 12.494 KK dan tersebar di 19 kecamatan. Pengungsi yang terbanyak terkosentrasi di Kecamatan TNS, Amahai dan Kota Masohi.

Untuk Kota Masohi sendiri jumlahnya mencapai 3.210 KK. Jumlah terbanyak di Kelurahan Namaelo karena sudah mencapai 1.000 KK. Saat melakukan pendataan ulang, terjadi pembengkakan jumlah pengungsi dari data sebelumnya. Albert menyebutkan, jumlah pengungsi di Malteng tidak statis karena terjadi arus masuk dan keluar penduduk setiap saat. "Ada yang datang dan ada yang pergi. Jadi jumlahnya tidak tetap," ujar dia.

Untuk jatah pengungsi Malteng, Dinkesos Malteng telah menyalurkan BBR kepada 3.325 KK pada tahun 2003. Untuk penyaluran BBR tahun 2004, Albert mengemukakan, belum dapat dilakukan meskipun data pengungsi telah masuk ke pemerintah provinsi Maluku. "Kita belum bisa memastikan karena ini proyek tingkat satu dan kami hanya pelaksana lapangan saja," ujarnya.

Bantuan BBR pada tahun 2004, Malteng akan mendapat jatah sebanyak 1.009 KK, dan rencananya akan dialokasikan ke pengungsi di empat kecamatan di Maluku Tengah yakni Kecamatan Tehoru, Kecamatan Amahai, Kecamatan Kota Masohi dan Kecamatan TNS.

Bantuan yang diberikan akan lebih terfokus pada titik api, yakni berdasarkan jumlah rumah yang terbakar. Meskipun bertindak sebagai pelaksana lapangan dalam pembagian BBR ke pengungsi Albert mengaku, tidak tahu secara pasti nilai proyek untuk satu paket BBR per KK. Alasannya, proyek BBR berasal dari tingkat satu.

Sementara untuk nilai BBR pada tahun 2003, Albert kembali mengelak tidak tahu besar nilainya. "Saya sendiri kurang paham proyek karena pemborongnya berasal dari Ambon. Kita inikan hanya pelaksana dan mengawasi saja. Tidak mencampuri nilai bantuan yang tersalur," katanya beralasan.

Masalah pengungsi yang tidak beres-beres kadang menimbulkan reaksi para pengungsi. Ada yang datang secara perorangan maupun berkelompok sambil melakukan aksi unjuk rasa. Tuntutan para pengungsi pun rata-rata sama yakni meminta secepatnya mereka memperoleh bantuan.

Dia mengemukakan, pihaknya seringkali harus berhadapan dengan pengungsi yang bertanya-tanya tentang bantuan. Bahkan sebagian dari mereka bertanya dengan emosi yang meluap-luap. Untuk menenangkan emosi para pengungsi, pihaknya hanya dapat menjelaskan bahwa dinas memiliki keterbatasan dana. Selain itu alasan dia, masalah kemanusiaan bukan saja terjadi di Provinsi Maluku yang muncul akibat konflik sosial. Tapi juga bencana kemanusiaan lainnya terjadi di provinsi lain yang kemudian mengharuskan bantuan juga tersalur kepada korban kemanusiaan lainnya, karena dana-dana tersebut juga tersebar untuk menangani masalah-masalah emergensi yang terjadi di seluruh daerah.

"Kami sangat prihatin. Tetapi kita ini istilahnya kekuatan mampu tetapi daya tidak dapat menjangkau. Artinya, dana yang turun ke sini tidak relevansi dengan jumlah pengungsi yang ada sehingga pendistribusian juga tidak merata dan tidak mampu menjangkau pengungsi secara keseluruan karena jatah yang didapat lebih kecil dari jumlah pengungsi yang ada," paparnya.

Persoalan pengungsi di tingkat dua yang tidak beres-beres, menurutnya, juga dikarenakan, penanganan pengungsi selama ini lebih terfokus atau diperioritaskan pada pengungsi di Kota Ambon. Alokasi dana bantuan terbesar di serap di Kota Ambon, padahal menurut dia, jumlah pengungsi yang terbesar ada di Kabupaten Maluku Tengah. "Mungkin karena dana pusat di olah di tingkat satu, kita juga tidak tahu," ujar dia.

Merasa Dipermainkan

Sementara itu, saat MMC menengok kamp pengungsian Kompleks TNI Yon 731 Kabaressy Waipo, kondisi rumah-rumah di sana terlihat kumuh. Garasi yang disulap menjadi tempat pengungsian itu dibangun rumah-rumah kecil seadanya. Dinding rumah hanya terbuat dari seng-seng bekas yang diambil dari rumah mereka yang terbakar. Papan yang berhasil diambil dari bekas reruntuhan rumah-rumah juga dimanfaatkan untuk dinding rumah.

Para pengungsi yang masih menetap di kamp pengungsian tersebut hidup dalam kegelapan jika malam tiba, karena pihak Kabaressy yang telah menampung mereka sejak 30 Desember 1999, telah memutus sambungan listrik ke garasi tempat mereka berteduh. Jika malam tiba, alat penerangnya adalah lampu tempel.

Para pengungsi yang menempati Garasi Kabaressy 731 Waipo itu kebanyakan dari Kelurahan Letwaru, Masohi. Mereka meninggalkan rumah yang terbakar sejak kerusuhan 30 Desember 1999. Sebagiannya telah kembali pada November 2003 lalu setelah memperoleh bantuan rumah jadi. Namun, saat pecah kerusuhan 25 April 2004 di Ambon, keluarga yang tinggal di daerah perbatasan kembali memilih mengungsi.

Tuturan lain juga disampaikan, Paulus Pajong, 69 tahun. Bapak 11 anak yang telah memiliki 20 orang cucu ini tetap teguh tidak mau meninggalkan tempat pengungsiannya di Kompleks Kabaressy. Alasan dia, bantuan rumah yang dibangun Dinas Pekerjaan Umum seluas 5x6 dengan dua kamar, tidak mampu menampung dia beserta anak dan cucu-cucunya. Padahal, tanah yang dimilikinya seluas 30 x 20, dan kalau dibangun rumah bisa berdiri empat unit rumah.

Dengan luas rumah sekarang, maka terlalu kecil dan tidak dapat menampung seluruh anggota keluarganya. Rumah yang telah didapatkannya itu kini telah ditempati oleh salah satu anaknya yang juga telah berkeluarga. "Saya tidak bisa kembali karena rumah terlalu kecil. Anak saya saja sudah lima yang kawin dan telah memberikan saya cucu yang banyak. Sebenarnya ada keinginan untuk membangun rumah sendiri tapi biaya dari mana? Bagi saya, kalau pemerintah serius mau pulangkan kami maka kami juga siap untuk kembali. Tapi kalau rumah hanya luas 5 x 6 meter maka pribadi saya akan tetap di Waipo," tandasnya.

Bagi Paulus, nasibnya dengan pengungsi lain yang masing berada di kamp-kamp penampungan tergantung kebijaksanaan dan keseriusan pemerintah. "Kalau pemerintah bijaksana berarti nasib kita lebih baik dari sekarang. Tapi kalau tidak, berarti kita pasrah saja kepada sang pencipta," tuturnya pasrah.

Pasangan suami-istri Andre Sinay (32) dan Elizabeth Sinay (32), Pengungsi asal Kelurahan Namaelo yang kini mengungsi di Waipo punya cerita sendiri. Dia yang juga berstatus pengungsi ini tidak tahu harus mengadu nasib ke mana. Pasalnya, sudah dua kali di tolak dari dua kelurahan yang didatangi untuk didata sebagai keluarga pengungsi.

Saat pendataan dilakukan, Elizabeth bersama suaminya Andre mendatangi Kelurahan Namaelo tempat dimana mereka berasal, untuk mendaftarkan diri. Sesampainya di Kelurahan Namaelo, dia di suruh untuk mendaftar di kelurahan di wilayah Kristen, karena mereka beragama Kristen. "Katanya acang daftar di acang dan obeth daftar di obeth," katanya polos.

Mengikuti petunjuk pihak Kelurahan Namaelo yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Elizabeth kemudian mendatangi pihak Kelurahan Letwaru yang mayoritas penduduk beragama Kristen. Kebetulan sama-sama berstatus pengungsi dan tinggal di kamp yang sama dengan pengungsi asal Letwaru, dia sekeluarga mengajukan nama untuk di daftar di Kelurahan Letwaru sebagai pengungsi asal Kelurahan Namaelo.

Lagi-lagi nasib yang sama terjadi. Perempuan ini kembali ditolak oleh Kelurahan Letwaru dengan alasan, pihak Kelurahan Letwaru tidak bisa bertanggungjawab karena Elizabeth beserta suaminya bukan warga Letwaru.

Untuk dapat memperoleh bantuan rumah, perjuangan Elizabeth tidak pupus. Dia kemudian mendatangi Ny M. Latuihamalo, pendeta di Gereja GPM Siloam Letwaru, dengan harapan pendeta ini dapat menyalurkan aspirasinya. "Beta daftar di Lurah Namaelo di tolak. Ke Lurah Letwaru juga di tolak, terpaksa beta minta bantuan ke Ibu Pendeta. Sampai sekarang beta belum dengar hasilnya padahal waktu sampaikan beta pung masalah saat itu masih tahun 2003. Sekarang beta dan keluarga su pasrah saja. Kalau mau dapat yah dapat, tapi kalau seng jua seng apa-apa. Mangkali katong pung nasib akang su bagini (Barangkali kami punya nasib sudah begini)," tuturnya dengan dialek Ambon kental.

Saat dikonfirmasi MMC, staf Kelurahan Namaelo, F. Pattisahusiwa mengatakan, pihaknya dalam melakukan pendataan terpaksa tidak menerima pengungsi beragama Kristen karena situasi Kota Masohi saat itu belum stabil. "Kami tidak bisa ambil resiko jika mereka datang ke sini (kelurahan Namaelo). Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan maka kami menyarankan mereka untuk mendaftarkan diri ke kelurahan yang aman untuk mereka datangi, katanya. (MMC)

© 2003 Maluku Media Centre, All Rights Reserved
 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/urimesing
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044