Radio Nederland Wereldomroep, Kamis 17 Juni 2004 15:00 WIB
Gema Warta
Wiranto dan SBY Jelas Terlibat Perencanaan Kejahatan HAM di
Timor Timur tahun 1999
Selain Jenderal Wiranto, selaku Menhankam/Pangab, juga Mayjen Susilo Bambang
Yudhoyono, waktu itu Kepala Staf Territorial Mabes ABRI, dan banyak menteri lain
terlibat perencanaan umum untuk mempersiapkan jajak-pendapat di Timor Timur
Agustus 1999. Artinya, mereka terlibat persiapan strategi yang bermuara pada
kejahatan perang menyusul referendum tadi.
Demikian Prof. Geoffrey Robinson, guru besar UCLA, dalam laporannya selaku
penasehat politik untuk UNAMENT, lembaga PBB yang menggelar referendum di
Timor Timur. Laporan yang berjudul East Timor 1999, Crimes Against Humanity itu
ditulis tahun 2003. Namun tidak pernah diterbitkan karena otoritas PBB di New York
agaknya menghalanginya.
Robinson menarik kesimpulan itu, antara lain, berdasarkan arsip Kodim dan Korem di
TimTim. Diakuinya, tak ada "smoking gun", dengan kata lain, ada asap, namun
apinya tidak tampak, tetapi, pola umumnya cukup jelas.
Kepada Radio Nederland, Prof. Geoffrey Robinson mengungkap siapa saja dan
bagaimana bentuk perrencanaan Jakarta ketika itu:
Geoffrey Robinson [GR]: Ada dari staf umum TNI, ada dari Angkatan Darat, dari
Kopassus dari Kostrad, dari Bais ada. Dan memang ada dari kabinet. Misalnya Faisal
Tanjung waktu itu Menko Polkam. Menurut saya dia ikut bertanggung jawab. Jadi
bukan Wiranto saja.
Sebetulnya pembunuhan dan pemerkosaan itu banyak terjadi sebelum referendum.
Jadi bukan setelahnya saja. Dan kalau kita baca dokumen dan melihat dengan mata
sendiri, sebelum referendum pada tanggal 30 Agustus, kita bisa menyimpulkan
bahwa memang ada rencana dari dulu.
Boleh dikatakan bahwa pembunuhan di Liquiça, di Suai, di rumah Carrascalão dan
lain-lain, kalau tidak direncanakan dari Jakarta, memang ide umum sudah
direncanakan. Maksud saya bahwa milisi itu seperti Besi Merah Putih dan Aitarak
akan dimobilisasi untuk melakukan teror terhadap orang yang pro independen.
Jadi kita nggak bisa bilang bahwa Wiranto sendiri merencanakan serangan terhadap
gereja di Liquiça pada bulan April. Tapi strategi umum untuk melakukan aksi-aksi
teror, termasuk pembunuhan massal, itulah yang jelas sekali direncanakan dari dulu.
Kasus-kasus itu memang disebut di dalam dokumen TNI. Tapi tidak ada smoking
gun, nggak ada rencana. Baik besok menyerang gereja Liquiça. Tapi yang jelas dari
dokumennya bahwa memang ada hubungan, baik formal mau pun informal antara
komandan TNI dan milisi. Itu jelas sekali dari dokumen TNI sendiri bahwa mereka
memobilisasikan milisi, membayar milisi, memberi senjata kepada milisi dan
sebagainya.
Kalau dibilang bahwa Wiranto bertanggungjawab karena dia gagal mencegah
kejahatan, itu sebetulnya dalam hukum internasional, suatu tuntutan yang cukup
berat. Jadi membiarkan kekerasan, membiarkan kejahatan, itu sudah berat sekali.
Sehingga dia bisa dianggap sebagai penjahat berat.
Radio Nederland [RN]: Bentuknya apa hubungannya Faisal Tandjung dan stafnya
kepada Wiranto?
GR: Faizal Tandjung sebagai Menko Polkam, dia jadi kepala dari suatu grup, nama
lengkapnya TP4 OKTT, jadi satu tim menteri, anggota tim menteri itu menteri dalam
negeri, menteri luar negeri, menhankam, menteri kehakiman, kepala Bais dan
lain-lain. Jadi semua orang itu yang berkumpul di dalam tim itu, mereka jelas yang
merencanakannya.
Tapi selain tim menteri itu, ada orang lain yang ada di TNI dan Angkatan Darat, di
tingkat paling atas. Misalnya Jenderal Subagyo Hadisiswoyo, Kepala staf Angkatan
Darat. Letjen Sugiono, Kepala staf umum TNI. Siapa lagi.
RN: Susilo Bambang Yudhoyono?
GR: Jadi lebih dulu, saya pikir orang seperti Mayor Jenderal Endriartono Sutarto pada
saat itu asops atau asisten operasi kepada kasum TNI. Sjafrie Syamsuddin, Kiki
Syahnakri. Dan juga Panglima Kostrad dan Panglima Kopassus pada saat itu.
Pankostrad Letjen Djamari Chaniago dan Panglima Kopassus Mayjen Syahrir.
Jadi banyak sekali, yang dari segi tanggung jawab pimpinan harus diinvestigasi,
diselidiki lebih lanjut. Karena saya yakin bahwa dari segi formal mau pun informal
mereka ikut bertanggungjawab.
Kalau Susilo Bambang Yudhoyono, kasus menarik sekali. Sebagai kepala staf
teritorial TNI memang dia secara formal punya tanggungjawab yang cukup banyak
terhadap operasi di lapangan dan saya pikir dia harus dimasukkin ke daftar itu tadi.
Orang yang kemungkinan besar punya tanggung jawab pimpinan dan ada
kemungkinan juga punya tanggung jawab individu, tanggung jawab pribadi. Jadi bukan
membiarkan saja.
Jadi sampai sekarang, karena belum ada bukti kita nggak bisa menuduh segala
macam. Tapi yang jelas dari segi formal, dia punya tanggungjawab pimpinan. Karena
itu saya menganjurkan supaya orang semacam itu diselidiki lebih lanjut.
Demikian Prof. Geoffrey Robinson kepada Radio Nederland.
© Hak cipta 2004 Radio Nederland Wereldomroep
|