SINAR HARAPAN, Sabtu, 05 Juni 2004
100 Tahun GPM Bethel Ambon
Dari Disensor Jepang, Dibom Sekutu, sampai Kerusuhan Ambon
JAKARTA — Tak terasa, 29 Mei 2004 merupakan saat Gedung Gereja Jemaat Gereja
Protestan Maluku (GPM) Bethel Klasis Kota Ambon genap berusia 100 tahun. Hal ini
juga menandakan 100 tahun sudah perjalan jemaat GPM Bethel dalan bersaksi dan
melayani.
Berdasarkan bukti-bukti sejarah, gedung Gereja yang dibangun sejak tanggal 29 Mei
1904 ini diberi nama Bethel. Selanjutnya, jemaat setempat juga dinamai Jemaat GPM
Bethel sampai dengan sekarang.
Nama Bethel dipilih karena makna teologis dan sejarahnya dapat kita temui dalam
Alkitab khususnya pada kitab Kejadian 28: 10–22 terungkap bahwa suatu tempat di
mana Yakub bertemu dengan Tuhan Allah di dalam mimpinya sewaktu tidur di Kota
Lus. Tempat ini lalu ia yakini sebagai "rumah Allah" atau "pintu gerbang surga".
Yakub kemudian mendirikan sebuah tugu peringatan dari batu pengalasan kepalanya
sewaktu tidur dan tempat ini dinamai Bethel yang artinya "rumah Allah" atau "pintu
gerbang surga".
Berdasarkan prasasti yang terpahat pada dinding gereja terungkap, gedung Gereja
yang dibangun sejak tanggal 29 Mei 1904 itu peletakan batu pertamanya dilakukan
oleh pendeta asal Belanda di Kota Ambon, Pendeta JC Van Hoeven, dan seluruh
pekerjaan pembangunan dikoordinir oleh RL Sahupala.
Namun, kapan selesainya pembangunan gedung Gereja Bethel ini maupun
diresmikannya belum diketahui secara pasti sebab tidak ada prasastinya.
Jemaat Kota Ambon
Jemaat GPM Bethel diperkirakan bukan saja baru lahir pada tahun 1904, tetapi
berdasarkan sejumlah data-data sejarah diperkirakan jemaat ini telah ada sekitar
empat abad sebelumnya sejak masa misi Gereja Katholik pada abad ke-16.
Pada tahun 1926, terjadi perkembangan baru, yaitu peningkatan status Kota Ambon
menjadi Kota Praja yang dikepalai seorang wali kota. Dengan demikian, jemaat
Bethel menjadi Jemaat Kota Ambon.
Pelayanan jemaat saat itu dilakukan dalam berbagai bentuk baik itu dalam bentuk
ibadah minggu, katekisasi, dan sekolah minggu dan ditujukan kepada semua anggota
jemaat dengan menggunakan bahasa Belanda dan Melayu Ambon.
Penggunaan dua bahasa ini mencerminkan status sosial seseorang. Kelompok
berbahasa Belanda pada umumnya adalah orang-orang berpendidikan, pegawai, dan
guru sedangkan penduduk biasa pada umumnya mempergunakan bahasa Melayu
Ambon.
Pada tahun 1935, lahirlah institusi Gereja Protestan Maluku (GPM) dan pada tahun
1937 resmi ditetapkan dan diberlakukan tata gereja baru yang disebut "Peratoeran
Geredja dan Peratoeran Sinode dan Geredja Maloekoe tahoen 1937".
Menurut tata gereja ini, Badan Majelis Jemaat merupakan instansi tertinggi di tingkat
jemaat. Badan inilah yang menggariskan program pelayanan bagi jemaat sesuai
dengan hasil keputusan persidangan sinode dan klasis dan sekaligus merupakan
pihak pelaksana program tersebut.
Perang Dunia II
Bagi jemaat GPM Bethel, Perang Dunia (PD) II atau yang lebih dikenal dengan masa
pendudukan Jepang merupakan saat-saat penuh tantangan dan penderitaan. Pihak
Jepang memandang ada hubungan yang erat antara pihak gereja dan umat Kristen
dengan pihak Belanda yang berhasil ditaklukan Jepang saat itu.
Pihak Jepang pun melakukan pengawasan ketat terhadap semua kegiatan gereja dan
umat Kristen, termasuk di Jemaat GPM Bethel. Pejabat gereja atau anggota jemaat
yang dicurigai bekerja sama dengan Belanda langsung ditahan dan banyak di antara
mereka yang disiksa oleh tentara Jepang.
Selain itu sebagian gedung gereja ditutup dan sejumlah guru Kristen ditahan. Naskah
khotbah disensor untuk mencegah dimasukkannya unsur-unsur politik yang dapat
merugikan kepentingan penguasa Jepang.
Gedung Gereja Bethel pada tahun pertama masa pendudukan Jepang masih
bertahan, bahkan pada tahun 1942 setelah pendaratan tentara Jepang di Ambon,
gedung ini masih dipakai sebagai tempat persidangan GPM yang berlangsung pada
tanggal 22–24 Oktober 1942. Namun beberapa waktu kemudian, gedung gereja ini
hancur akibat dibom sekutu.
Selama masa pendudukan Jepang, sebagian besar anggota jemaat Bethel mengungsi
ke hutan menyelamatkan diri, namun pelayanan tetap dilakukan oleh Pendeta FR
Siwabessy dibantu Pendeta Hanafusa dari Jepang.
Menuju Kemandirian
Dalam perkembangan, ternyata penderitaan yang jemaat GPM Bethel tidak kunjung
berakhir. Baru lima tahun sesudah PD II, ketika pembenahan sementara dilakukan di
berbagai bidang, telah timbul pula pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)
pada tahun 1950.
Peristiwa ini telah melahirkan kesulitan baru di bidang materi dan mental umat
sebagai akibat serangan TNI dan blokade laut yang dilakukan terhadap Pulau Ambon
dalam rangka menumpas gerakan tersebut.
Suatu realitas yang menarik adalah di tengah-tengah situasi GPM yang
memprihatinkan itu, Jemaat GPM Bethel terus berusaha membenahi diri termasuk
mencari bentuk pelayanan baru.
Khusus untuk menciptakan ibadah yang lebih khusyuk sekaligus sebagai pengganti
gedung lama yang hancur dibom sekutu maka dibangun sebuah gedung gereja
permanen yang dimulai pada tanggal 11 Agustus 1953 dan diresmikan penggunaanya
pada tanggal 31 Oktober 1955.
Kegiatan penting lainnya yang perlu dicatat karena merupakan sumbangan jemaat ini
kepada GPM ialah pembentukan sebuah perkumpulan yang anggota-anggotanya
terdiri dari anak-anak dengan maksud dibina menjadi pencinta-pencinta pekabaran
injil. Pelopor kegiatan ialah ibu-ibu yang tergabung dalam Kaum Ibu Kristen Bethel.
Perkumpulan ini kemudian diresmikan oleh Ketua Bagian Pekabaran Injil GPM,
Pendeta Th P Pattiasina, denga nama Tunas Pekabaran Injil Gereja Protestan Maluku
pada tanggal 31 Desember 1956.
Jemaat Khusus Kota Ambon pun dimekarkan menjadi Klasis GPM Kota Ambon pada
tanggal 20 Mei 1973 sehingga satus Jemaat Wijk Bethel ditingkatkan menjadi Jemaat
GPM Bethel.
Bersaksi dan Melayani
Perkembangan Jemaat GPM Bethel yang cukup pesat pada dekade 1960-an
membuat daerah pelayanannya mencakup daerah Batu Merah sampai ke Batu Merah
Tanjung dan daerah Karang Panjang sampai ke Ahuru.
Demi efisiensi pelayanan, oleh Badan Majelis Jemaat dirasa perlu untuk diadakan
pemekaran. Rencana ini kemudian direalisasikan pada tanggal 6 September 1963
sehingga kemudian jemaat ini dimekarkan menjadi Jemaat GPM Bethabara yang
daerah pelayanannya mencakup daerah Batu Merah sampai ke Batu Merah Tanjung,
serta sebagian daerah Karang Panjang dan juga Jemaat GPM Imanuel yang daerah
pelayanannya mencakup sebagian besar daerah Karang Panjang sampai ke Ahuru.
Di bidang organisasi gereja, sesuai Keputusan Sinode GPM, demi terciptanya
efektivitas pelayanan bagi seluruh anggota jemaat diterapkan sistem sektor dan unit.
Setiap sektor terdiri dari tiga sampai empat unit dan setiap unit terdiri dari 30–40
keluarga.
"Sampai tahun 2004 ini, wilayah pelayanan jemaat ini mencakup 20 sektor pelayanan
yang melayani 1.634 keluarga dengan jumlah keselurahan anggota jemaat sebanyak
6.925 jiwa.
Sehubungan dengan kerusuhan yang terjadi sejak Januari 1999 maka jemaat ini telah
kehilangan tiga sektor pelayanan di Mardika dan Batu Merah, yaitu Sektor 16, 17,
dan 18 karena anggota-anggotanya mengungsi ke tempat lain," ungkap Ketua Majelis
Jemaat GPM Bethel Pendeta M Peilouw STh kepada SH di Ambon.
Pembaruan lainnya yang dilakukan di bidang organisasi ialah penerapan
pembidangan pada departemen di tingkat sinode diterapkan pula ditingkat jemaat
dengan nama bidang-bidang pelayanan. Bidang yang dimaksud adalah Keesaaan dan
Kesaksian (KEKES), Pelayanan, Pendidikan, dan Pembangunan (PELPEM),
Finansial dan Ekonomi (FINEK) dan Kerumahtanggaan, Pekabaran Injil dan
Komunikasi (PIKOM).
"Di bidang liturgi ibadah pembaruan pertama yang dirasakan ialah menyangkut isi
yang lebih kontekstual dan keterlibatan anggota jemaat didalamnya yang lebih
menonjol," jelasnya.
Pembaruan lainnya yang tampak dalam bidang ini, menurut Pendeta Peilouw adalah
pemakaian buku nyanyian. Secara resmi buku yang dipakai adalah Kidung Jemaat
sedangkan buku-buku nyanyian seperti Mazmur dan Nyanyian Rohani, Mazmur dan
Tahlil, dan Dua Sahabat Lama, penggunaannya lebih bersifat insidentil.
Di bidang pembinaan umat, perhatian terhadap semua golongan di dalam jemaat
terus ditingkatkan. Selain pelaksanaan program yang diturunkan Departemen KEKES
melalui wadah-wadah pelayanan khusus yang ditetapkan sinode Pelayanan
Perempuan, Pelayanan Laki-laki, Pelayanan Pemuda, serta Pelayanan Anak dan
Remaja.
Di bidang pekabaran injil, di samping pelaksanaan program yang diturunkan oleh
Sinode lewat Departemen PIKOM juga diadakan kegiatan internal jemaat dalam
rangka pelaksanaan tugas tersebut.
Di bidang sosial, kegiatan-kegiatan yang digariskan terutama melalui persidangan
jemaat, pada umumnya ditujukan kepada pihak-pihak tertentu yang dianggap
membutuhkan baik perorangan maupun lembaga/kelompok baik di dalam maupun di
luar jemaat.
Sejak timbulnya kerusuhan di awal tahun 1999 lalu, kegiatan-kegiatan ibadah lebih
ditingkatkan. Sejak Januari 1999 diadakan doa pergumulan tiap hari oleh Badah
Majelis Jemaat. Juga di sejumlah sektor dibuka posko-posko doa sekaligus
posko-posko bantuan logistik bagi jemaat-jemaat yang membutuhkan bantuan darurat
karena ditimpa kerusuhan.
Selama 100 tahun perjalanan sejarah Jemaat GPM Bethel terlihat jemaat ini semakin
sadar akan keterpanggilannya sebagai gereja yang berperan bersaksi dan melayani
baik secara internal di lingkungan jemaatnya maupun eksternal terhadap masyarakat
di masa kini dan dalam menapaki masa depan. (SH/izaac tulalessy)
Copyright © Sinar Harapan 2003
|