SINAR HARAPAN, Sabtu, 07 Agustus 2004
Wajib Belajar Malam di Ambon Jangan Keluar Malam, Nanti
Ditangkap!
Ambon, Sinar Harapan - "Hai, enggak boleh keluar malam, entar ditangkap, entar
ditangkap!" Pesan tersebut akhir-akhir ini sering terdengar di kalangan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) di Ambon. Tapi pesan itu bukan untuk menakut-nakuti
sesama anggota LSM yang sedang bertugas di daerah konflik itu, namun sekadar
sebagai bahan ledekan.
Hal serupa juga terjadi di kalangan orang tua maupun anak-anak sekolah. Pada
seminar "Hak Anak" dalam rangka memperingati Hari Anak di Universitas Pattimura
(Unpati) beberapa waktu lalu, ledekan serupa bergaung di antara para hadirin. Tapi
seorang siswa kelas I SMP, Hesti, dalam seminar itu secara terang-terangan
mengatakan tidak setuju dengan pemberlakuan jam malam bagi anak sekolah.
Maklum, mulai 1 Agustus 2004 Pemerintah Kota (Pemkot) Ambon memberlakukan
gerakan wajib belajar malam di seluruh desa dan kelurahan. Jadi mulai pukul
20.00–21.30 WIT, pelajar tidak boleh berkeliaran di jalan. Maka kebijakan pemerintah
itu ditanggapi publik secara, ada yang mendukung, namun ada pula yang menolak.
Kebijakan baru itu mulai terasa ketika Rabu (4/8) malam petugas Satuan Polisi
Pamong Praja (Satpol PP) menjaring sedikitnya sepuluh murid yang sedang bermain
play station. Mereka dijaring dari beberapa tempat, empat di antaranya siswa Sekolah
Menengah Umum (SMU) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), serta dua
murid Sekolah Dasar (SD).
"Para siswa tersebut tidak mengindahkan waktu belajar malam," kata Kepala Satpol
PP, Jopie Tepalawatin, kepada SH, Kamis (5/8) pagi. Gerakan wajib belajar malam
hari berlaku untuk hari Minggu-Jumat. Kebijakan itu dicanangkan Wali Kota Ambon
Jopie Papilaja pada 30 Juli lalu, untuk menyelamatkan nasib anak-anak bangsa
terutama di Kota Ambon yang pendidikannya tertinggal setelah pecah konflik tahun
1999.
Menurut Tepalawatin, murid yang dijaring petugas dicatat identitasnya, kemudian
dilaporkan kepada pimpinan sekolah masing-masing. "Kami pun telah meminta pihak
sekolah untuk memanggil orang tua siswa supaya lebih memperhatikan jadwal belajar
anak di rumah. Patroli akan terus dilakukan supaya siswa jera berada di luar rumah
pada saat jam belajar malam."
Gerakan wajib belajar malam hari muncul menyusul adanya kepanikan berbagai
komponen termasuk dunia pendidikan di Kota Ambon terhadap penetapan standar
nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) 2004 oleh Depdiknas 4,01, di mana dikhawatirkan
banyak siswa tidak lulus.
Tepalawatin berpendapat, jika ada murid yang tidak lulus bukan semata-mata karena
gurunya, sebab waktunya di sekolah hanya delapan jam dan sisanya di luar sekolah.
Butuh Keamanan
Memang, ada yang menganggap program itu merupakan suatu terobosan untuk
menggugah perhatian orangtua akan pentingnya membimbing anak belajar di rumah.
Tapi ada juga yang mengaku pesimistis dengan menganggap program tersebut
mengintervensi hak dan kebebasan anak.
Sebagian kalangan justru menuding pelibatan unsur Kepolisian dan Polisi Pamong
Praja dalam pengawasan program itu terkesan sangat formal dan otoriter, membuat
anak didik belajar hanya karena takut dihukum.
Gerakan wajib belajar malam didasari dua pertimbangan yaitu tren masyarakat global
yang bercirikan masyarakat berbasis pengetahuan, dan lahirnya Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2002 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mana bersamaan
dengan itu terjadi desentralisasi pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat ke
daerah otonom.
Menurut penulis, salah satu titik rawan yang perlu diantisipasi dalam pelaksanaan
gerakan wajib belajar malam yaitu rencana melibatkan unsur Kepolisian dan Polisi
Pamong Praja, karena terkesan otoriter bahwa militeristik. Jadi, jika siswa tidak
berkeliaran di malam hari apakah betul mereka sedang belajar di rumah? Dan kalau
betul belajar, apakah materi yang dipelajari itu bisa ditangkap dengan baik?
Perlu disadari, salah satu prasyarat belajar adalah suasana yang kondusif dan bebas
dari tekanan. Suasana aman, tidak ada lagi pertikaian di antara warga Ambon
maupun dengan pihak lain, akan jauh sangat mendukung suasana hati siswa dalam
belajar, baik di sekolah maupun di rumah. Perlu diingat, menyaksikan suatu
pembunuhan di depan mata, merupakan peristiwa traumatik yang tidak mudah hilang
dan sangat mempengaruhi suasana batin dan pikiran seseorang.
Maka yang paling diperlukan di Ambon saat ini adalah, suasana keamanan yang
kondusif secara keseluruhan, tidak ada lagi pertikaian dan konflik. Semua pihak
mengharapkan pencanangan gerakan wajib belajar malam di Kota Ambon bukan
semata-mata suatu pernyataan yang hanya untuk kepentingan politik tertentu, tetapi
sungguh-sungguh untuk memperbaiki mutu pendidikan yang selama ini terpuruk di
daerah konflik tersebut. (SH/izaac tulalessy/wahyu dramastuti)
FOTO: ANAK PENGUNGSI — Andi (12) siswa kelas I SMP Negeri 2 Ambon, sedang
belajar dengan alat penerangan apa adanya di tempat penampungan pengungsi THR
Waihaong, Kecamatan Nusaniwe. Untuk membiayai sekolahnya, Andi setiap hari
juga harus membantu orangtuanya menjual pisang goreng dan kue apem. (SH/izaac
tulalessy)
Copyright © Sinar Harapan 2003
|