SINAR HARAPAN, Selasa, 22 Juni 2004
Konflik TNI-AD dan Keresahan Masyarakat
JAKARTA – "Mohon maaf. Saya bukan bermaksud mempermalukan lembaga TNI.
Tetapi, saya ingin mengikuti jejak Pak Nasution. Bangsa ini perlu sejarah". Kalimat
tersebut terlontar untuk pertama kalinya dari Mayjen (Purn) Kivlan Zen, ketika diberi
kesempatan bicara dalam acara peluncuran karya tulisnya berbentuk buku berjudul
"Konflik dan Integrasi TNI-AD", pekan lalu. Kalimat sederhana, tetapi penuh makna.
Apa yang diucapkan oleh Kivlan dalam perhelatan tersebut merupakan kejadian
langka. Pasalnya, bermula dari permohonan maaf tersebut, selanjutnya rentetan
kalimat tentang sejarah bangsa yang terpendam sekian tahun tiba-tiba terkuak.
Sebuah cerita sejarah tentang konflik yang terjadi di tubuh Tentara Nasional Indonesia
(TNI), khususnya TNI-Angkatan Darat sejak awal Indonesia merdeka, hingga
tumbangnya Soeharto setelah 32 tahun berkuasa. Bak sebuah perseteruan antara
dinasti yang berlangsung turun-temurun. Rivalitas antara Sumitro dan Ali Murtopo,
Feisal Tandjung dengan Hartono, serta Wiranto dengan Prabowo.
"Saya ingin menunjukkan kenapa terjadi konflik dan terjadi lagi. Nanti presiden baru
pun akan begitu," imbuhnya.
Pernyataan-pernyataan Kivlan tersebut muncul ketika bangsa Indonesia tengah
melaksanakan salah satu perhelatan demokrasi, yakni pemilihan presiden langsung.
Hal ini menjadi menarik, karena pada saat kampanye banyak di antara para calon
presiden/calon wakil presiden (capres/cawapres) menyatakan bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai harga mati. Namun di sisi lain, strategi
nasional tentang NKRI itu sendiri tak pernah terdengar baik dari para capres/cawapres
maupun tim suksesnya.
Beranjak dari sejarah, sejak tahun 1945 hingga tahun 2000, integrasi bangsa
Indonesia harus diakui tidak pernah tercapai penuh. Baik itu integrasi antara
masyarakat dengan negara (integrasi nasional) maupun antara masyarakat dengan
masyarakat (integrasi sosial). Ini terbukti dari banyaknya kekerasan atau konflik yang
pernah terjadi pada kurun waktu tersebut.
Konflik horizontal antarsuku sering terjadi. Konflik yang berlabel agama justru muncul
pada akhir masa Orde Baru (Orba) dan awal era reformasi dengan meletusnya kasus
Maluku dan Poso. Tetapi konflik berlatar belakang sosial ekonomi yang diwarnai
kekerasan sering terjadi terhadap etnik Tionghoa dan dalam pertikaian antarsuku.
Kekerasan yang berlabel politik selalu muncul mendekati pesta demokrasi.
Konflik Vertikal
Konflik lainnya yang sering terjadi saat ini adalah konflik vertikal antara masyarakat
dengan negara, baik itu pemerintah pusat maupun daerah. Termasuk juga konflik
dengan aparat pemerintah seperti kepolisian dan TNI (waktu dulu disebut ABRI).
Konflik terakhir ini kadang-kadang melibatkan kekuatan senjata.
Ini pernah terjadi pada tahun 1945-1950, dan tahun 1951-1965. Antara 1966-1995,
konflik antaraparat pemerintah relatif tidak terjadi, kecuali persaingan tertutup.
Pada tahun 1945-1950 dan 1951-1965, integrasi internal aparat pemerintahan
Indonesia relatif lemah, seperti adanya insubordinasi TNI-AD. Dalam kondisi seperti
itu, integrasi bangsa Indonesia pun ikut melemah. Integrasi bangsa menguat sejak
tahun 1996-1995, dimana integrasi internal aparat pemerintah termasuk TNI dan
TNI-AD khususnya, semakin menguat.
Namun lagi-lagi integrasi internal di tubuh TNI-AD mulai kembali melemah pada tahun
1998-2002. Ujungnya, integrasi bangsa ini juga melemah. Konflik dan gerakan
sparatisme mulai bermunculan di mana-mana. Berbagai daerah mulai menuntut
merdeka karena kesengsaraan.
Menurut Kivlan, banyaknya konflik yang terjadi di Indonesia pada masa lalu, ternyata
tidak dapat dipisahkan dari konflik internal yang ada di tubuh TNI-AD. Peran serta
ABRI dalam sosial politik lah yang telah membuat konflik itu mencuat.
Jika terjadi konflik internal maka dampaknya akan ke masyarakat, karena pihak-pihak
yang berkonflik akan menggunakan masyarakat demi tujuan politiknya. Tujuan politik
ini sendiri direalisasikan melalui komando teritorial yang tersebar di berbagai wilayah
Indonesia.
"Kalau konflik di AD kuat, maka kuat lah konflik di luar. Mengapa terjadi konflik
Ambon, Poso maupun Ketapang, ini karena persaingan-persaingan. Imbasnya ke
masyarakat," papar Kivlan.
Gambaran tentang munculnya konflik-konflik tersebut, menurut ahli sejarah Anhar
Gonggong, menunjukkan suatu fakta bahwa proses pembentukan bangsa ini masih
belum juga usai.
Anhar mengatakan, jika sekelompok masyarakat yang sekarang masih tercakup
dalam sebuah negara bernama Indonesia itu ke depan tetap ingin menjadi bangsa,
maka konflik yang terjadi di internal TNI tersebut harus diambil hikmahnya. Lembaga
TNI pun juga harus melihat ini sebagai sebuah kritikan yang positif.
"Kita harus merefleksikan kembali, betapa republik ini (proses pembentukan-red)
tidak bisa dinyatakan telah selesai. Tentara kita ternyata belum juga menyatukan
diri," ujar Anhar. Konflik yang terjadi harus dipikirkan dan tetap dilihat latar
belakangnya untuk menjadi sebuah renungan ke depan. Sehingga, jangan sampai
terjebak dalam slogan-slogan pada negara kesatuan, negara bersatu, namun dalam
realitasnya persatuan itu sendiri masih menjadi tanda tanya. (SH/tutut herlina/rikando
somba)
Copyright © Sinar Harapan 2003
|