SINAR HARAPAN, Sabtu, 24 Juli 2004
Papua dan Politik Kacamata Kuda
Oleh Israr
Banyak kalangan menilai pemekaran Papua yang eksesif sebagai ketidaksungguhan
pemerintah menuntaskan masalah Papua. Selain menimbulkan kebingungan,
pemekaran tergesa-gesa itu juga mencerminkan ketidakmampuan Jakarta berdialog
dengan masyarakat Papua menyelesaikan masalah-masalah dalam bingkai NKRI.
Terbitnya Inpres 1/2003 sebenarnya memperlihatkan kembali sikap ambivalensi
Jakarta dalam menangani masalah teritorialnya. Pemerintah masih memperlakukan
Papua semata-mata dari sudut ancaman separatisme, tak ubahnya dengan cara
pandang Orde Baru.
Kemelut Papua dan daerah-daerah konflik lain semestinya dilihat dari sudut pandang
yang lebih komprehensif. Sejatinya juga dilihat sebagai masalah ketidakadilan sosial,
absennya penghargaan terhadap keunikan sejarah, budaya, ras, lokalitas dan
sebagainya. Dalam konteks ini, pemekaran wilayah bukan sesuatu yang haram asal
ada rasionalitasnya, melalui proses dialog yang jujur, dan tak melanggar UU yang
berlaku.
Ditinjau dari segi ras, budaya dan sejarah, masalah Papua memang memiliki nuansa
"berbeda". Papua tak hanya berbeda dari sudut budaya dan ras dengan Indonesia,
tapi juga pengalaman historisnya di bawah penjajahan Belanda. Bung Hatta pernah
mengakui keunikan Papua. Saat berdebat menentukan status Papua pada sidang
persiapan kemerdekaan Indonesia, Hatta bahkan cenderung agar rakyat Papua
menentukan sendiri nasibnya.
Sementara Bung Karno menekankan aspek strategis-politis. Jika Papua lepas ke
negara lain bisa berdampak kepada Indonesia. Lagi pula, Papua juga berada di bawah
kolonial Belanda dan daerah itu (Digul) pernah menjadi tempat pembuangan
tokoh-tokoh pergerakan Indonesia. Di samping itu, menurut Soekarno, dalam kitab
Negarakertagama disebutkan Papua masuk wilayah Majapahit. Melalui voting,
akhirnya mayoritas pendiri negara memilih Papua bergabung dengan
Indonesia.(Pigay, 2000).
Gagal Mengambil Hati Rakyat
"Keunikan" sejarah Papua lainnya adalah saat proses integrasi. Sampai 1963,
wilayah itu menjadi sengketa antara Indonesia dan Belanda. Setelah melalui
pemerintahan sementara PBB barulah Indonesia secara de facto berkuasa atas
Papua tahun 1963. Tahun 1969 integrasi Papua diperkuat lewat Penentuan Pendapat
Rakyat (Pepera) yang secara "aklamasi" menyatakan bergabung dengan RI.
Aklamasi saat Pepera inilah yang kelak dipersoalkan kaum "separatis perkotaan"
yang muncul akhir dekade 1990-an.
Karena itu, patut disesalkan pendekatan monolitik pemerintah terhadap Papua
selama ini. Dengan latar belakang sejarah integrasi yang kontroversial, seharusnya
yang dilakukan Jakarta adalah mengambil hati masyarakat Papua.
Kesadaran akan potensi disintegratif tersebut semestinya menjadi kewajiban
pemerintah memupuk secara intens semangat integrasi di atas logika nasionalisme
sipil (memakai istilah Jack Snyder) yang mengandaikan demokrasi, kesetaraan,
keadilan sosial dan kesejahteraan bersama, pluralisme, dan penghargaan terhadap
HAM. Sayangnya, selama puluhan tahun pemerintah gagal mengambil hati rakyat
Papua.
Kebijakan setengah hati itu terus bertahan sampai periode reformasi. Semua itu
muncul karena persepsi dan sikap pemerintah yang ambivalen dalam menangani
masalah teritorialnya. Setiap kebijakan yang dikeluarkan selalu disertai kecurigaan
berlebihan terhadap kemauan baik daerah berdialog dengan Jakarta.
Kalau kebijakan Otonomi Khusus (otsus) dianggap "berlebihan" (eksesif), hal itu bisa
didialogkan dengan jujur dan damai, bukan dengan "mengangkangi" aturan tersebut
tanpa alasan yang jelas. Kalau UU No 21/2001 tentang Otsus Papua dianggap
menafikan NKRI dan bakal melahirkan "negara dalam negara", hal itu juga tak harus
dengan menunjukkan sikap kecurigaan yang berlebihan.
Padahal kalau dicermati, UU Otsus hanya melahirkan "bangsa" Papua dalam negara
Indonesia. Dalam perspektif politik multikultural, kenyataan itu tak masalah. Wilayah
yang terbentang dari Sabang hingga Merauke ini adalah sebuah bangsa besar yang
terdiri dari "bangsa-bangsa" yang lebih kecil. "Bangsa-bangsa" di sini tentu merujuk
kepada pengertian kesatuan identitas, ras, bahasa ibu, dan sebagainya. Dalam
konteks negara multibangsa, tak ada alasan logis buat Papua untuk memisahkan diri
dari NKRI.
Kacamata Kuda
Masalahnya terletak pada kesulitan kalangan nasionalis ortodoks di negara ini
menerima kenyataan bergesernya cara pandang terhadap negara bangsa. Bagi
mereka, NKRI adalah "harga mati". Sedangkan kebijakan Otsus yang "federalis",
bukan saja dianggap mengingkari negara kesatuan, tetapi juga dikhawatirkan bisa
memicu daerah bersangkutan memerdekakan diri.
Penggunaan kacamata kuda dalam melihat masalah keutuhan negara bangsa ini
memang rumit. Apalagi nasionalisme telah diidentikkan dengan konsep NKRI yang
kaku sesuai selera elite penguasa. Padahal NKRI itu sendiri adalah konsep yang
sangat kontesktual dengan perkembangan aspirasi masyarakat.
Aspirasi ketidakpuasan yang berkembang di daerah juga tidak selalu hendak
menafikan NKRI, tetapi lebih sebagai tuntutan atas keadilan dan kesejahteraan yang
terenggutkan selama ini.
Dalam konteks Papua, penggunaan kacamata kuda membuat masalah integrasi
nasional menjadi rumit. Dari perspektif nasionalisme, akan muncul pertanyaan,
bagaimana mungkin masyarakat Papua (mengikuti imajinya Ben Anderson)
"membayangkan sebuah komunitas Indonesia" ketika ketidakadilan ekonomi, sosial,
politik dan budaya masih dialami masyarakat di timur Indonesia itu.
Apa yang ditempuh Jakarta menangani masalah Papua memang berisiko tinggi.
Selain sejarah integrasinya yang masih kontroversial (bisa digugat sewaktu-waktu),
dari perspektif dinamika nasionalisme pun bisa diperdebatkan.
Kalau kondisi berisiko itu dibiarkan, gerakan menuntut keadilan di Papua menemukan
definisi kerjanya sebagai gerakan idiologis dan politis untuk mencapai dan
mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas bagi suatu populasi yang
potensial. (Smith, 2003).
Sudah saatnya di zaman ini dikembangkan suatu pemahaman komprehensif terhadap
"nasionalisme" dan "negara-bangsa". Secara politik, dengan kembali mencuatnya
kasus Papua menunjukkan betapa pentingnya perumusan suatu nasionalisme
Indonesia baru yang tidak lagi ambigu. Bagi negara multikultur, penerapan
nasionalisme lama dalam proses demokratisasi justru bisa memicu disintegrasi.
Di sinilah pentingnya usaha dekonstruksi agar nasionalisme dikembalikan kepada
yang empunya yakni warga negara yang menghargai pluralisme, kesamaan,
menjunjung keadilan sosial, demokrasi dan penghormatan terhadap HAM. Kalau
nasionalisme dikembalikan kepada warga negara, gejolak politik di Papua tidak
serumit seperti sekarang.
* Penulis adalah peneliti CIRUS Jakarta.
Copyright © Sinar Harapan 2003
|