SINAR HARAPAN, Sabtu, 24 Juli 2004
Putusan MK Timbulkan Persoalan Baru Ba'asyir Minta
Dibebaskan
Jakarta, Sinar Harapan
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan pemberlakuan UU No. 16 Tahun
2003 tentang tindak pidana terorisme peledakan bom di Bali diprediksi menimbulkan
sejumlah persoalan baru terutama pada aspek hukum penanganan kasus bom dan
terorisme. Misalnya saja, pengacara Abu Bakar Ba'asyir telah menyatakan akan
meminta kliennya segera dibebaskan.
Sementara Kejaksaan Agung mencatat telah menuntaskan lebih dari 92 berkas
kasus terorisme yang hampir semuanya sudah memperoleh putusan, namun kini
kasus-kasus itu harus dipelajari kembali. Kuasa hukum Abu Bakar Ba'asyir,
Muhammad Assegaf ketika dihubungi SH, Jumat (23/7) malam mengatakan, putusan
MK tersebut akan digunakannya untuk meminta polisi segera membebaskan kliennya
dari tahanan.
Pasalnya, UU yang dijadikan dasar untuk menangkap dan menahan Ba'asyir menurut
Assegaf sudah dinyatakan tidak berlaku lagi. Selain Ba'asyir, putusan MK tersebut
juga dapat dijadikan dasar bagi para terdakwa lainnya yang perkaranya masih dalam
proses maupun terpidana kasus bom Bali yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Para terpidana yang putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap tersebut di
antaranya, Imam Samudera, Amrozi, Ali Imron dan Ali Gufron.
Pasal 263 ayat 2 huruf a KUHAP menyatakan bahwa permintaan peninjuan kembali
kepada MA dapat dilakukan atas dasar apabila terdapat keadaan baru yang
menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu
sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas
dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau
terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
"Kami akan melakukan rapat pada Senin depan. Tetapi yang pasti, kita akan
meminta agar polisi segera melepaskan Ba'asyir dari tahanan dan proses hukum
yang dituduhkan kepadanya," kata Assegaf. Menurut Assegaf, jika polisi tidak
bersedia melepaskan Ba'asyir maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai
perampasan kemerdekaan.
Sementara itu, Menindak lanjuti putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan
UU Nomor 16 Tahun 2003 tentang Antiterorisme, sejumlah aparat wakil pemerintah,
Sabtu (24/7) pagi ini melakukan pertemuan khusus di kantor Departemen Kehakiman
dan HAM. Pertemuan dihadiri oleh Menkeham Yusril Ihza Mahendra, Dirjen Peraturan
Undang Undang, Abdul Gani Abdullah, Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Basrief
Arief, pakar hukum Indrianto Senoadji. Sampai berita ini diturunkan wakil dari Polri
dan BIN belum hadir.
Perubahan Aspek
Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Kemas Yahya Rahman ketika dihubungi SH, Jumat
(23/7) malam mengakui, bakal ada perubahan pada aspek hukum penanganan kasus
bom dan terorisme terkait dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang
mencabut UU tentang tindak pidana terorisme peledakan bom di Bali.
Namun, belum diputuskan apakah semua dakwaan, tuntutan ataupun dasar
penyelidikan berbagai kasus terorisme yang ditangani kejaksaan akan berubah
dengan keputusan tersebut.
Terlebih yang terkait dengan kasus bom Bali. Tanggapan atas hal ini baru akan
dilakukan setelah pengkajian menyeluruh atas keputusan MK itu selesai dilakukan.
"Kami baru mendengar soal itu. Pastinya akan ada dampaknya. Tapi, kita harus
cermati betul isi keputusan itu secara komprehensif. Kami tidak akan terburu- buru
menanggapinya," kata Kemas Yahya Rahman.
Dia menambahkan, sejumlah kasus terorisme memang ada yang telah selesai
ditangani dan berkekuatan hukum tetap. Namun, banyak juga yang kini masih dalam
proses persidangan di berbagai pengadilan di Tanah Air. Soal berubahnya materi
dakwaan, tuntutan dan lainnya ini diakuinya tidak dapat begitu saja diprediksi akan
berubah.
"Tim pengkajian dari Biro Hukum segera mengkajinya secara menyeluruh,"
tandasnya.
Masih Dikaji
Sementara itu, mantan Ketua Tim Investigasi kasus bom Bali Irjen I Made Mangku
Pastika menyatakan, putusan itu perlu dikaji lebih jauh terutama dampaknya terhadap
masalah yuridis, sosiologis dan filosofis. Menurut Pastika, kini Kapolda Bali, polisi
sebagai penegak hukum hanya menjalankan aturan hukum yang berlaku termasuk
penerapan Perpu No.1 dan No.2 Tahun 2002 dalam menjerat tersangka pelaku bom
Bali. "Ya, kami sebagai pelaksana dan penegak hukum saja. Jika saat itu yang
berlaku Perpu No.1 dan No.2 Tahun 2002, ya kita pakai itu," ujarnya.
Dia mengaku, tidak mengetahui dampak putusan pembatalan UU No.16 Tahun 2003
itu kepada masyarakat."Sebaiknya memang putusan Mahkamah Konstitusi itu dikaji
lebih jauh," tambahnya.
Komentar senada juga dilontarkan Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar yang dihubungi
secara terpisah Jumat di Jakarta. Dia menyatakan, pihak kepolisian akan tunduk
terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. "Sebagai aparat penegak hukum ya kami
akan patuhi hal itu. Namun, yang jelas saya belum menerima putusan dari
Mahkamah Konstitusi itu," katanya.
Da'i menambahkan, UU No.16 Tahun 2002 dibuat oleh pemerintah bersama DPR.
Artinya, hal itu merupakan kehendak rakyat. Bila kemudian ada judicial review dan
ada keputusannya, semua itu akan dikembalikan kepada rakyat karena dalam hal ini
Polri hanya menjalankan Undang-Undang. (rik/cmg/han/ina)
Copyright © Sinar Harapan 2003
|