SINAR HARAPAN, Kamis, 26 Agustus 2004
Mengapa Asing Ikut Bermain di Papua? (1)
JAKARTA - Laksda (purn) Robert Mangindaan, yang kini aktif di LSM Center for
Defense and Maritime Studies (CDMS) dalam sebuah diskusi di kantor redaksi Sinar
Harapan awal Agustus lalu menilai isu Papua telah sampai pada tingkat yang gawat,
karena ada kepentingan asing yang mulai bermain di sana. Indikasinya antara lain
dengan pembentukan gugus tugas (task force) Papua di AS dan Australia yang
kedua-duanya dipimpin oleh mantan militer dan militer aktif.
Di AS, gugus tugas Papua berada di bawah LSM Council on Foreign Relations
dipimpin Laksamana (Purn) Dennis Blair, mantan Panglima Komando Pasifik.
Sementara di Australia, gugus tugas Papua diketuai oleh Jenderal Peter Cosgrove,
Panglima Australian Defense Force (ADF) yang pada 1999 menjadi Panglima Interfet
ke Timor Timur.
Indikasi lain adalah munculnya permintaan 20 senator AS pada 28 Juni lalu, agar
PBB mengirimkan wakil khusus untuk memantau situasi keamanan di Papua dan
Aceh. Terkait dengan itu, kantor berita AP melaporkan pada 8 Juli mengenai
pengungkapan dokumen rahasia yang lebih dari 25 tahun dari arsip nasional, yakni
dokumen tahun 1969 yang terkait dengan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
Dalam dokumen itu Henry Kissinger, Penasihat Keamanan AS, disebutkan
menyarankan kepada Presiden Nixon yang akan berkunjung ke Jakarta, agar AS
mendukung Indonesia dalam masalah Pepera, yang diselenggarakan oleh PBB pada
tahun 1964 dan berujung masuknya Irian Barat sebagai teritori RI.
"Para senator itu mempertanyakan keabsahan dukungan AS terhadap Pepera. Harap
diingat, isu Timor Timur senantiasa hidup di kongres hanya karena ada tiga senator
yang aktif, dan berakhir dengan lepasnya provinsi ke-27 itu. Sekarang ada 20 senator
yang memberi perhatian serius pada masalah Papua, ini tidak main-main," tegas
Mangindaan.
Desakan internasional seperti itu bukan yang pertama, karena pada bulan Maret,
sejumlah 88 anggota Parlemen Irlandia juga mendesak Sekjen PBB meninjau kembali
Pepera. Uskup Afrika Selatan, Desmond Tutu, pada bulan Februari juga menyuarakan
hal yang sama.
Tidak Bisa Digugat?
Pemerintah sendiri bukannya tidak menyadari hal ini. Menteri Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia (Menkeham), Yusril Izha Mahendra, seusai Rakor Polkam pada
pertengahan Juli lalu menegaskan bahwa hasil Pepera telah menjadi keputusan
hukum internasional yang tidak bisa digugat kembali.
"Ini lebih banyak soal politik daripada persoalan hukum. Keputusan lebih dari 40
tahun lalu, tidak bisa diukur dengan parameter-parameter yang ada sekarang.
Mekanisme yang bisa berlaku pada zaman itu, ya seperti itulah keadaannya," kata
Yusril.
Dia menjelaskan tingkat pendidikan rakyat Papua pada tahun 1960-an tidak
memungkinkan dilaksanakannya referendum. one man one vote, sehingga Pepera
hanya dilakukan melalui representasi. Meski Yusril mengakui tetap ada mekanisme
dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menggugat hal itu.
Sedangkan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Independen Papua, Zainal Sukri,
dalam perbincangan dengan SH, Sabtu (7/8), menilai bahwa dokumen lama yang
diungkapkan oleh Amerika Serikat mengenai dukungan terhadap Pepera merupakan
upaya AS untuk lepas tangan, dengan alasan secara yuridis AS tidak pernah terlibat
secara langsung. Dia berharap Pemerintah segera meminta klarifikasi dari
Washington DC.
"Kita harus ungkapkan juga fakta-fakta sejarah yang kita miliki. Sehingga dokumen
yang dikeluarkan Amerika perlu kita klarifikasi berdasarkan dengan fakta dan realita
yang ada tentang Pepera itu dengan dasar-dasar hukum, komitmen dan statement
serta kesepakatan yang pernah ditempuh," kata Zainal, yang di persidangan sering
mendampingi para terdakwa kasus makar termasuk mendampingi tokoh Presidium
Dewan Papua (PDP) Theys H Eluay (almarhum), Thaha Al Hamid, Pendeta Herman
Awom dll.
Artinya, dalam New York Agreement (Perjanjian New York) tahun 1962 ada sejumlah
syarat yang kalau disimak secara objektif terlihat Pepera harus dilakukan
berdasarkan standar internasional, yaitu dilakukan oleh setiap orang dan memenuhi
syarat secara perorangan (one man one vote), dengan memberikan suara apakah
Papua berdiri sendiri sebagai negara merdeka atau bergabung dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namun dalam pelaksanaannya, Pepera justru berdasarkan pada Perjanjian Roma
antara pemerintah Indonesia dengan Belanda yang dilakukan berdasarkan sistem
musyawarah perwakilan dengan 750 orang untuk satu suara. "Jadi wajar kalau ada
klaim dari masyarakat Papua bahwa pelaksanaan Pepera bertentangan dengan
kebiasaan internasional," kata Zainal.
Tidak Padu
Pemerintah tampaknya memang harus bekerja keras merebut dan mengembalikan
kepercayaan rakyat, tidak boleh berhenti pada sekadar memberi argumentasi. Karena
persoalannya adalah apakah berbagai kebijakan di Papua sudah memuaskan aspirasi
masyarakat di sana. Task Force Papua, pimpinan Laksamana (purn) Dennis Blair,
misalnya, telah membuat kajian tentang Papua yang dituangkan dalam sebuah
laporan yang dibukukan, dan di situ ada tiga hal yang menonjol. Pertama, bagaimana
mengurus Papua dalam konteks nasionalisme Indonesia. Kedua, bagaimana
menangani Papua dalam konteks otonomi khusus. Ketiga, mengenai tata
pemerintahan (good governance) yang baik.
"Ketiga pengelompokan itu memang menjadi isu-isu penting di Papua, namun
sayangnya pemerintah pusat tidak memiliki kesepahaman dan sikap terhadap ketiga
isu tersebut. Kita sangat lemah di situ," kata Mangindaan. Dia menunjuk konflik di
Ambon, Poso dan perlakuan HAM yang buruk di Papua dapat menjadi entry point
bagi kekuatan-kekuatan asing untuk masuk. Apalagi, AS berkepentingan
menyelamatkan investasi senilai US$ 25 miliar di Timika, dan AS tidak suka China
masuk ke Papua melalui Proyek Tangguh.
Pandangan itu dibenarkan pengamat masalah Papua, Frans Maniagassi. Dalam
pandangannya, tuntutan merdeka sebagian disuarakan oleh generasi muda yang lahir
awal tahun 1980-an, yang umumnya mereka tak punya ikatan dengan masa lalu
seperti Pepera. "Sehingga haruslah didalami mengapa mereka meminta merdeka,
antara lain dengan tuntutan agar Pepera ditinjau. Pemerintah di Jakarta harus
melakukan koreksi terhadap berbagai kebijakan yang diterapkan selama ini terhadap
Papua," katanya.
Maniagassi menegaskan masyarakat Papua sesungguhnya menginginkan
diperlakukan sebagaimana layaknya manusia Indonesia lainnya dengan tetap
memperhatikan identitas adat dan budayanya yang khas. Sehingga mandat untuk
membentuk Majelis Rakyat Papua seperti tertuang di UU Otsus Papua, misalnya,
seharusnya diakomodasi.
Dia menuturkan, dirinya pernah diundang oleh Komisi HAM PBB di Den Haag dan
betapa dia tercengang ketika dipaparkan berbagai tindak kekerasan dan pelanggaran
HAM oleh aparat keamanan tercatat dengan sangat rapi dan rinci, sampai ke
kesatuan terkecil. "Hal-hal seperti itu yang malah tidak pernah diketahui oleh
Jakarta," katanya.
Bahwa Jakarta tidak serius menangani masalah Papua juga dinyatakan Laksda
(Purn) Budiman Djoko Said, Wakil Ketua CDMS, yang menilai langkah-langkah
Pemerintah menyangkut Papua tidak padu dalam suatu orkestrasi yang baik, dan
tidak bergerak dalam kerangka Otonomi Khusus.
"Seharusnya pemerintah mengedepankan supervisi terhadap kebijakan pemerintah
pusat dan pemerintah provinsi dalam pelaksanaan Otonomi Khusus, sehingga setiap
adanya kemungkinan deviasi dapat dideteksi sejak dini dan dilakukan koreksi,"
katanya. (ded/xha/ngl)
Copyright © Sinar Harapan 2003
|