The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

SINAR HARAPAN


SINAR HARAPAN, Jum'at, 27 Agustus 2004

Otsus Papua, Taruhan Terakhir? (2-Habis)

Oleh FRANS MANIAGASI

APABILA masyarakat di Tanah Papua sampai mengalami disintegrasi alias merdeka lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) maka salah satu penyebab utamanya adalah ketidakkonsistenan kebijakan Pemerintah Pusat yang tidak mendorong pelaksanaan UU No 21/2001 mengenai Otonomi Khusus (Otsus) Papua secara baik dan benar.

Buat sebagian besar rakyat Papua, Otsus Khusus adalah jawaban dan taruhan terakhir agar Papua tetap menjadi bagian dari NKRI. Ia jawaban terhadap aspirasi dan tuntutan merdeka masyarakat Papua yang disampaikan pada awal reformasi. Aspirasi ini muncul karena selama 35 tahun (1963–1998) integrasi, masyarakat dan tanah Papua telah diabaikan hak-hak dasarnya. Telah terjadi kesenjangan sosial akibat pelaksanaan pembangunan, perlakuan diskriminiatif dan pelanggaran HAM luar biasa. Bahkan muncul aspirasi di kalangan kaum muda bahwa ada manipulasi "hak kesejarahan" integrasi dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) oleh Pemerintah RI di bawah pengawasan PBB tahun 1969.

Marilah, kita melihat balik latar belakang munculnya UU No 21/2001:

Pertama, Otsus Papua maupun NAD Aceh merupakan keputusan politik dari bangsa Indonesia yang dituangkan dalam Tap MPR No IV/MPR/1999 dan dipertegas lagi dalam Tap No IV/MPR/2000. Khusus Otsus Papua dituangkan dalam UU No 21/2001, yang merupakan hasil proses pembahasan yang panjang di DPR, dan disepakati pemerintah.

Kedua, Otsus Papua lahir sebagai tawaran kompromi Jakarta pada waktu itu terhadap aspirasi dan tuntutan merdeka rakyat Papua yang disampaikan Tim 100, pimpinan Tom Beanal kepada Presiden RI Prof B.J. Habibie di Istana Negara, pada 26 Februari 1999. Kemudian dipertegas lagi pada Kongres Nasional Rakyat Papua II di Jayapura pada akhir Mei – awal Juni 2000

Diganjal Inpres No 1/2003

Sayangnya, awal pelaksanaan Otsus Papua (2002) diganjal oleh Instruksi Presiden No 1 Tahun 2003 (27 Januari 2003). Isinya perintah kepada sejumlah pejabat negara untuk mempercepat pelaksanaan UU No 45 Tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi Irianjaya Tengah dan Irianjaya Barat, tanpa mengindahkan UU No 21 Tahun 2001 (Bab XXIV, Pasal 76) yang mengatur prinsip-prinsip pemekaran Provinsi Papua.

Implikasinya juga luas. Di bidang hukum telah timbul kontroversi bahwa sebuah Inpres telah mem-bypass sebuah undang–undang (UU No 21/2001), dan menyalahi Tap No III/MPR/2000 tentang Tata Urutan Perundang–undangan.

Inpres ini juga menimbulkan kekacauan pelaksanaan pemerintahan di Papua.

Akibatnya terjadi semacam dualisme pemerintahan provinsi. Inpres juga telah menciptakan konflik horizontal di kalangan orang-orang Papua antara kelompok yang pro versus kontra pemekaran. Misalnya, peristiwa Timika berdarah pada 23 Agustus 2003 menyusul deklarasi Irianjaya Tengah.

Inpres juga telah menimbulkan keraguan negara–negara dan masyarakat internasional yang tadinya telah mendukung pelaksanaan Otsus. Hal itu terlihat dalam rekomendasi di buku: "Komisi Untuk Indonesia: Perdamaian dan Kemajuan di Papua" yang disponsori oleh Council On Foreign Relations, dengan Ketuanya Laksamana (purn) Dennis C. Blair (2003), mantan Panglima Komando AS di Pasifik.

Sejak pembahasan RUU Otsus Papua di DPR hingga pemberlakuannya telah nampak dengan transparan ada segelintir elite kekuasaan di pusat yang tidak ikhlas dengan penerapan UU Otsus Papua. Lalu muncullah berbagai rekayasa dan usaha mulai dari manuver, intrik sampai menciptakan berbagai peristiwa di Papua, seperti pembunuhan Ketua PDP Theys H. Elluay (10 November 2001).

Bahkan, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Hari Sabarno sepertinya sengaja melupakan kesepakatan politik yang telah dibangun bersama DPR (Pansus RUU Otsus Papua), bahwa setelah pemberlakuan Otsus Komisi II DPR dan Pemerintah yang diwakili Mendagri akan melakukan tinjauan bersama berupa revisi terhadap pasal–pasal yang mengatur tentang pemekaran propinsi Irianjaya Tengah dan Irianjaya Barat dari UU No 45/1999, karena masalah pemekaran provinsi telah diakomodasi dan diatur dalam UU No 21/2001 tentang Otsus Papua.

Sebaliknya, Mendagri dan jajarannya secara intensif melakukan tindakan seperti: pelantikan pejabat eselon II dan III Irianjaya Barat dan menyerahkan dana dekonsentrasi. Memaksakan pembentukan KPUD Irianjaya Barat oleh KPU Pusat, tanpa melalui konsultasi dengan KPUD Papua di Jayapura. Hal ini bertentangan dengan UU No 12/ 2003 tentang Pemilu terutama Pasal 49 bagian penjelasan yang menyatakan pelaksanaan pemilu hanya di 30 provinsi untuk Aceh dan Papua mengacu pada UU No 18/2001 tentang NAD dan Papua pada UU No 21/ 2001 tentang Otsus Papua.

Usaha menggagalkan pelaksanaan Otsus bagai gayung bersambut dengan sengaja memperlambat pencairan dana Otsus.

Butuh Supervisi

Harus diakui secara jujur setelah pelaksanaan Otsus Papua timbul berbagai ekses negatif terutama adanya indikasi terjadinya KKN di kalangan pejabat birokrasi pemerintahan baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota se-Papua dalam hal penyelewengan dan penggunaan dana pembangunan termasuk dana Otsus. Disinyalir masyarakat bahwa dana itu tidak sampai ke masyarakat. Misalnya, kasus penyelewengan dana pembangunan hingga Rp 150 miliar di kabupaten Jayawijaya yang melibatkan bupati setempat.

Indikasi kesalahan manajemen dan penggunaan dana pembangunan menunjukkan lemahnya akuntabilitas atau pertanggungjawaban dalam pemakaian dan pengaturan dana tersebut. Seharusnya hal ini memperoleh prioritas dari Depdagri dalam bentuk memberikan supervisi dan pengawasan kepada daerah. Pusat memiliki kewenangan untuk menegur bahkan memberikan sanksi jika ditemui penyelewengan dana pembangunan.

Hambat PP-MRP

Usaha menggagalkan pelaksanaan Otsus dengan Inpres juga menutup nasib draf rancangan PP–MRP yang telah diajukan oleh Pemerintah Provinsi dan DPRD Papua sejak Juli 2002, yang sampai sekarang tidak jelas pembahasan dan pengesahannya. Padahal Pasal 72 (UU No 21/2001) secara tegas mengatur presiden sudah harus mengesahkan PP–MRP paling lambat satu bulan sejak usulan itu diterima.

Anehnya draf rancangan PP – MRP itu telah banyak mengalami revisi oleh Depdagri tanpa konsultasi dengan Pemerintah Provinsi dan DPRD Papua yang mengajukan rancangan tersebut. Contoh perubahan itu: MRP akan diberlakukan dan dibentuk di tiga provinsi. Pada hal UU No 21/2001 dikenal hanya ada satu provinsi yaitu Papua. Dalam pengajuan calon gubernur atau wakil gubernur untuk dipilih yang pada draf awal hanya dinyatakan berdasarkan "konsultasi dengan DPRD dan MRP" kini diubah menjadi (versi Depdagri/Pusat) "konsultasi itu harus melalui Mendagri dan Polkam". Dan masih banyak contoh lain.

Jadi fungsi dan peranan MRP sebagai lembaga representatif kultural berusaha direduksi sedemikian rupa, sehingga hanya menjadi semacam Lembaga Musyawarah Adat (LMA) warisan Orde Baru.

Perlu ditambahkan bahwa kesengajaan memperlambat pengesahan PP–MRP dilakukan sambil menunggu pembentukan DPRD provinsi Irianjaya Barat hasil pemilu legislatif 5 April 2004, yang anggotanya menurut rencana akan dilantik pada pertengahan September mendatang, meskipun pembentukan DPRD ini telah melanggar UU Pemilu dan UU Otsus.

Kini pemerintah sedang mempersiapkan Keppres untuk mencabut status quo Irianjaya Tengah yang sempat dibekukan karena terjadinya konflik berdarah di Timika akibat pro–kontra pemekaran pada 23 Agustus 2003. Pelantikan pejabat gubernur Irianjaya Barat dan Irianjaya Tengah rencananya akan dilakukan sebelum pemilihan presiden putaran kedua.

Upaya menggagalkan pelaksanaan Otsus Papua berpotensi menghilangkan kepercayaan rakyat Papua kepada Jakarta. Ini akan makin menguatkan persepsi di benak masyarakat Papua bahwa "kitorang selalu saja ditipu oleh Jakarta," bahkan "kitorang sudah tidak lagi dipercaya oleh Indonesia," lalu "kalau begitu untuk apa kitorang bersatu dengan Indonesia".

Juga perkembangan ini merusak kredibilitas pemerintah di mata masyarakat internasional tentang persoalan Papua, karena memperlihatkan ketidakkonsistenan dalam mendukung pelaksanaan Otsus. Padahal, sejak diberlakukannya UU No 21/2001 berbagai negara dan masyarakat internasional telah menyatakan komitmen mereka untuk mendukung integritas teritorial Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Oleh karena itu "PR" bagi pemerintah baru hasil pemilihan presiden putaran kedua adalah antara lain Otsus haruslah didukung dan didorong ke arah pelaksanaan yang lebih baik, bukannya digagalkan. Ini agar rakyat Papua meninggalkan aspirasi merdeka.

Penulis adalah Anggota Pokja Papua di Jakarta, mantan Anggota Tim Asistensi RUU Otsus Papua

Copyright © Sinar Harapan 2003
 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/urimesing
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044