SUARA PEMBARUAN DAILY, 31 Mei 2004
Terjadi Stigmatisasi Orang Kristen dengan FKM
JAKARTA - Saat ini sudah terjadi upaya stigmatisasi masyarakat Kristen sebagai
anggota Front Kedaulatan Maluku (FKM) dan Republik Maluku Selatan (RMS).
Stigmatisasi itu bahkan telah menjadi komoditas politik untuk
kepentingan-kepentingan kelompok tertentu.
Demikian pernyataan sikap yang disampaikan Ketua Badan Pekerja Harian Sinode
Gereja Protestan Maluku (GPM), Pendeta IWJ Hendriks di Jakarta, Senin (31/5).
"Penyerangan, pembakaran, pembunuhan, dan tindakan melukai itu didasarkan pada
anggapan bahwa semua orang Kristen adalah anggota FKM/RMS. Generalisasi
seperti ini telah berlangsung lama dan menjadi komoditas politik," kata Hendriks.
Katanya, GPM terus berupaya meluruskan anggapan-anggapan itu. Sebab, tidak
semua orang Kristen merupakan anggota FKM/RMS dan tidak semua anggota
FKM/RMS itu beragama Kristen.
Selain itu, GPM telah mengambil sikap untuk tidak melibatkan diri dalam setiap
kegiatan kelompok itu. Sikap itu diperkuat dengan pernyataan dukungan terhadap
Negara Kesatuan Republik Indonesia. "Bahkan, ketika pemerintah RMS meminta
gereja mengadakan ibadah syukur berkenaan dengan proklamasi RMS 25 April 1950,
Ketua Sinode GPM saat itu, Pendeta Mataheru, menolaknya," katanya.
Pada 1961, GPM mengeluarkan seruan dan ajakan kepada pengikut RMS yang
berada di hutan-hutan di Pulau Seram. Mereka diminta untuk keluar dan
menyerahkan diri kepada aparat keamanan. Ketika itu, semua pengikut RMS
menyerahkan diri.
Lalu, pada 1983, pimpinan Sinode GPM meminta agar aparat keamanan memroses
hukum setiap anggota masyarakat yang terlibat dalam gerakan RMS. Sebab, setiap
menjelang tanggal 25 April ada warga yang ditangkap namun setelah tanggal itu
dilepaskan lagi.
"Hal itu berlangsung selama bertahun-tahun. Pimpinan Sinode menghendaki ada
penegakan hukum. Masyarakat yang salah harus dihukum," katanya.
Menurut Hendriks, sikap GPM itu berdasarkan pada Tata Gereja (Anggaran Dasar)
GPM. Pada Bab III Pasal 6 anggaran dasar itu dinyatakan bahwa GPM menjalankan
tugas-tugas kesaksian dan pelayanan mereka di dalam NKRI dan berazaskan
Pancasila.
Oleh karena itu, Hendriks meminta agar pemerintah mengungkapkan secara terbuka
hasil dari tim penyelidik independen nasional mengenai pelaku kerusuhan di Ambon.
Hal itu sesuai dengan butir 6 Perjanjian Maluku yang diadakan di Malino. (O-1)
Last modified: 31/5/04
|