SUARA PEMBARUAN DAILY, 28 Juli 2004
Jalan Keluar Pro-Kontra Pemekaran Papua
MAHKAMAH Konstitusi (MK) saat ini sedang sibuk menyelesaikan banyak gugatan
yang diajukan oleh berbagai pihak yang merasa dirugikan atas lahirnya satu
undang-undang (UU). Setelah menuntaskan sengketa atas hasil pemilu legislatif, kini
MK dihadang dengan kemungkinan adanya sengketa atas hasil pemilu presiden
putaran pertama.
Selain itu, MK juga masih menyimpan berbagai pekerjaan rumah (PR) yang harus
segera diselesaikan. Tugas yang menunggu antara lain -dan kini sedang ditangani-
adalah permohonan yang diajukan oleh Ketua DPRD Papua John Ibo. Melalui kuasa
hukumnya, Tim Pembela Otonomi Khusus Papua (TPOKP), yaitu Bambang
Widjojanto dan Iskandar Sonhadji mengajukan permohonan hak uji materiil UU No
45/1999 terhadap Pasal 18B UUD 1945.
Adakah yang salah dengan UU No 45/1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya
Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten
Puncak Jaya, dan Kota Sorong ini sehingga Ketua DPRD Papua mengajukan
persoalan ini ke MK. Jawabannya, jelas sehingga harus dibetulkan dan dikembalikan
pada tempatnya. Ini tentu menurut Ibo.
Untuk dapat mencari solusi dan memberikan masukan, tentu harus dipahami dan
diketahui, esensi masalahnya sebetulnya ada di mana. Masalah berawal dari adanya
UU No 45/1999 yang ditentang masyarakat. Bahkan pada 14 dan 15 Oktober 1999
ketika UU ini diberlakukan, terjadi aksi penolakan dan demo besar-besaran di Papua.
Menurut anggota DPR dari Papua, Simon Patrice Morin, penolakan masyarakat ini
dilegitimasi DPRD Provinsi Irian Jaya melalui Keputusan DPRD No 11/ DPRD/1999
tentang Pernyataan Pendapat DPRD Provinsi Irian Jaya kepada pemerintah untuk
menolak pemekaran Provinsi Irian Jaya dan usul pencabutan Surat Keputusan
Presiden No 327/M Tahun 1999 tertanggal 5 Oktober 1999 tentang Pengangkatan
Pejabat Gubernur Provinsi Irian Jaya Tengah dan Pejabat Gubernur Provinsi Irian Jaya
Barat.
Pada tahun 2001 terjadi kesepakatan politik antara masyarakat dan pemerintahan di
Papua dengan pemerintah yang didukung DPR dengan diundangkannya UU No
21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
"Berlakunya UU ini merupakan bukti nyata dari kesungguhan pemerintah di bawah
kepemimpinan Megawati Soekarnoputri menyelesaikan persoalan politik, ekonomi,
sosial, dan budaya yang terjadi di Irian Jaya secara bermartabat dalam kerangka
NKRI," kata Simon.
Belum lagi solusi politik UU No 21/2001 dilaksanakan secara paripurna, pemerintah
menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No 1/2003 tentang Percepatan Pelaksanaan
UU No 45/1999. Tindakan ini menimbulkan gelombang protes dari berbagai elemen
masyarakat di Papua ketika itu. Anggota Tim Asistensi RUU Otonomi Khusus Papua,
Dr Agus Sumule menjelaskan, Inpres ini langsung memicu reaksi, baik di Papua
maupun di tingkat nasional. Ada yang menerimanya dengan sukacita, tetapi tidak
sedikit yang menolaknya. Hampir tidak ada hari selama bulan Februari dan Maret
2003, memperdebatkan Inpres 1/2003 di media massa.
Bagi mereka yang bersikap pro, pembentukan provinsi-provinsi baru melalui Inpres ini
dianggap terobosan dan cara jitu untuk mendekatkan pelayanan pemerintah kepada
masyarakat. Kesejahteraan masyarakat, dengan demikian akan meningkat. Tetapi
bagi yang kontra, Inpres No 1/2003 dianggap melecehkan UU No 21/2003.
Masalahnya, sesuai Pasal 76 UU No 21/2001, untuk membentuk provinsi-provinsi
baru harus terlebih dulu mendapatkan persetujuan dari Majelis Rakyat Papua (MRP)
dan DPR Papua. Padahal MRP hingga saat ini masih belum bisa dibentuk karena
pemerintah masih belum mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang MRP.
Menurut anggota TPOKP Bambang Widjojanto, kebijakan otonomi khusus bagi
Papua yang dilakukan melalui UU No 21/2001 adalah UU yang telah disepakati antara
DPR dan pemerintah dan disahkan oleh Presiden Megawati. Paling tidak ini menjadi
bukti nyata komitmen pemerintah melaksanakan tiga hal penting. Ketiga hal itu
adalah menjawab masalah yang ada di Papua secara tepat dan bermartabat,
melaksanakan Ketetapan MPR No IV/MPR/ 1999 tentang GBHN dan ketetapan MPR
No IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi kepada Presiden dan DPR untuk menyusun
UU Otsus bagi Provinsi Papua, dan menjalankan konstitusi.
UUD 1945, khususnya Pasal 18B menyatakan, kesatu, negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat
istimewa yang diatur dengan UU serta kedua, negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
NKRI yang diatur dalam UU.
Dikatakan, kebijakan otsus bagi Provinsi Papua -seperti halnya kebijakan politik
untuk Aceh- merupakan paradigma pendekatan penyelesaian masalah melalui model
penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat khusus. Ada cukup banyak fakta dapat
ditunjukkan dan juga harus diakui, kebijakan otsus di Papua telah berhasil
menciptakan situasi yang sangat kondusif dibandingkan situasi yang terjadi di Papua
beberapa tahun sebelumnya.
Disadari sepenuhnya, UU No 21/2001 sebagai sarana hukum penyelenggara
kebijakan otsus di Papua belum dapat dijalankan secara konsisten dan optimal.
Salah satu penyebabnya adalah belum adanya PP yang mengatur tentang
Persyaratan dan Tata Cara Pemilihan Anggota MRP untuk pertama kalinya.
Permasalahan pro-kontra tentang pemekaran wilayah Papua, sepertinya masih akan
panjang. Muncul pertanyaan, apakah tidak mungkin ditempuh jalan yang lebih damai
dan menguntungkan semua pihak, baik dari yang mengajukan gugatan maupun yang
digugat? Apakah jalan untuk menyelesaikan persoalan ini lebih "enak" tidak ada lagi?
Itu pertanyaan yang membayang.
Kasus "perang" di Timika ketika dilaksanakan deklarasi berdirinya Provinsi Irian Jaya
Tengah patut diingat dan harus diusahakan tidak terulang kembali. Apakah masih
perlu ada jatuh korban sia-sia dari rakyat Papua di tanah kelahiran mereka, hanya
karena pro-kontra pemekaran di wilayah tersebut.
Apakah tidak mungkin MK memprakarsai kembali untuk mempertemukan para pihak
terkait, mulai dari Ketua DPRD Papua, Gubernur Provinsi Papua, dan Menteri Dalam
Negeri. Alangkah baiknya kalau MK juga menunjuk pihak ketiga yang disetujui kedua
belah pihak yang akan bertindak sebagai Arbitrer di dalam menyelesaikan masalah
dengan tetap terlibat untuk "mengawasi" proses arbitrasi yang dilakukan melalui
suatu Penetapan MK.
Hanya sekadar masukan, bagaimana kalau pemekaran harus diletakkan di dalam
situasi status quo. Hal ini dimaksudkan untuk mengembalikan situasi seperti tersebut
di dalam UU No 21/2001, yaitu keseluruhan wilayah provinsi disebut sebagai Papua
dan Provinsi Papua hanya merupakan satu kesatuan wilayah, tidak terbagi menjadi
Irjabar, Irjateng, dan Irjatim.
Kalau itu diterima berarti pemerintah yang harus mengalah dan sedikit melangkah
mundur. Namun juga harus disepakati oleh kedua belah pihak untuk mewujudkan
komitmen politik, yaitu mendorong proses pemekaran wilayah berupa pemekaran
provinsi di dalam kurun waktu tertentu, sesegera mungkin. Hal ini harus dengan
jadwal dan langkah-langkah kegiatan yang terukur dan jelas, selambat-lambatnya
pada akhir tahun 2006.
Komitmen untuk pemekaran menjadi sejumlah provinsi ini harus segera
disosialisasikan kepada masyarakat Papua dengan diikuti dengan segera keluarnya
PP tentang MRP. Kemudian pemekaran yang menjadi komitmen akan direalisasikan
pada akhir tahun 2006 ini dilaksanakan sesuai dengan amanat Pasal 76 UU No
21/2001.
Kalau ini bisa direalisaikan, sepertinya semuanya akan berjalan mulus. Pemekaran
tetap bisa dilaksanakan sesuai dengan UU No 21/2001, tanpa ada risiko konflik yang
harus ditanggung oleh masyarakat Papua. Apakah ini bisa diwujudkan dalam waktu
dekat ini, ya mari kita tunggu bersama-sama. Kiprah MK dan partisipasi semua
pihak, khususnya para pihak yang berperkara di MK sangat dibutuhkan. Itu semua
demi kesejahteraan rakyat Papua.
Pembaruan/Marcellus Widiarto
Last modified: 28/7/04
|