JAKARTA -- Cadangan energi fosil semakin hari makin berkurang padahal kebutuhannya cenderung meningkat. Karena kondisi itulah para pakar energi memperkirakan bahwa energi fosil pada waktu tertentu akan habis terkonsumsi. Perkiraan yang ekstrem menyebutkan, minyak bumi akan habis jika dikonsumsi terus-menerus selama 200 tahun. Adapun batu bara akan habis terpakai dalam 400 tahun.
Seperti sedang berpacu dengan deadline, para ilmuwan energi giat mengembangkan energi terbarukan sebagai energi alternatif. Salah satunya adalah biodiesel, bahan bakar yang berasal dari minyak nabati yang memiliki sifat menyerupai solar atau minyak diesel. Biodiesel merupakan bahan bakar ramah lingkungan yang sesuai dengan komitmen Protokol Kyoto dan Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism).
Banyak jenis biodiesel berdasarkan sumber bahan bakunya. Biodiesel kelapa sawit merupakan jenis yang telah dikembangkan secara komersial ($450,- per Ton). Selain itu, ada pula biodiesel dari minyak bunga matahari (Helianthus annuus) dan minyak biji jarak.
Dr Agus Rusyana Hoetman, peneliti pada Balai Besar Teknologi (B2T) pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Serpong, Tangerang, Banten, adalah salah satu yang melakukan pengembangan biodiesel dari biji jarak. Jarak yang dipilihnya adalah jarak pagar (Jatropha curcas) yang banyak ditanam secara tradisional oleh masyarakat di Sumba, Nusa Tenggara Barat, dan Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Menurut pengakuan Agus, jenis jarak yang telah dikembangkan jadi produk turunan, misalnya untuk bahan kosmetik dan minyak pelumas, adalah spesies Ricinus comunis. "Sementara itu, jarak pagar kurang dikembangkan," kata Agus, Kepala B2T. Untuk itulah, lembaganya yang salah satu kompetensinya mengembangkan teknologi energi terbarukan, mengembangkan biodiesel dari bahan jarak pagar tersebut.
Agus mengaku bertemu dengan Gubernur Nusa Tenggara Timur. Menurut Gubernur, masyarakatnya di beberapa kecamatan telah biasa menanam jarak pagar. Tapi penanaman belum terkoordinasi secara baik. "Dalam satu hektare dapat dihasilkan biji jarak sekitar 4-6 ton," kata Agus. Normalnya, masyarakat sudah dapat memetik buah jarak setelah ditaman selama lima bulan.
"Kami telah bekerja sama dengan peneliti di Badan Tenaga Atom Nasional yang mengembangkan varietas jarak pagar yang diradiasi sehingga dapat berbuah pada umur empat bulan," ujar Agus. Rencananya tahun ini B2T membuka kebun percontohan seluas satu hektare di Serpong yang ditanami dengan varietas jarak dari BATAN tersebut.
Keberhasilan pengembangan biodiesel jarak pagar ini tak hanya tergantung pada aspek pertaniannya, tapi juga sistem pengolahannya menjadi minyak jarak. Itulah sebabnya, Agus bekerja sama dengan Dr Heru Kuncoro, koleganya yang menjabat Kepala Subbidang Termal dan Mekanik di B2T.
Heru lalu merancang sistem pemrosesan biji jarak menjadi biodiesel. Sistem itu, menurut Heru, sederhana saja, terdiri atas mesin pengupas biji, unit pemanas, mesin tekan (pres mekanik), mesin penyaring (filter), pompa, dan perpipaan, serta dilengkapi unit pembangkit listrik berkapasitas 20-40 kilowatt. Sistem itu mampu memproses 10 ton biji jarak dengan waktu operasi 24 jam sehari.
"Pembangkit listrik itu memanfaatkan minyak jarak pagar yang dihasilkannya dan sebagian besar lainnya atau 70-80 persen berasal dari biomassa hasil gasifikasi limbah kulit buah jarak," kata Heru. "Jadi pembangkit listrik ini nyaris tak menggunakan bahan bakar dari luar," dia menambahkan.
Saat ini, B2T telah memiliki prototipe sistem skala laboratorium dengan kapasitas satu ton dengan pembangkit diesel 5 kilowatt. Menurut Agus, sistem berjalan baik, meskipun tetap harus ditingkatkan unjuk kerjanya. "Minyak jarak pagar yang dihasilkan memiliki angka cetane 51. Ini lebih tinggi dibanding yang dimiliki solar yang 45," kata Agus. Selain itu, titik pengabutan (pour point minyak jarak berada pada suhu 8 derajat Celsius, sedangkan solar 10 derajat Celsius.
Investasi untuk membuat sistem pemrosesan biji jarak dengan kapasitas produksi 10 ton biji itu telah diperhitungkan Agus, yakni sekitar Rp 1 miliar. "Itu tidak termasuk biaya bangunan seluas 300 meter persegi dan lahan kebun yang luasnya 500-1.250 hektare," dia menjelaskan.
Berdasarkan hitungan Agus, jika umur teknis alat adalah 10 tahun, ongkos pemrosesan minyak jarak tersebut Rp 350-600, belum termasuk harga biji jarak pagar.
"Analisis keekonomian ini diambil waktu produksi 312 hari per tahun dan 24 jam per hari, dengan rendemen minyak diasumsikan 30-45 persen. Jadi diperoleh minyak 2.623-3.919 liter/hari atau setara dengan 749-1.123 ton per tahun.
Industri minyak jarak ini juga harus menguntungkan penduduk yang menanamnya. Untuk itu, Agus menekankan perlunya penetapan harga biji jarak. Menurut hitungan Agus, jika harga biji jarak Rp 500/kg, harga minyak jaraknya berkisar Rp 2.100 (pesimistis) hingga Rp 1.400 (optimistis). Bila harga biji jarak Rp 800/kg, harga net minyak jarak Rp 3.000 (pesimistis) hingga Rp 2.000 (optimistis).
Agus berharap adanya program pemanfaatan lahan kritis dan marginal untuk penanaman jarak. "Di Nusa Tenggara misalnya yang hampir tidak ada sumber energi sehingga jarak pagar dapat dibudidayakan sebagai bahan baku energi," katanya. Selain itu, perlu ada investor yang membangun pabrik pengolahan minyak jarak. Ini akan membuka lapangan pekerjaan baru dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sana. "Penduduk nantinya dapat menjual minyak jaraknya kepada PLN sebagai bahan bakar PLTD di wilayah itu."
Dengan harga minyak jarak yang kompetitif terhadap solar mungkin PLN tak harus mengimpor BBM untuk menghidupkan pembangkit listrik tenaga dieselnya. dody hidayat
sumber : tempo.co.id
Top
Het KIT (Koninkelijk Instituut voor de Tropen) is al decennia actief bij ontwikkelingsprojecten in Mali. Ontwikkeling van de landbouw, waaronder erosiebestrijding, nam en neemt daarbij een belangrijke plaats in. Zo stimuleerden het KIT en lokale partners in de jaren zeventig en tachtig de boeren om jatropha aan te planten in de hagen van hun velden en op geërodeerde gronden. Jatropha is bijzonder droogteresistent en groeit op gronden waar alle andere gewassen het afleggen. Het is dus bijzonder geschikt om de aarde vast te houden en landbouwakkers te beschermen tegen de wind en andere eroderende factoren. Inmiddels staat er momenteel meer dan 20.000 kilometer jatrophaheggen in Mali.
Dat de jatrophanoot ook gebruikt kan worden voor olie was al lang bekend. De productie daarvan is tot nu toe echter niet het boerenerf ontstegen en was vooral voor eigen gebruik. Het KIT-project moet daar verandering in brengen. De bedoeling is dat er door Mali Biocarburant SA een markt ontstaat voor jatrophanoten als grondstof voor biodiesel.
Het bedrijf gaat de oogst van kleine boeren uit hun eigen bestaande aanplanten opkopen en nieuwe aanplanten stimuleren. Om de zaden te verwerken tot biodiesel wordt een fabriek opgezet. De noten worden eerst lokaal verwerkt in mobiele persen. Het ruwe product gaat naar de fabriek voor raffinage. Verwerking van het residu tot bijvoorbeeld zeep wordt momenteel nog onderzocht.
Het project is in 2007 gestart en loopt drie jaar. Dan wordt het overgedragen aan lokale partners. Om het bedrijf op te zetten is er een expert van het KIT speciaal gedetacheerd in Mali als directeur. Een Malinese adjunct-directeur neemt na verloop van tijd zijn taken over.Top
Het project moet overigens meer opleveren dan extra inkomsten voor boeren en boerinnen. Het gaat ook om werkgelegenheid, groene energie, minder verlies van deviezen, en kennis over ‘ondernemen tegen armoede’. Bij de financiering door externe partners spelen ook overwegingen van maatschappelijk verantwoord ondernemen mee. 29 mei 2007
14-12-07
Prof. Erik Heeres (RUG) en ITB doen onderzoek naar jaraknoten. bron IS
Vorig jaar reed Heeres acht dagen lang door Indonesië op uitnodiging van het blad National Geographic Indonesia. De voertuigen reden op bio-diesel afkomstig van jatropha-noten. En dat beviel de hoogleraar chemische reactietechnologie prima. Maar van grootschalige raffinage van biodiesel uit jatropha is nog lang geen sprake. „Nog nergens ter wereld is een plantage te vinden van 10.000 hectare waar de persen draaien op commerciële basis.”
De Rijksuniversiteit Groningen is recent met Wageningen Universiteit en twee onderzoeksinstellingen in Indonesië begonnen aan een groot project rond de jatropha-struik. Maar liefst acht promovendi zijn op de struik gezet.
Het Nederlandse bedrijf Diligent Energy Systems hoopt binnen afzienbare tijd voldoende struiken te hebben aangeplant in de omgeving van het vliegveld Kilimanjaro Airport in Tanzania.
Diligent rekent op ongeveer 1500 liter bio-diesel per hectare. Het bedrijf kan volgens directeur/oprichter Ruud van Eck snel veel struiken neerzetten omdat het in de regio momenteel veel regent. Anders dan in Indonesië kan in Tanzania niet het gehele jaar worden geoogst. Desondanks wordt van jatropha in Afrika veel verwacht.Top
De jatropha-struik draagt binnen acht maanden na aanplant al vrucht. Dat betekent dat de productie van bio-diesel snel op gang kan komen.
Het is overigens niet de eerste keer dat grootschalige aanplant van jatropha is beproefd. Eind vorige eeuw zagen Oostenrijkers wel wat in de struik en staken geld in een plantage van 10.000 hectare in het arme Nicaragua. In 1999 moest die plantage ontmanteld worden. De jatropha-diesel kon het niet opnemen tegen de gebruikelijke fossiele brandstoffen. Maar toen werd ook geen 60 dollar voor een vat ruwe olie neergeteld.Top
Nutzungsmöglichkeiten der Jatropha-Pflanze:
• als Heckenpflanze zur Einfriedung von Gehöften, Felder und den "Parc à Boeuf" (Jatropha
ist für Tiere wie Zebu, Ziege und Schaf giftig und wird von diesen nicht gefressen),
• als Abgrenzung zum Nachbarn (Anzeige von Eigentumsrechten)
• als Stützpflanze für die Ranken der Vanille- und Pfefferpflanze
• das traditionell (Auskochen des Öls) gewonnene Öl als Haarpflegemittel
• als Hecke im Kampf gegen Wind- und Wassererosion
• als Brandschutzhecke im Kampf gegen die "feu de brousse"
• das gepresste Öl (ohne weitere Verarbeitung) als Lampenöl
• das gepresste Öl (ohne weitere Verarbeitung) als Schmierstoff
• das gepresste Öl durch Verseifung mit Laugen als hochwertige Seife
• das gepresste Öl (ohne weitere Verarbeitung) als Brennstoff in Dieselmotoren mit
Vorbrennkammern
• das gepresste Öl nach Umesterung mit Alkohol als Biodiesel, geeignet auch für hochwertige
Dieselmotoren
• der Presskuchen als Düngemittel mit einem hohen Gehalt an Stickstoff (ca. 3-4%)
• Wirkstoffe des Öls (es handelt sich wohl um die Phorbelester), wirken sowohl gegen
Nematoden - in Indien werden zu diesem Zweck Bananenplantagen mit dem Presskuchen
gedüngt - als auch gegen Wasserschnecken, einem Zwischenwirt der Bilharziose:
Chinesen nutzen dies und umgeben ihre Reisterassen mit Hecken von Jatropha.
• Fast alle Pflanzenteile können für medizinische Zwecke genutzt werden (als Abführmittel,
gegen Hautkrankheiten, gegen Husten, als Antiseptikum etc.)
Darüber hinaus wird an der Nutzung als Brennstoff für Kochherde gearbeitet (GTZ, Bosch- Siemens-Haushaltsgeräte); diese Technik ist jedoch noch nicht ausgereift.
Die Pflanze besitzt den Nachteil, dass das Öl für den menschlichen Verzehr ungeeignet ist sowie eine Wirtspflanze des Cassava-Virus darstellt. Noch erforscht sind langfristige Nebenwirkungen des Kontakts der menschlichen Haut mit den Phorbelestern, die dafür bekannt sind, dass sie cocancerogen wirken.
Leider ist der Jatrophaöl-Kocher nicht ausgereift.
D1 BP Fuel Crop Limited d1bpfuelcrops.com ist in zahlreichen Ländern Asiens und Afrikas engagiert, am stärksten in Indien, Indonesien, Sambia und Swasiland, um den Grundstoff der Jatrophaölproduktion zu erhalten. Das Ziel ist es, Jatrophaöl bzw. Biodiesel aus Jatropha zu international wettbewerbsfähigen Preisen als Alternative zu fossilen Energieträgern anzubieten, und zwar kurzfristig eher auf dem nationalen Markt, mittel- und langfristig - aufgrund des geringen nationalen Marktes - vor allem auf dem internationalen Markt.↑
Motorisierte Ölpressen die auch für die Extraktion von Jatrophaöl geeignet sind. Es handelt sich dabei um - eine indische Ölmühle der Firma TINYTECH tinytechindia.com - verschiedene chinesische Modelle der Firma Raoyang Hongyuan Machinery Co., Ltd (http://hongyuanzhj.fuzing.com)
Das Öl kann direkt als Lampenöl verwendet werden. Petroleumlampen können aufgrund der höheren Viskosität des Jatrophaöls nicht genutzt werden. Es können jedoch mit einfachsten Mitteln geeignete Lampen hergestellt werden. Es bedarf dazu nur eines Glases, eines Schwimmers (z.B. eine Scheibe eines getrockneten Maiskolbens, umhüllt mit Alu-Papier) und eines Baumwolldochtes. Jatrophaöl neigt leider dazu, bei der Verbrennung Rückstände zu hinterlassen, die den Docht ein wenig verkleben lassen. Daher ist nach 3-4 Stunden der Docht ein wenig nachzuregulieren.
Jatrophaöl verbrennt deutlich langsamer als Petroleum und es rußt bedeutend weniger, was für die Beleuchtung innerhalb geschlossener Räume von großem Vorteil ist.
Dieselmotoren mit Vorbrennkammern bzw. langsam laufenden stationären Dieselmotoren wurden mit 100% gereinigtem Jatrophaöl befüllt, was keine Probleme bei der Verbrennung von Jatrophaöl verursacht hat.
Auf dem Lande von Bedeutung ist insbesondere auch die Verwendung des Jatrophaöls für die Seifenherstellung. Für die Herstellung werden neben den Geräten (nicht korrisionsgefährdete Gefäße, Handschuhe) lediglich Öl, Natronlauge und Wasser benötigt. Es können, falls Natronlauge für die Verseifung nicht zur Verfügung steht, auch Lösungen aus kaliumreicher Asche (z.B. von Bananenschalen) verwendet werden. Die Seife schäumt sehr gut und sehr lange. Zur Qualitätsverbesserung können noch Duftöle zugesetzt werden.
Aus Jatrophaöl lässt sich durch Umesterung sehr gut Biodiesel herstellen. Dem gefilterten Öl wird ca. 10% Methanol beigefügt; unter Zugabe einiger Reagenzien und Erhitzung auf 60°C lösen sich die Esterbindungen der Triglyceride und die nun freien Fettsäuren gehen eine Ver bindung mit dem Methanol ein; es entstehen Fettsäuremethylester (FAME), Biodiesel genannt, und Glycerin. Soll dieser Prozess kontrolliert ablaufen und eine hohe Qualität des Biodiesels erreicht werden, ist ein aufwändiges technisches Equipment erforderlich, was die Produktion relativ teuer macht und wird erst ab Größenordnungen von 100.000 Tonnen/Jahr lohnenswert macht.
Grundsätzlich, und das gilt für Pflanzenöl wie Biodiesel, ist Vorsicht geboten: Diese Produkte sind biologisch abbaubar. Das bedeutet auch, dass es Mikroorganismen gibt, die sich gern daran laben.
Voorbereidingen nov09:
Boeing, Air New Zealand and UOP have worked diligently with growers and project developer Terasol Energy to identify sustainable jatropha in adequate quantities to conduct thorough preflight testing. Using proprietary UOP fuel processing technology, the jatropha crude oil was successfully converted to biojet fuel, marking the world's first large-scale production run of a commercially viable and sustainable biofuel for aviation use.
o process the jatropha crude, the team relied on UOP's green jet fuel processing technology based on hydroprocessing methodologies that are commonly used to produce transportation fuels. During processing, hydrogen is added to remove oxygen from the biomass, resulting in a bio-derived jet fuel that can be used as a petroleum replacement for commercial aviation. Boeing is working with airlines and engine manufacturers to gather biofuel performance data as part of the industry's efforts to revise the current American Society for Testing and Materials (ASTM) standards to include fuels from sustainable plant sources. Jatropha, which can be grown in a broad range of conditions, produces seeds that contain inedible lipid oil that is extracted and used to produce fuel. Each seed produces 30 to 40 percent of its mass in oil. Plant oil used to create the fuel for the Air New Zealand flight was sourced from nonarable lands in India and Southeastern Africa (Malawi, Mozambique and Tanzania).
Men testte een mengsel van 50% kerosine met 50% brandstof uit jatropha of wolsmelk.