Ada
tercatat suatu saat Sir Edmund Burke, tokoh terkenal dalam sejarah
kerajaan Inggris, berteman baik dengan seorang tokoh yang juga sama terkenalnya,
seorang teologian, berprofesi sebagai pendeta. Bahkan raja dan ratu
datang menghadiri kebaktiannya di setiap minggu, tapi
Edmund Burke tidak pernah hadir.
Suatu saat, si pendeta bertanya, "Mengapa kawan, kau tidak pernah mau datang.... bahkan raja, ratu, seluruh keluarga kerajaan, pelajar-pelajar terkemuka datang di kebaktianku. Tapi engkau, sahabat yang paling baik, selalu menolak. Kumohon, datanglah paling tidak sekali saja." Jawab Burke, "Justru karena saya sahabat terbaikmulah, saya tidak bisa hadir, tapi karena kau memaksa, baiklah, minggu besok saya datang, bersiaplah."
Pendeta : "Apa maksudmu : Bersiaplah?"
Burke : "Segalanya akan jelas saat saya datang ke gerejamu."
Sahabat ini lantas mempersiapkan kebaktian misa
yang indah, ia ingin membuat Edmund Burke benar-benar tertarik. Pada
saatnya tibalah Edmund Burke. Sepanjang misa pendeta terus memperhatikan
perubahan wajah Burke - tapi tiada munculnya tanda-tanda emosi, perasaan
atau dampak apapun terhadap apa yang dikotbahkannya. Orang ini duduk diam
bak sebuah batu.
Ini membuat pendeta gelisah dan nervous.
Dan sampai tiba di acara tanya jawab, Burke
adalah orang pertama yang bangkit berdiri!
Dia bertanya, "Saya hendak bertanya. Disebutkan
dalam kotbahmu barangsiapa yang baik, suci, percaya Tuhan akan masuk surga.
Dan orang yang bertindak jahat, tidak percaya Tuhan masuk ke api abadi
di neraka." "Menurut saya adalah, Anda terlalu menyederhanakan persoalan.
Saya ingin tahu: Jika seorang bertindak baik dan suci batinnya tapi
tidak percaya kepada Tuhan, kemana dia akan pergi? Sebaliknya seorang yang
jahat tindakannya, namun percaya kepada Tuhan, kemana perginya?"
Untuk sesaat sang teologian 'hilang' dalam kebingungan,
sebab jawab apapun yang diberikannya bisa menimbulkan masalah susulan.
"Maafkan saya, saya tidak dapat menjawabnya seketika."
"Saya mengerti" jawab Burke. "Sebab seluruh kotbahmu
bukan berasal dari suatu yang spontan. Anda cuma seperti burung beo. Yang
menyedihkan, Anda tidak punya jawabnya, tapi berani mengotbahkan
siapa yang kan ke surga dan siapa yang ke neraka."
"Beri saya 7 hari. Minggu depan saya akan menjawabnya,"
kata
pendeta.
7 Hari berikut adalah hari-hari yang sangat berat
bagi si teologian. Dia sudah berusaha keras, segala cara. Kesimpulan apapun
yang didapat tampaknya keliru. Jika seseorang, tidak percaya Tuhan, namun
memiliki kebajikan - kita tidak dapat mengirimnya ke neraka, karena akan
timbul keraguan, apa gunanya berbuat bajik? Sebaliknya seseorang pengikut
Tuhan namun cela dalam
tindakannya - juga tidak dapat kita kirimkan
ke surga; perbuatan dosa, kejahatan, apakah tidak
ada artinya? Jika begitu apa gunanya berbuat
baik atau jahat? Semakin lama dipikir, semakin gelisahlah si pendeta,
ia tidak bisa tidur.
Dan minggupun tibalah.
Pendeta ini datang ke gereja 1 jam lebih awal,
Tetap tanpa jawaban. Ia berdoa kepada Yesus, "Tuhan, tolonglah, di Alkitab,
buku-buku lain sampai isi perpustakaan tidak jua kutemukan jawabnya. Edmund
Burke benar, kini ia membuat masalah tidak cuma kepada saya, tapi juga
kepada seluruh kongregasi gerejaMu. Kini terserah Tuhan apakah berkenan
menolong saya."
Pendeta bertelut di bawah patung Yesus,
terus berdoa mohon petunjukNya.
Karena sudah 7 hari sulit tidur, akhirnya ia jatuh tertidur. Ia bermimpi. Dalam mimpinya, ia sedang duduk di dalam kereta, bersama penumpang2x lain. "Kemanakah kereta ini pergi dan kemana saya akan dibawa?" Jawab mereka, "Kereta ini menuju surga."
Kata pendeta, "Oh baik sekali, lebih baik
saya menyaksikan sendiri seperti apa orang-orang di sana." Iapun melamun,
jika saja ia dapat bertemu Socrates, Gautama Buddha, Mahavira...
berarti kebajikan, ketulusan hati, kesederhanaan sudah cukup. Tidak perlu
lagi percaya kepada Tuhan ..... tapi jika ia tidak dapat bertemu mereka,
lantas orang-orang seperti paka gerangan yang akan dijumpainya nanti -
sebab Adolf Hitler percaya Tuhan, Napoleon Bonaparte
percaya Tuhan, Alexander Agung juga percaya Tuhan,
tapi tetap saja membunuhi orang!
Nadirshah percaya Tuhan, namun kesenangannya
membakar orang hidup2x! Jika saya bertemu mereka di surga, habislah sudah;
saya harus menyatakan kebenaran kepada gereja saya.
Tiba di surga. Ia tak dapat mempercayai penglihatannya,
Stasiun tampak dekil, kumuh, berantakan. Ada pelang bertulisakan 'SURGA'
namun huruf2x nyaris pudar, kotor, hampir roboh. Dalam hatinya... apakah
saya tiba di India atau apa?! Ini bukan surga. Surga macam apakah ini?
Tapi dilanjutkannya turun dari kereta, pergi
ke kantor stasiun, namun kosong, tidak ada orang. Dilanjutkannya perjalanan,
dijumpainya sekumpulan orang, kepada mereka ia bertanya, "Saya ingin mencari
orang-orang berikut :
Buddha Gautama, Socrates, Pythagoras, Heraclitus,
Epicurus, Mahavira, Lao Tzu."
"Tidak pernah dengar tentang mereka," jawab penghuni
surga. Para penghuni ini .. kurus kering, bagaikan sari hidupnya telah
habis diperas keluar semuanya, pucat, tanpa ekspresi. Ia bertanya,
"Siapakah mereka?" Yang seorang adalah seorang
suci - ia pernah mendengar nama itu,
yang lain adalah Ekhart, yang lainnya lagi St
Francis.... Para orang suci ada di sana, duduk dalam keadaan telanjang,
tanpa sehelai benangpun menutupi. Ia bertanya kepada mereka apakah ada
musim semi di sana, tapi dijawab: "Apa maksudnya dengan musim semi? Belum
pernah
dengar istilah itu sebelumnya." Tidak ada
lagu, tiada keceriaan. tiada pesta.
"Ya Tuhan!" seru sang pendeta. Lapis-lapisan debu
menempel di sekujur penampilan rang-orang ini. Seluruh tempat bagaikan
tak pernah dikunjungi hujan selama berabad-abad. Seluruhnya tampak kering
kerontang, tidak ada tanda-tanda kehijauan - tidak ada bebungaan, wangi-wangian.
Seumur hidupnya ia belum pernah melihat tempat seburuk ini.
"Ya Tuhan, jika surga adalah seperti ini, ini
adalah tempat yang berbahaya!"
Sang pendeta buru-buru kembali ke stasiun, dan
menuntut segera bertolak menuju neraka. Ia membatin, jika surga saja
sudah seperti ini, neraka mau seburuk apa lagi? Tapi saat kereta kian mendekati
tujuan, udara semakin bertambah sejuk dan berbau harum. Setibanya di stasiun,
ia melihat pria wanita dewasa, anak-anak semua dalam wujud
yang indah, tampak bahagia.
Ujarnya, "Ya Tuhan, ini pasti ada yang salah.
Tempat ini seharusnya adalah surga, tiap orang tampak begitu bahagia."
Iapun turun dari kereta dan bertanya,"Apakah kalian
pernah mendengar nama Bodhidharma, Basho, Socrates, Gautama Buddha, Confusius?"
Jawab mereka, "Mereka adalah orang-orang yang telah merubah tempat ini.
Dahulu neraka adalah tempat yang busuk, mengerikan, tapi sejak
kedatangan mereka, seluruh wajah neraka telah
diubahnya. Sekarang semuanya tampak
hijau, bagaikan oasis. Kami punya cinta, kami
punya kidung nyanyian, ada musik. Tunggulah hingga malam tiba, saat setiap
orang berdansa, bernyanyi, bermain musik. Sekarang setiap orang sedang
bekerja di ladang.
Lihatlah....
itu Socrates sedang bekerja di ladang."
Jawaban ini benar-benar mengejutkan sang pendeta. Dan iapun terbangun tepat di saat jam kebaktian dimulai. Kebetulan jemaat yang sudah hadir sedang mengelilinginya sambil bertanya-tanya heran, ada apa, apakah dia pingsan, atau tertidur? Edmund Burke juga telah duduk menunggu di barisan depan.
Pendeta inipun menjawab dalam kotbahnya, "Saya
telah berusaha keras, tapi tidak menemukan jawabannya. Saya baru saja mendapatkan
mimpi, dan saya akan menghubungkan mimpi ini dengan jawaban saya,
dan kalian dapat menarik kesimpulan masing-masing. Kesimpulan saya sendiri
adalah sebagai berikut :
Maafkan, selama ini apa yang saya sampaikan adalah
keliru. Bukanlah menjadi isu atau pertanyaan apakah orang baik, orang
suci akan masuk ke surga; melainkan kemanapun orang baik dan suci pergi,
mereka akan menciptakan surga. Dan percaya kepada Tuhan adalah suatu hal
yang tidak relevan. Ini adalah keyakinanmu pribadi - anda dapat percaya,
dapat pula
tidak mempercayainya. Ini tidak ada relevansinya
dengan kesimpulan akhir hidup