Berlindung kepada Buddha artinya anda berkemauan
untuk
menjalankan hidup
anda dengan mengenali atau menghubungkan diri
dengan kesadaran
anda, belajar
bahwa setiap kali anda bertemu dengan naga, anda
menanggalkan
lebih banyak
pakaian perang, khususnya yang menutupi hati
anda. Itulah yang
kita lakukan
selama di dathun ini, melepaskan baju perang,
menanggalkan
pelindung kita,
melepaskan semua yang menutupi kebijaksanaan
dan kelembutan
serta sifat
bangkit kita. Kita tidak sedang berusaha menjadi
seseorang yang
bukan diri
kita; sebaliknya, kita menemukan kembali, berhubungan
kembali
dengan siapa
diri kita. Jadi, saat kita berkata, “Saya berlindung
pada
Buddha,” itu
artinya saya berlindung pada keberanian dan potensi
tanpa takut
yang
membuang semua baju besi yang menutupi kelemahan
saya. Saya
sadar; saya akan
menjalani masa hidup saya untuk menanggalkan
baju besi ini.
Tidak ada orang
lain yang dapat menanggalkannya untukku karena
tidak ada orang
lain yang
tahu di mana letak semua kunci-kuncinya, tidak
ada orang lain
yang tahu
titik mana yang terkunci rapat, di mana diperlukan
tenaga kuat
untuk
melepaskan ikatan besi yang sangat kokoh itu.
Saya mungkin
menghadapi
ritsleting yang dipenuhi gembok sepanjang jalurnya.
Setiap kali
bertemu
dengan naga, saya membuka sebanyak mungkin gembok
yang bisa
saya buka;
akhirnya, saya akan mampu membuka ritsleting
itu. Saya boleh
berkata kepada
anda, “Sederhana saja. Kalau anda bertemu dengan
naga, anda
hanya perlu
membuka gembok, lalu ritsleting anda akan terlepas.”
Dan anda
berkata, “Apa
yang ia bicarakan?” karena anda telah menjahit
tangan kiri anda
dengan
benang besi. Setiap kali bertemu dengan naga,
anda harus
mengeluarkan
senjata khusus, yang telah anda sembunyikan di
dalam sebuah
kotak berikut
semua barang berharga yang anda miliki, untuk
memutuskan ikatan
benang-benang itu, sebanyak yang anda mampu,
hingga anda mulai
muak dengan
merasa takut serta berkata, “Sekarang cukuplah.”
Lalu, anda
mulai menjadi
lebih sadar dan lebih dekat dengan hakekat Buddha
anda, bersama
dengan
Buddha —anda mengerti maksud berlindung pada
Buddha. Kepada
orang yang
kemudian anda temui, anda katakan, “Mudah sekali.
Yang perlu
anda lakukan
hanyalah mengeluarkan senjata dari kotak berharga
anda dan
kemudian
mulailah.” Lalu, mereka melihat ke arah anda
dan berkata, “Apa
yang ia
katakan?” karena mereka mempunyai sepatu boot
besar yang
menutupi tubuh dan
kepala mereka. Satu-satunya cara untuk mulai
melepaskan alas
kaki itu adalah
menanggalkan solnya, dan mereka akan tahu bahwa
setiap kali
mereka bertemu
naga, mereka harus mulai mengupas. Jadi, anda
harus
melakukannya sendiri.
Instruksi dasarnya sederhana: mulailah menanggalkan
baju besi.
Itulah yang
bisa dikatakan setiap orang untukmu. Tidak ada
yang bisa
memberitahu anda
bagaimana melakukannya karena anda adalah satu-satunya
orang
yang tahu
bagaimana awal mula anda mengunci diri dan dari
sanalah anda
memulai usaha
ini.
Berlindung kepada Dharma adalah, secara tradisional,
berlindung
kepada
ajaran-ajaran Sang Buddha. Yah, ajaran-ajaran
Sang Buddha
adalah:
lepaskanlah dan terbukalah pada dunia anda. Sadari
bahwa
mencoba melindungi
wilayah kekuasaan anda, mencoba menjaga wilayah
kekuasaan anda
agar tetap
tertutup dan aman, adalah penuh dengan kesengsaraan
dan
penderitaan. Usaha
ini mengunci anda di dalam sebuah dunia yang
kecil, dangkal,
bau, dan
tertutup, yang membuat anda menjadi semakin takut
terhadap yang
tidak bisa
dilakukan dan semakin membawa penderitaan seiring
dengan
semakin menuanya
anda. Dengan bertambah tua usia anda, semakin
sukarlah
menemukan pintu
keluar. Tatkala berumur dua belas tahun, saya
membaca dalam
majalah “Life”
artikel yang berjudul, “Agama-agama Dunia”. Artikel
mengenai
Konghucu
berbunyi kira-kira seperti ini, “Saat anda mencapai
umur lima
puluh tahun,
jika selama itu anda telah menanggalkan pakaian
besimu
(Konghucu
menyatakannya dengan kata-katanya sendiri), maka
anda telah
memantapkan
suatu pola pikiran bagi sisa hidup anda untuk
tidak akan bisa
berhenti. Anda
akan terus menanggalkan baju besi itu. Namun,
pada usia lima
puluh tahun
itu, jika anda mengenakan baju perang itu dengan
baik, menjaga
ritsleting
anda tetap tertutup rapat, menjaga sepatu boot
itu tetap
dipakai dengan cara
apa pun, maka tidak peduli apa pun yang terjadi,
sukarlah bagi
anda untuk
berubah lagi.” Apakah benar atau tidak, hal ini
membuat saya
ketakutan
setengah mati tatkala berumur dua belas tahun.
Ini menjadi
motivasi utama
dalam hidup saya. Saya bertekad bagaimanapun
juga untuk tumbuh
berkembang
dan tidak terpaku.
Jadi, berlindung pada Dharma --ajaran-ajaran
Sang Buddha--
adalah mengenai
hal-hal ini. Dari sudut pandang yang lebih luas,
Dharma juga
berarti
keseluruhan hidup anda. Ajaran-ajaran Sang Buddha
adalah
mengenai usaha
untuk melepaskan dan menjadi terbuka: anda
menerapkannya pada
saat
berhubungan dengan orang lain, berhubungan dalam
berbagai
situasi,
berhubungan dengan pikiran anda, berhubungan
dengan emosi-emosi
anda. Tujuan
hidup anda bukanlah menghasilkan uang sebanyak
mungkin,
bukanlah menikmati
perkawinan yang sempurna, bukanlah mendirikan
Vihara Gampo. Ini
semua tidak
ada hubungannya. Anda menjalani kehidupan tertentu,
dan dalam
kehidupan apa
pun yang anda jalani, terdapat suatu wahana untuk
bangkit.
Hidup sebagai
seorang ibu yang mengasuh anak, itulah wahana
untuk bangkit.
Hidup sebagai
seorang artis, itulah wahana untuk bangkit. Hidup
sebagai
seorang pekerja
bangunan, itulah wahana untuk bangkit. Hidup
sebagai seorang
pensiunan yang
sedang menjalani hari-hari tua, itulah wahana
untuk bangkit.
Hidup seorang
diri dan kesepian serta berharap untuk mempunyai
teman hidup,
itulah wahana
untuk bangkit. Hidup dalam keluarga besar dan
berharap
mempunyai lebih
banyak waktu luang, itulah wahana untuk bangun.
Apa pun yang
anda miliki,
itulah dia. Tidak ada situasi yang lebih baik
daripada yang
sedang anda
hadapi. Situasi itu tercipta untuk anda. Situasi
itu akan
menunjukkan pada
anda segala sesuatu yang perlu anda ketahui mengenai
tempat
ritsleting anda
tersangkut dan tempat anda bisa melakukan lompatan.
Jadi,
itulah makna
berlindung pada Dharma. Ini berkaitan dengan
menemukan ruang
terbuka, tidak
tertutup oleh baju perang besi.
XIII
PERNYATAAN BERLINDUNG (4)
Berlindung pada Sangha juga sama halnya. Ini tidak
berarti
bahwa kita
bergabung dalam sebuah kelompok dan berteman
baik, membahas
agama Buddha
bersama-sama, memahami dengan penuh kebijakan,
dan mengkritik
orang-orang
yang tidak sepaham dengan kita. Berlindung pada
Sangha berarti
berlindung
pada persamuan orang-orang yang telah mengabdikan
hidup mereka
untuk
menanggalkan baju perang. Jika kita hidup dalam
keluarga yang
semua
anggotanya menanggalkan baju perang, maka salah
satu cara
paling efektif
untuk mempelajari cara melakukannya ialah saling
memberikan
saran dan
berbagi pengalaman, serta hidup dalam kasih sayang
satu dengan
yang lain.
Pada saat seseorang sedih dan mulai terhanyut
dalam perasaannya
itu,
orang-orang akan menegurnya, “Oh, anda sungguh
kasihan,” atau,
“Demi Peter,
tinggalkanlah itu.” Akan tetapi, jika anda sedang
menanggalkan
baju besi
anda dan anda tahu bahwa orang lain juga sedang
melakukannya,
ada suatu cara
bagi anda untuk memberinya hadiah Dharma. Dengan
penuh rasa
simpati dan
kasih sayang, atas dasar pengalaman anda tentang
hal-hal yang
mungkin
dikerjakan, anda memberikan kepada mereka kebijaksanaan
yang
mungkin telah
diberikan orang lain kepada anda saat anda hidup
dalam
kesengsaraan. Anda
memberikan semangat untuk tidak tenggelam dalam
kesedihan,
tetapi
menyadarinya sebagai kesempatan untuk tumbuh,
dan bahwa semua
orang juga
menjalani usaha ini. Dengan perkataan lain, Sangha
adalah
orang-orang yang
melibatkan diri dalam usaha menolong semua orang
untuk
menanggalkan baju
besi mereka, tanpa mendorong mereka untuk tenggalam
dalam
kelemahan
masing-masing dan untuk cenderung mengenakan
baju besi itu.
Apabila kita
melihat seseorang gagal atau dengan keras kepala
berkata,
“Tidak, saya suka
baju besi ini,” ada kesempatan untuk mengatakan
sesuatu tentang
kenyataan
bahwa di dalam baju besi itu terdapat banyak
luka bernanah, dan
secercah
sinar matahari tidak akan melukainya sedikit
pun. Itulah yang
perlu
diperhatikan dalam pernyataan berlindung pada
Sangha.
Menyatakan berlindung pada Tiga Mestika sama
sekali bukanlah
mencari
perlindungan dari sudut pandang konvensional.
Sama halnya
dengan mencari
pulau gersang di tengah samudera setelah kapal
karam --”Wah!
Itu pulau!”--
dan kemudian berdiri di sana menyaksikan pulau
itu lambat laun,
hari demi
hari, tertutup oleh air laut. Berlindung
pada Buddha, Dharma,
dan Sangha
adalah seperti ini.
Pada saat kita menyadari kebutuhan untuk menanggalkan
baju
besi, kita bisa
berlindung dalam kesadaran dan tekad kita untuk
tidak
memakainya lagi
melalui perlindungan pada Buddha. Kita bisa berlindung
pada
ajaran Sang
Buddha dan kita bisa berlindung pada Sangha,
keluarga kita,
orang-orang yang
mengabdikan hidupnya untuk mengikuti ajaran Sang
Buddha, yang
padanya kita
bisa minta dukungan dan saran.
Trungpa Rinpoche memberikan sebuah definisi terhadap
pernyataan
berlindung
yang kemudian dituliskan di majalah dinding kita.
Definisi itu
dimulai
dengan pernyataan umum, “Karena segala sesuatu
adalah
telanjang, bebas dari
ketertutupan, tidak ada yang dicapai atau disadari.”
Akan
tetapi, Rinpoche
melanjutkannya dan membuatnya menjadi lebih jelas.
“Latihan
setiap hari
bertujuan mengembangkan sikap penerimaan dan
keterbukaan
sepenuhnya pada
semua situasi, emosi, dan masyarakat. Penerimaan
dan
keterbukaan sepenuhnya
pada semua situasi, emosi, dan masyarakat, mengalami
segala
sesuatu
sepenuhnya tanpa pembatasan atau pengurungan,
sehingga
seseorang tidak lepas
atau berpusat pada dirinya sendiri.” Itulah sebabnya
kita
berlatih.
XIV
TIDAK
MEMILIH SAMSARA MAUPUN NIRVANA (1)
Pagi ini, saya akan membicarakan kondisi untuk
tidak memilih
samsara atau
pun nirvana. Samsara adalah lingkaran berbisa
kehidupan;
nirvana adalah
lenyapnya kebodohan dan emosi-emosi yang bersengketa,
dan
karenanya
kemerdekaan dari kelahiran kembali di alam samsara.
Banyak
ajaran-ajaran
mahamudra (suatu keadaan di mana semua pengalaman
di
transformasikan ke
dalam pengetahuan transendental dan cara-cara
trampil) tentang
hakekat
pikiran membahas keheningan dan keterlibatan.
Jika anda hendak
mengupas
habis fenomena, yang akan diperoleh adalah keheningan
dan
keterlibatan:
ruang, dan semua yang terus-menerus lahir dari
ruang, dan
kembali ke
ruang --keheningan dan keterlibatan. Kadang-kadang,
itu disebut
latar
belakang dan latar depan. Dalam hal mana pun,
yang akan saya
bicarakan
adalah tidak memilih keheningan maupun keterlibatan,
atau anda
boleh
katakan, tidak lebih menyukai kesibukan samsara
ataupun
keheningan nirvana.
Biasanya ada semacam prasangka. Ada dua macam
penyakit jiwa
manusia. Yang
satu ialah terlalu penuh dengan kecemasan, ketakutan,
dan
harapan, menyukai
dan tidak menyukai, dan semacamnya: pekerjaan,
keluarga,
asmara, rumah,
mobil, uang, liburan, hiburan, gunung, gurun,
Eropa, Meksiko,
Jamaika,
Lubang Hitam Kalkuta, penjara, perang atau damai,
dan
sebagainya. Begitu
banyak di antara kita yang terikat dengan segala
sesuatu yang
terjadi,
terjerat oleh peristiwa seolah-olah terperangkap
dalam pusaran
air. Di dalam
samsara, kita terus berusaha menghindari rasa
sakit dengan cara
mengejar
kenikmatan, dan dalam melakukan hal itu, kita
cuma terus
berputar dan
berputar. Saya begitu panas sehingga membuka
semua jendela,
kemudian saya
kedinginan dan memakai sweater. Lalu, terasa
gatal sehingga
saya oleskan
krim, kemudian terasa lengket, jadi saya mandi.
Lalu, saya
kedinginan
sehingga saya tutupi jendela, dan seterusnya,
dan seterusnya.
Saya kesepian,
lalu saya menikah, kemudian saya selalu bertengkar
dengan suami
atau isteri
saya, karena itu saya mulai terlibat skandal
cinta dengan orang
lain, lalu
suami atau isteri saya mengancam untuk meninggalkan
saya dan
saya terangkap
dalam kebingungan untuk harus berbuat apa, dan
seterusnya, dan
seterusnya.
Kita mencoba keluar dari kuali mendidih untuk
masuk ke dalam
bahan yang
sejuk, selalu mencoba melarikan diri, dan karenanya
tidak
pernah benar-benar
sepenuhnya tenang dan menghargai kehidupan. Itulah
yang disebut
samsara.
Dengan kata lain, bagaimana juga kita memiliki
apriopri
terhadap suatu
peristiwa, jadi kita selalu bergerak dalam kerangka
kerja untuk
mencoba
mendapatkan kenikmatan melalui keyakinan-keyakinan
politis,
filosofi, agama,
dan segala macam hal, mencoba mendapatkan kesenangan
di dalam
semua yang
ada.
Penyakit jiwa yang lain lagi --yang juga sama
umumnya-- adalah
terikat pada
kedamaian dan ketenangan, atau kebebasan, atau
kemerdekaan.
Ketika saya
sedang berjalan-jalan, saya menjumpai beberapa
orang yang
membentuk suatu
kelompok berdasarkan pada kepercayaan bahwa suatu
piring
terbang akan segera
datang dan membawa mereka pergi dari semua ini.
Mereka menunggu
kedatangan
piring terbang itu untuk membebaskan mereka dari
kesemrawutan
bumi ini.
Mereka berbicara tentang bagaimana melampaui
dunia yang
mengerikan ini,
mencapai ruang angkasa, kejernihan, dan kebahagiaan
keadaan
tanpa rintangan,
yang benar-benar bebas. Ketika kapal ruang angkasa
itu membawa
mereka pergi,
mereka akan menuju ke suatu tempat di mana tidak
terdapat
masalah apapun.
Inilah yang juga kita lakukan dengan cara yang
tidak kita
sadari. Jika kita
sedang mengalami peristiwa yang membahagiakan,
kita
menginginkannya untuk
terus berlangsung. Itulah kecanduan, ingin merasa
enak
selamanya, tetapi
biasanya berakhir tidak seperti yang diharapkan.
Namun, itu
adalah penyakit
jiwa yang sangat umum, terjerat oleh keinginan
untuk seperti
itu selamanya,
ingin tinggal di ruang bebas, seperti beberapa
teman saya di
tahun tujuh
puluhan yang memutuskan untuk menelan LSD setiap
hari agar bisa
berada di
alam luar sana untuk selamanya. Kadang-kadang,
keinginan itu
diekspresikan
dengan cara mengatur hidup anda dengan cara sedemikian
rupa
sehingga tenang,
sangat lembut, sangat sederhana; anda menjadi
begitu terikat
padanya
sehingga terus menginginkan kondisinya tetap
seperti itu. Anda
menolak
segala macam suasana yang berisik, seperti banyak
anak-anak
atau anjing yang
berkeliaran ke dalam rumah dan mengacak segala
macam benda. Ada
beberapa
orang yang memiliki pandangan atau pengertian
bahwa hakekat
realita itu luas
dan indah --apa yang kadang-kadang disebut pandangan
luhur--
tetapi kemudian
mereka menjadi tidak puas sama sekali pada kehidupan
biasa.
Pandangan luhur
itu bukan memperkaya hidup mereka, melainkan
pandangan membuat
mereka merasa
lebih miskin sepanjang waktu. Seringkali penyebab
orang-orang
berubah dari
penyakit syaraf menjadi penyakit jiwa adalah
mereka melihat
situasi lapang
dan harmonis serta betapa luasnya segala sesuatu,
dan bagaimana
dunia ini
bekerja, tetapi kemudian mereka bergantung pada
pemahaman itu
sea
bisa belajar berhenti di kala matahari terbenam
dan kala
matahari terbit.
Kita bisa belajar mendengar angin, kita bisa
belajar
memperhatikan bahwa
sedang turun hujan, salju, es batu, atau sedang
cerah. Kita
bisa
menghubungkan diri dengan cuaca, yaitu diri kita
sendiri, dan
kita dapat
menyadari itu sedih adanya. Semakin sedih suatu
peristiwa, akan
semakin
banyaklah pelajarannya; semakin banyak pelajarannya,
akan
semakin terbukalah
hati kita. Kita bisa berhenti berpikir bahwa
peristiwa yang
berjalan mulus
dan tenang adalah baik, dan bahwa peristiwa yang
berlangsung
kasar dan gelap
tidaklah baik. Jika kita mampu memahaminya dalam
hati kita,
kita akan dapat
membuat secangkir teh yang tepat.
XIV
TIDAK MEMILIH SAMSARA MAUPUN NIRVANA (3)
Chogyam Trungpa Rinpoche menyukai ritual. Ia mengambil
dari
semua
aliran --termasuk Tibet, Jepang, dan Inggris--
untuk
menciptakan ritual,
salah satu di antaranya ialah cara memasuki di
dalam ruang
altar. Anda duduk
di dalam ruang sembahyang dan lalu tiba-tiba
anda dengar
derakan tongkat
upacara (gandi), dan bunyi “ping” dari gong kecil,
dan dentang
genderang
besar: “krak”, “ping”, “boom”, “krak”, “ping”,
“boom”. Dengan
semakin
dekatnya bunyi itu, anda tahu bahwa Rinpoche
sedang memasuki
ruangan. Lalu,
muncullah dia, dengan pengiring prosesinya. Ia
baru saja
memasuki ruang
altar untuk memberikan ceramah, tetapi bagaimana
pun, ritual
itu menciptakan
suatu lingkungan di mana ruangan akan terbuka
luas. Anda merasa
seperti
berada di dalam sebuah ruang tanpa batas waktu.
Waktu itu bukan
22 Juni
1989; bukan siang atau malam, atau suatu tanggal
tertentu dalam
kalender,
yang ada hanya ruang. Ia tahu bahwa jika ia menciptakan
semua
suara dan
ritual ini, kita semua akan menarik manfaat dari
pengalaman
tanpa batas
waktu itu.
Nenek moyang kita telah memahami iklim, bahwa
matahari terbit
dan terbenam,
dan tentang bumi, dan mereka menyelenggarakan
upacara untuk
merayakan semua
itu. Dengan demikian, tidak seorang pun yang
bisa melupakan
fakta bahwa kita
semua berhubungan, ritual pubertas, dan semua
perayaan yang
lain dirancang
dengan baik, seperti sebuah tarian yang indah.
Leluhur kita
tahu bagaimana
melakukan semua ini dan mereka menurunkan pengetahuan
tentang
ini, dan
itulah yang disebut dengan silsilah. Rusa Hitam
adalah seorang
suci suku
Indian Sioux di tahun 1880-an, suatu masa di
mana suku tersebut
sedang
berkecil hati, kehilangan semangat, sebagai akibat
cara hidup
mereka, yang
telah menerapkan suatu ikatan rasa saling berhubungan,
sedang
terancam
punah. Namun, kondisinya masih cukup dini sehingga
mereka belum
kehilangan
total. Pada waktu berusia sembilan tahun, ia
melihat kuda-kuda
berdatangan
dari empat penjuru. Di satu arah kuda-kuda itu
berwarna putih,
di arah yang
lain berwarna merah bata, di arah yang lain lagi
berwarna
kuning, dan
satunya lagi berwarna hitam. Bersama kuda-kuda
itu, datang
gadis-gadis yang
membawa barang suci, dan kakek-kakek yang menyanyikan
ramalan.
Masing-masing
arah memiliki simbol ritualnya sendiri. Ia tidak
menceritakan
penglihatannya
pada siapa pun karena ia yakin tidak akan ada
orang yang
mempercayainya
nanti. Akan tetapi, ketika ia berumur tujuh belas
tahun, ia
merasa ia agak
gila, jadi akhirnya ia mengungkapkannya pada
dukun, yang segera
mengerti dan
berkata, “Kita harus melakukan sesuatu.” Mereka
melakukan
semuanya, mencat
tubuh mereka seperti yang tampak dalam penglihatannya
itu.
Ketika menginjak unur dua puluh tahun, segalanya
telah
bercerai-berai. Ia
akhirnya bergabung dengan kelompok Pertunjukan
Barat Liar
Buffalo Bill,
dengan orang-orang Indian yang lain. Mereka dibawa
dengan
“kapal api” ke
Eropa untuk mengadakan sebuah pertunjukan di
London bersama
semua kuda dan
pakaian Indian mereka. Satu malam, Ratu Victoria
datang
menyaksikan
pertunjukan itu. Nah, anda tentu tidak mengira
ada persamaan
antara Rusa
Hitam, seorang Oglala Sioux dari benua Amerika
di tahun 1886,
dengan Ratu
Victoria, tetapi di malam itu tidak ada orang
lain yang datang
--cuma Ratu
Victoria dengan kendaraan dan pengiringnya yang
berkilau-kilauan. Tatkala
pertunjukan usai, ia bangkit dan berjabat tangan
dengan semua
pemain. Rusa
Hitam benar-benar menyukainya. Lalu ia menghormat
pada mereka,
dan mereka
begitu terkesan padanya dan pada pembawaannya,
sehingga para
perempuan
melakukan apa yang disebut tremolo dan para lelaki
bersorak-sorai, lalu
mereka semua memberi hormat padanya. Rusa Hitam
menjulukinya
sebagai “Nenek
Inggris”. Ia begitu agung dan ramah. “Ia kecil
dan gemuk, dan
ia baik
terhadap kita.” Sebulan kemudian, ia mengundang
mereka ke pesta
ulang tahun
pernikahannya yang ke dua puluh lima. Seperti
yang ia
ceritakan, ketika ia
dan orang-orang Indian lainnya tiba di bangunan
yang besar itu,
setiap orang
berteriak, “Jubilee! Jubilee! Jubilee!” Rusa
Hitam mengatakan
ia masih belum
tahu apa artinya itu, tetapi kemudian ia mampu
memahami apa
yang dilihatnya.
Pertama-tama, dalam kereta kuda emasnya, datang
Ratu Victoria,
semua kudanya
diselimuti dengan emas dan pakaiannya menyala-nyala
keemasan.
Lalu, dalam
kereta hitam dengan kuda hitam, datang cucu-cucu
Ratu, dan
dalam kereta
hitam dengan kuda abu-abu, datang sanak keluarganya.
Ia
menggambarkan semua
kereta dan semua kuda itu, lalu semua orang tiba
dalam pakaian
yang indah,
datang dengan menunggang kuda hitam berjambul.
Keseluruhan
perayaan itu
memberi kesan pada mereka. Ia mengatakan bahwa
sebelum perayaan
itu, ia
merasa seperti seseorang yang belum pernah memiliki
suatu
penglihatan, namun
dengan melihat semua kemegahan dan keindahan
itu, ia
berhubungan kembali
dengan hatinya. Tatkala Ratu Victoria dengan
kereta kuda
emasnya melewati
orang-orang Indian, ia meminta keretanya berhenti
dan ia
berdiri serta
memberi hormat lagi pada mereka. Sekali lagi,
mereka
melemparkan semua
peralatan ke udara, bersorak-sorai, dan bergembira
ria
melakukan tremolo,
dan lalu mereka beryanyi untuk Nenek Inggris.
Hal itu
menggembirakan hati
mereka.
Ritual bisa berupa Ratu Inggris atau orang Indian
itu. Ini,
bagaimana pun,
telah melampaui batasan waktu dan ruang. Dalam
segala kasus,
saya pikir
selalu ada hubungan antara bercokolnya kesedihan
dan keperihan
samsara di
dalam hati anda, dan pada waktu yang bersamaan,
merasakan
perwujudan dan
kekuatan Matahari Timur Agung. Seluruh hidup
kita bisa menjadi
ritual. Kita
bisa belajar berhenti di kala matahari terbenam
dan kala
matahari terbit.
Kita bisa belajar mendengar angin, kita bisa
belajar
memperhatikan bahwa
sedang turun hujan, salju, es batu, atau sedang
cerah. Kita
bisa
menghubungkan diri dengan cuaca, yaitu diri kita
sendiri, dan
kita dapat
menyadari itu sedih adanya. Semakin sedih suatu
peristiwa, akan
semakin
banyaklah pelajarannya; semakin banyak pelajarannya,
akan
semakin terbukalah
hati kita. Kita bisa berhenti berpikir bahwa
peristiwa yang
berjalan mulus
dan tenang adalah baik, dan bahwa peristiwa yang
berlangsung
kasar dan gelap
tidaklah baik. Jika kita mampu memahaminya dalam
hati kita,
kita akan dapat
membuat secangkir teh yang tepat.
BAB XV
DHARMA
YANG DIAJARKAN DAN DHARMA YANG DIALAMI (1)
Secara tradisional, ada dua cara mengungkapkan
ajaran-ajaran
Sang Buddha:
dharma yang diajarkan dan dharma yang dialami.
Dharma yang
diajarkan telah
ditampilkan secara terus-menerus dalam buku-buku
dan
ceramah-ceramah dengan
cara yang murni dan segar sejak jaman Sang Buddha.
Walaupun
semuanya berasal
dari India, dalam masa, ruang, dan kebudayaan
yang sangat
berbeda dari yang
kita alami sekarang, saripati ajaran itu mampu
menyebar hingga
ke Asia
Tenggara, Jepang, Cina, Korea, Vietnam dan Tibet
--ke semua
tempat di mana
agama Buddha telah berkembang-- oleh orang-orang
yang dapat
mengekspresikan
segala yang telah diajarkan kepada mereka. Hingga
saat ini,
terdapat begitu
banyak buku-buku yang menguraikan tentang ajaran-ajaran
dasar;
anda bisa
membaca buku karangan Joseph Goldstein, Ayya
Khema, Suzuki
Roshi, Chogyam
Trungpa, Tarthang Tulku, atau hasil-hasil
terjemahan Herbert
Guenther.
Dengan begitu banyak cara, anda bisa membaca
dan mendengarkan
ajaran, dan
kesemuanya mempunyai ciri khas yang berbeda-beda.
Namun, anda
akan menemukan
bahwa jika anda memilih salah satu tema dari
buku-buku itu,
seperti Empat
Kebenaran Mulia, kesunyian, atau welas asih,
semuanya akan
berisi hal-hal
yang sama, berdasarkan gaya dan latar belakang
mereka
masing-masing.
Ajaran-ajaran itu sama dan intisarinya juga.
Dharma yang diajarkan itu seperti permata-permata
yang
berharga. Bagaikan
bodhicitta, permata itu dapat ditutupi debu,
namun tidak
berubah oleh karena
debu. Ketika ada orang yang mengeluarkan permata
itu di tempat
yang terang
dan menunjukkannya pada semua orang, permata
itu akan
membangkitkan getaran
dalam hati dan batin orang-orang yang melihatnya.
Ajaran-ajaran
itu juga
seperti lonceng emas indah yang tersembunyi dalam
sebuah gua
yang dalam dan
gelap; jika ada orang yang membawanya ke luar
dan
membunyikannya,
orang-orang akan dapat mendengar bunyinya. Itulah
dharma yang
diajarkan.
Secara tradisional, disebutkan bahwa dharma dapat
diajarkan,
tetapi
seseorang harus mempunyai telinga untuk bisa
mendengarnya. Di
sini,
diberikan perumpamaan tiga pot. Jika anda seperti
pot dengan
lubang besar di
bawahnya, maka dharma yang masuk hanya akan mengalir
ke luar
dengan segera.
Jika anda seperti pot dengan ada racun di dalamnya,
dharma
menjadi
terkontaminasi dan akan menjadi racun pula. Dengan
kata lain,
jika anda
penuh dengan keresahan dan kepahitan, anda bisa
mengkajinya
agar sesuai
dengan kepahitan dan kegelisahan anda. Jika pot
itu dibalikkan,
tidak ada
yang bisa dimasukkan ke dalam pot itu. Anda harus
sadar dan
terbuka untuk
mendengarkan dharma yang diajarkan.
Dharma yang dialami bukanlah dharma yang berbeda,
walaupun
kadang-kadang
terasa cukup berlainan. Pengalaman yang umum
adalah tatkala
anda
mendengarkan ajaran, ajaran itu menjalar ke dalam
hati dan
batin anda, dan
anda merasa terilhami olehnya, tetapi anda tidak
bisa
mengetahui kaitannya
dengan kehidupan anda sehari-hari. Ketika tekanan
muncul, anda
kehilangan
pekerjaan, atau orang yang anda kasihi
meninggalkan anda, atau
sesuatu yang
lain terjadi dan emosi anda menjadi liar dan
tidak
terkendalikan, anda tidak
dapat mengetahui apa kaitannya dengan Empat Kebenaran
Mulia.
Rasa sakit
begitu hebat sehingga Empat Kebenaran Mulia tampak
sebagai
sesuatu yang
menyedihkan. Trungpa Rinpoche suatu kali pernah
berkata bahwa
dharma harus
dialami karena ketika sifat sejati hidup kita,
termasuk di
dalamnya
rintangan, masalah, dan pengalaman-pengalaman
yang membuat kita
mulai
bertanya-tanya, muncul semakin jelas, sekedar
kepercayaan
filosofis tidak
akan mampu menjelaskan realita atas apa yang
sedang kita alami.
BAB XV
DHARMA YANG DIAJARKAN DAN DHARMA YANG DIALAMI
(2)
Apa yang akan anda temukan jika senantiasa mempelajari
dharma
dan
mempraktekkan meditasi adalah bahwa tidak ada
sesuatu pun yang
telah pernah
anda dengar tetapi terpisah dari hidup anda.
Dharma adalah
studi tentang
kenyataan segala sesuatu, dan satu-satunya cara
untuk dapat
menemukan
keadaan yang sebenarnya adalah dengan mempelajari
diri anda.
Guru Zen,
Dogen, berkata, “Mengenali diri anda berarti
melupakan diri
anda, dan jika
anda telah melupakan diri Anda, maka anda menjadi
cerah oleh
segalanya.”
Mengenali diri anda atau mempelajari diri anda
sendiri hanyalah
berarti
bahwa hidup anda adalah suatu pengalaman gembira,
pengalaman
sedih,
pengalaman sembuh dan segar, pengalaman sakit.
Itulah yang kita
punyai dan
itulah yang kita perlukan untuk mendapatkan pengalaman
yang
hidup atas
dharma --untuk menyadari bahwa dharma dan hidup
kita adalah
sama.
Saya terperanjat membaca kutipan pada papan pengumuman
kemarin,
bunyinya,
“Latihan sehari-hari hanyalah untuk mengembangkan
sikap
penerimaan dan
keterbukaan sepenuhnya terhadap semua situasi,
emosi, dan
masyarakat.” Anda
membacanya, anda mendengarnya, dan mungkin saya
bahkan telah
membicarakannya, tetapi pada dasarnya, apakah
maknanya? Tatkala
membacanya,
anda seperti mengetahui apa artinya, tetapi ketika
anda mencoba
melakukannya, usaha anda kelihatan bertentangan
dengan
pernyataan itu, maka
pandangan awal anda atas makna tersebut akan
buyar; anda
menemukan sesuatu
yang segar dan baru yang belum pernah anda sadari
sebelumnya.
Pengalaman
pribadi akan dharma berarti hidup dengannya,
mengujinya,
berusaha menemukan
apa arti sesungguhnya dalam hal anda kehilangan
pekerjaan,
ditinggal
kekasih, sekarat karena penyakit kanker. “Terbukalah
dan
terimalah semua
situasi dan masyarakat.” Bagaimana anda melakukannya?
Barangkali ini adalah
nasihat terburuk yang pernah diberikan pada anda,
tetapi anda
harus
menemukan caranya sendiri.
Seringkali kita mendengar ajaran-ajaran itu dengan
sikap
subyektif sehingga
kita berfikir bahwa kita sedang diberitahu sesuatu
yang benar
dan sesuatu
yang salah. Akan tetapi, dharma tidak pernah
mengatakan kepada
anda mana
yang benar dan mana yang salah. Dharma hanya
mendorong anda
untuk menemukan
sendiri. Namun, karena kita harus menggunakan
kata-kata, kita
membuat
pernyataan. Misalnya, kita katakan, “Latihan
sehari-hari
hanyalah untuk
mengembangkan sikap penerimaan dan keterbukaan
sepenuhnya atas
semua
situasi, emosi, dan masyarakat.” Ini kedengaran
seperti apa
sesuatu yang
benar dan jika tidak melakukannya, berarti kita
salah. Akan
tetapi, itu
bukan maksudnya. Yang dimaksudkan di sini adalah
mendorong anda
menemukan
sendiri mana yang benar dan mana yang salah.
Cobalah hidup
dengan cara itu
dan lihat apa yang terjadi. Anda akan berhadapan
dengan semua
keraguan,
ketakutan, dan harapan, dan anda akan bergumul
dengan itu
semua. Tatkala
anda mulai hidup dengan cara itu, dengan bertanya,
“Apa makna
peristiwa ini
yang sesungguhnya?”, anda akan menemukan bahwa
hidup cukup
menarik. Tidak
berapa lama kemudian, anda akan lupa bahwa anda
sedang
bertanya-tanya; anda
cuma berlatih meditasi atau anda cuma menjalani
hidup, dan
kemudian anda
memiliki suatu pemahaman, yang artinya anda mempunyai
pandangan
segar atas
apa yang benar. Pemahaman itu datang dengan tiba-tiba,
seolah-olah anda
sedang berkeliaran di dalam kegelapan dan seseorang
menghidupkan semua lampu
dan menunjukkan sebuah istana. Anda katakan,
“Wow! Ini sudah
ada di sini
sejak dulu juga.” Akan tetapi, pemahaman itu
sangat sederhana;
tidak selalu
“Wow!” Ini seolah-olah dalam sepanjang hidup
anda, ada setumpuk
bubuk putih
di atas meja anda, namun anda tidak tahu apakah
benda itu. Anda
agak takut
untuk menyelidiki. Mungkin itu LSD, kokain, atau
racun tikus.
Suatu hari,
anda membasahi tangan anda. Anda menyentuh tumpukan
putih itu
dengan jari,
lalu mengecapnya, dan astaga, rupanya garam.
Tidak ada orang
lain yang
mengatakan pada anda apa sebenarnya benda itu
--begitu jelas,
begitu
sederhana, begitu jernih. Jadi, kita semua mempunyai
pemahaman.
Saya kira
semua pembicaraan ini adalah suatu kegiatan berbagi
pengertian.
Seolah-olah
kita telah menemukan sesuatu yang belum pernah
diketahui orang
lain,
walaupun begitu mudah dan sederhana.
Anda tidak pernah bisa menyangkal dharma yang
dialami karena
dharma ini
begitu mudah dan benar. Namun, menempuh jalan
di antara dharma
yang
diajarkan dan dharma yang dialami menyangkut
ijin pada diri
anda dan
mendorong diri anda untuk tidak selalu percaya
atas apa yang
sudah diajarkan
pada anda, namun senantiasa mempertanyakannya.
Yang perlu anda
lakukan
adalah hidup dengan demikian dan ini akan menjadi
jalan anda.
Kutipan di
atas papan pengumuman itu berlanjut dengan pernyataan
bahwa
Jalan untuk
melakukan ini adalah menjadi bersikap terbuka
dan jangan
sekali-kali menarik
diri. Jangan berpusat pada diri anda. Ini bukan
sebuah kata
mutiara yang
manis, tetapi ajaran paling mendalam yang diletakkan
dengan
cara yang
seakan-akan sederhana. Anda boleh berpikir, “Oh
ya, jangan
menarik diri,
baiklah, tetapi apa artinya.” Tentu saja, ini
tidak berarti
bahwa apabila
anda menarik diri, berarti anda jahat; anda telah
diajarkan
tentang maitri,
kasih sayang, sikap tidak menghakimi, dan sikap
untuk menerima
diri sendiri,
tidak takut menjadi diri anda. Anda mengerti
apa yang saya
maksudkan? Dalam
“Zen Mind, Beginner’s Mind”, Suzuki Roshi berkata
bahwa ia
menerima sepucuk
surat dari salah satu muridnya yang mengatakan,
“Roshi
terhormat, Anda
mengirimkan kepada saya sebuah kalender dan setiap
bulan ada
pernyataannya
yang bagus sekali, namun saya belum memahami
pernyataan yang
ada hingga
bulan Februari, dan saya merasa bahwa saya tidak
hidup sesuai
dengan
pernyataan-pernyataan itu”. Suzuki Roshi tertawa
atas kenyataan
bahwa
orang-orang menggunakan dharma untuk membuat
diri mereka merasa
bodoh. Atau
orang yang mempunyai daya tangkap secara konsep
yang baik akan
dharma
menggunakan kemampuannya untuk menjadikan dirinya
angkuh dan
sombong. Jika
anda merasa diri anda salah paham terhadap ajaran,
ajaran itu
sendiri akan
selalu menunjukkan pada anda di mana anda telah
menyimpang. Ini
berarti,
dharma itu bagaikan jaring tanpa jahitan yang
membuat kita
tidak mampu
melepaskan diri darinya.
BAB XV
DHARMA YANG DIAJARKAN DAN DHARMA YANG DIALAMI
(3)
Dharma harus benar-benar di bawa ke dalam hati,
bukan cuma
digunakan sebagai
suatu cara untuk merasa nyaman dan aman atau
untuk terus
melanjutkan
kebiasaan memuaskan diri atau kebiasaan berjuang
untuk
kesempurnaan. Pada
awalnya, anda mungkin menggunakan dharma seperti
cara anda
menggunakan yang
lain-lain, tetapi kemudian, karena itu adalah
dharma, anda akan
merasakan
bahwa dharma itu sedang anda manfaatkan untuk
memuaskan diri
atau untuk
menjadi seorang yang perfeksionis --”Astaga!
Saya telah
menggunakannya untuk
mengubah dunia menjadi menyenangkan dan terang
atau membuatnya
menjadi
tempat yang keras dan sengsara.”
Trungpa Rinpoche memberitahu kita bahwa seperti
kebanyakan
tulku (seseorang
yang merupakan inkarnasi dari guru yang telah
mencapai
pencerahan)
menunjukkan sifat kebatinan guru tersebut, ia
dibesarkan dengan
peraturan
yang sangat ketat. Ia dipukul jika melakukan
sesuatu yang tidak
dianggap
tepat untuk seorang tulku, dan ia harus belajar
sangat keras.
Ia katakan
bahwa ia anak yang sengsara sehingga sering dihukum,
tetapi ia
pun cukup
cerdas dan agak bangga atas dirinya sendiri.
Gurunya tidak
pernah memujinya;
mereka selalu memarahinya dan menyuruhnya bekerja
lebih keras
lagi. Biarpun
begitu, ia bisa mengatakan bahwa mereka cukup
terkesan dengan
kecemerlangannya. Ketika tiba waktunya bagi ia
untuk
mengunjungi guru-nya,
Jamgon Kongtrul dari Sechen, untuk menguji pelajarannya,
ia
tidak bisa
menunggu lagi untuk menunjukkan pengetahuan dan
kecerdasannya.
Waktu itu
pagi hari dan cahaya masuk melalui jendela menyinari
wajah
Jamgon Kongtrul.
Rinpoche duduk di sebelahnya. Jamgon Kongtrul
sangat hening
untuk sesaat,
dan akhirnya ia berkata, “Sekarang, coba katakan
padaku apa
yang anda
ketahui tentang enam paramita.” (Enam paramita,
atau
“kesempurnaan” adalah
kemurahan hati, disiplin, kesabaran, semangat,
meditasi, dan
pengetahuan)
Rinpoche, dengan penuh percaya diri, menguraikan
semuanya
berikut segala
referensinya dan semua penjelasan berbeda dari
guru-guru yang
berlainan.
Setelah semuanya telah selesai disebutkan, Jamgon
Kongtrul
berdiam diri
lagi, lalu berkata, “Tapi, apa yang kamu rasakan
tentang semua
itu?” Agak
tertegun, Rinpoche berkata, “Apa masalahnya dengan
apa yang
saya rasakan
mengenai itu? Inilah yang selalu diajarkan dan
telah diajarkan
seperti ini
sejak pertama kali dibabarkan dan begitulah adanya.”
Jamgon
Kongtrul
katakan, “Baik sekali untuk mengetahuinya secara
intelektual,
tetapi apa
yang kamu rasakan mengenainya? Apa pengalaman
anda atas semua
ini?” Rinpoche
berkata bahwa itulah cara Jamgon Kongtrul selalu
mengajarnya.
Ia selalu mau
tahu pengalamannya mengenai disiplin, atau kemurahan
hati, dan
sebagainya.
Itulah apa yang ditanamkan Jamgon Kongtrul di
dalam diri
Rinpoche.
Dalam hal dharma yang diajarkan, Trungpa Rimpoche
mendengarnya
dengan sangat
baik dan jelas. Hidupnya sendiri banyak dihabiskan
untuk
mempelajarinya, dan
ia selalu menghendaki kita mempelajarinya. Akan
tetapi, ia
paling banyak
menekankan agar orang-orang mencari makna sebenarnya
dan tidak
cuma menerima
pendapat orang lain tanpa mempertanyakannya.
Tatkala Rinpoche
berbicara
tentang sila, misalnya, ia menerangkannya dengan
sangat baik,
anda boleh
menghafal dua ratus lima puluh atau tiga ratus
sila di luar
kepala berikut
semua referensinya, tetapi yang terpenting adalah
anda bisa
mendapatkan
makna sejati dari sila. Misalnya saja, anda tahu
sila pertama
adalah jangan
membunuh, dan anda barangkali tahu bagaimana
sila ini bisa ada,
dan anda
mungkin tahu logika bahwa membunuh akan
menambah keresahan ego
dan bahwa
menaati sila ini akan memotong rantai sebab dan
akibat --anda
mungkin
mengetahui semuanya, tetapi pertanyaannya adalah,
ketika nafsu
untuk
membunuh muncul, mengapa anda ingin membunuh?
Apa yang
sebenarnya terjadi?
Dan apa manfaat jika tidak membunuh? Apa yang
dilakukan
pengendalian diri?
Apa yang anda rasakan tatkala menahan diri? Apa
yang
diajarkannya?
Demikianlah cara Rinpoche dilatih, dan dengan
cara itu pulalah
ia melatih
kita.
Dharma yang diajarkan dan dharma yang dialami
adalah deskripsi
tentang
bagaimana cara hidup, bagaimana menggunakan hidup
anda untuk
membangunkan
diri anda, bukan meninabobokannya. Dan jika anda
memilih untuk
menghabiskan
hidup anda dengan berusaha menemukan apa artinya
bangun dan apa
artinya
tidur, saya pikir anda bisa mencapai pencerahan.
BAB XVI
BERPIJAK
PADA SEBUAH PERAHU
Kala berkeliling dan berjumpa dengan begitu banyak
orang dari
begitu banyak
latar belakang budaya maupun non-budaya yang
berbeda-beda, yang
saya temukan
adalah, bahwa untuk masuk lebih dalam, harus
ada semacam usaha
sepenuh hati
pada kebenaran atau berusaha untuk mau mencari,
mau mencari apa
itu ngedon,
atau makna sejati. Oleh karenanya, jika anda
hendak
mendengarkan Dharma,
anda bisa mendengarnya dari banyak tempat yang
berbeda, namun
anda tidak
berusaha aktif sebelum anda bisa menemukan suatu
cara tertentu
yang
berdering di hati anda dan anda memutuskan untuk
mengikutinya.
Kemudian anda
menjalin hubungan dengan silsilah ajaran tertentu
itu dan
aliran kebijakan
tertentu itu. Setiap agama, kepercayaan filosofis,
atau
kelompok keagamaan
memiliki kebijakan tertentu yang dibawa serta
digalinya.
Pokoknya, sungguh
baik untuk berpijak pada sebuah perahu, apapun
jenis perahu
itu, karena jika
tidak, pada saat terluka sedikit saja anda sudah
akan pergi dan
mencari yang
lain.
Baru-baru ini saya diminta untuk mengisi acara
program akhir
pekan dalam
suatu supermarket kebatinan suatu kelompok keagamaan.
Tempatnya
seperti
sebuah mall, dengan sekitar tujuh puluh jenis
barang yang
dijajakan. Ada
sebuah poster besar, semacam pengumuman di kampus,
yang
menyatakan,
Kebijakan Dasar, kamar 606; Perjalanan Antar
Bintang, kamar
609; Kerendahan
Hati, kamar 666; dan sebagainya. Saya termasuk
salah satu yang
ditawari di
sana. Orang yang anda temui di tempat parkir,
atau kala makan
siang akan
berkata, “Jadi, apa yang anda pilih minggu ini?”
Sangat
menarik, karena
sudah lama saya tidak menemukan yang seperti
ini. Dulu saya
pernah
mengikutinya; untuk berhenti dari kegiatan ini,
saya harus
mendengarkan
Rinpoche yang mengatakan bahwa berbelanja pada
dasarnya selalu
untuk mencari
rasa aman, selalu berusaha untuk merasakan diri
anda baik.
Ketika seseorang
berpijak pada sebuah perahu, apapun jenis perahu
itu, maka
orang mulai
menempuh perjalanan ksatria yang sesungguhnya.
Jadi, itulah
yang saya
rekomendasikan. Saya khususnya hendak menyatakan
bahwa karena
seperti yang
telah anda perhatikan, pada titik ini saya sendiri
bersikap
bebas dalam
memilih referensi dan hal-hal yang mengilhami
saya, yang
memberi kesan pada
anda bahwa anda boleh pergi mengikuti kelompok
Tarian Matahari
di suatu
akhir pekan dan kemudian bergabung dengan kelompok
Thich Nhat
Hanh pada
akhir pekan berikutnya, lalu ke Lokakarya Krishnamurti.
Pada
dasarnya, saya
tidak mendorong anda untuk bersikap seperti itu.
Yang terbaik
adalah
menekuni suatu bidang dan biarkan bidang itu
membantu anda
menjalani
perubahan. Pada saat anda telah benar-benar berhubungan
dengan
saripatinya,
dan anda sedang berada dalam perjalanan, segala
sesuatu akan
berbicara
kepada anda dan segala sesuatu akan mengajari
anda. Anda tidak
merasa
sebagai seorang yang berbangga diri lagi, namun
anda juga
mengetahui bahwa
wahana anda itu adalah yang sesuai untuk anda.
Cara yang digunakan Trungpa Rinpoche untuk melatih
murid-muridnya merupakan
gabungan antara aliran Kagyu dan Nyingma dari
agama Buddha
Tibet. Ketika
pertama kali datang ke Amerika Utara dan mulai
mengajar, ia
benar-benar
menyukai apa yang ia temukan di sana. Ia melihat
bahwa
murid-muridnya tidak
mengetahui apa pun. Ia membandingkan mereka dengan
sekumpulan
kuda liar atau
sebuah kandang yang penuh dengan anak anjing
yang lucu-lucu.
Mereka adalah
anak-anak muda yang terbuka, energik dan polos,
kebanyakan di
antara mereka
“drop out” dan berambut panjang serta berjenggot,
tanpa baju,
tanpa sepatu.
Ia menyukainya karena itu adalah lahan yang sangat
subur. Di
Inggris, di
mana ia bertemu dengan kaum terpelajar Barat,
orang-orang yang
tertarik pada
agama Buddha adalah kaum terpelajar Buddhis yang
tidak mampu
mendengarkan
dharma karena mereka tidak mampu melepaskan gagasan-gagasan
mereka. Itulah
rintangan mereka, yang ia, saya yakin menikmatinya.
Rintangan
di Amerika
Utara adalah materialisme kebatinan. Ia memberikan
banyak
ceramah di
waktu-waktu awal itu yang berhubungan dengan
pertanyaan ini;
beberapa bab
pertama dari bukunya “Cutting Through Spiritual
Materialism”
(Memutuskan
Materialisme Kebatinan) menyampaikannya dengan
sangat jelas.
Saya hendak
mengatakan bahwa untuk empat atau lima tahun
secara praktis
ajaran yang
diberikan Rinpoche dalam banyak bentuk yang berbeda-beda,
dengan berbagai
judul, adalah “Berhentilah berbelanja ke mana-mana
dan
menetaplah serta
selamilah suatu aliran kebijakan.” Ia mengajarkan
bahwa
berpindah ke
mana-mana dalam hal kebatinan hanyalah bentuk
lain dari
materialisme.
Mencoba mendapatkan kenyamanan, mencoba mendapatkan
rasa aman,
sementara
jika anda berpijak pada satu perahu dan mulai
mendalaminya, ia
akan membawa
anda melalui banyak perubahan. Anda akan bertemu
dengan
naga-naga anda; anda
akan terus didorong untuk keluar dari sangkar.
Aliran itu akan
menjadi
upacara inisiasi yang besar, dan kebijakan besar
akan datang
darinya,
pertumbuhan dan perkembangan kebatinan yang asli.
Hidup
seseorang akan tidak
akan sia-sia. Ia menekankan bahwa murid-muridnya
harus berhenti
berkeliaran
dalam bidang kebatinan untuk menjadi kuat, tinggi,
atau sakti.
Ia sangat
sinis dan menolak segala macam “perjalanan”,
beginilah ia
menyebutnya, anda
bisa membayangkan perjalanan di Amerika Utara
di tahun 1970.
Banyak di
antara kita tidak perlu membayangkannya. Kita
mengingat dengan
baik --kita
ini kelinci percobaan!