Jangan Menyepelekan Rasa IRI HATI
Jakarta, Minggu
Kirim Teman | Print Artikel
PASANGAN Ayu (47) dan Krisna (49) kini bisa tersenyum kalau mengenang hubungan dua dari tiga anak mereka. Namun, belasan tahun lalu, mereka sempat khawatir pada rasa iri hati berlebihan yang dirasakan salah seorang anak mereka.
KETIKA itu anak kedua mereka, Rika, berusia tujuh tahun. Dia sebetulnya cerdas, tetapi di sisi lain dia juga tampak sangat tak mau kalah dari si sulung, Dita, yang kala itu umurnya 12 tahun.
"Mula-mula kami mengira itu sifat yang biasa pada anak-anak. Itu fase egois yang biasa dialami anak-anak. Tapi, bukannya fase itu seharusnya terjadi pada anak berusia tiga sampai empat tahun?" Ayu mengenang kecurigaannya kepada Rika yang kini berusia 20 tahun.
Ketika mereka amati bahwa sifat iri hati Rika terhadap Dita berkelanjutan, Ayu dan Krisna mulai panik. "Kadang-kadang kecemburuannya enggak masuk akal," ujar Ayu.
Suatu hari, misalnya, Dita mendapat oleh-oleh krayon dari temannya yang baru pulang berlibur. Dita memberitahukan ibunya tentang hadiah tersebut. Rika yang mendengar langsung merebut krayon dari tangan Dita dan membuangnya dengan kasar. Dita nyaris membalas kelakuan adiknya dengan ancang-ancang hendak memukul. Beruntung refleks Ayu bekerja baik sehingga perkelahian fisik di antara kakak-beradik itu bisa dihindari.
"Kali lain, nilai rapor Dita sangat bagus, dia mendapat ranking dua di kelas. Kami sendiri tidak pernah menganjurkan anak-anak berlomba mendapat ranking. Kami hanya ingin mereka berkembang seimbang antara kemampuan intelektual dan empatinya," kata Ayu.
Sementara Rika mendapat ranking tiga. Nilai rapor Rika bahkan lebih bagus dari Dita ketika ia seusia Rika. Hanya karena urusan nilai rapor ini, Rika bisa amat kesal, dia bahkan sampai hendak merusak barang-barang milik Dita. "Saya tidak bisa bersikap keras pada Rika karena dia lahir prematur, belum cukup umur. Ketika bayi dia sakit-sakitan," ujar Ayu. Oleh karena itu, orangtuanya cenderung lebih memperhatikan Rika dibandingkan dengan kedua saudaranya.
Ayu dan Krisna merasa tak mampu menangani Rika sehingga mereka memutuskan untuk berkonsultasi dengan psikolog. "Mula-mula kami datang sendiri. Baru kemudian Rika pergi bersama kami. Itu pun kami tidak bilang ke dia kalau kita pergi menemui psikolog. Saya bilang, teman Mama mau ngajak ngobrol Rika," kata Ayu. Selama beberapa bulan Rika menjalani terapi.
Setelah beberapa waktu tampak perubahan pada sikap Rika, terutama terhadap Dita. Rika tampak lebih tenang, tidak banyak bicara, tak kerap marah-marah, dan bisa asyik dengan kegiatannya sendiri. Hubungannya dengan Dita juga membaik, meski tidak seakrab dengan adik laki-lakinya yang berselisih usia dua tahun dari dia.
Setelah melewati masa remaja, Rika tumbuh menjadi pribadi yang tenang, lembut, penolong, dan penuh empati. "Sifatnya yang dulu sama sekali tidak ada bekasnya. Saya tidak bisa menyalahkan Rika sepenuhnya. Iri hati itu muncul karena kami tanpa sadar juga mendorong Rika untuk selalu menang. Kami terlalu memanjakannya mengingat dia sakit-sakitan," ujar Ayu.
SIKAP iri hati di antara saudara sekandung memang biasa terjadi dengan kadar yang amat bervariasi. Adriana S Ginanjar, pengajar di bagian Psikologi Klinis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia mengatakan, hal itu bisa terjadi karena berbagai faktor. Di antaranya sikap orangtua yang pilih kasih, persepsi anak bahwa mereka telah diperlakukan tidak adil, atau perbedaan umur yang relatif jauh.
Iri hati biasanya muncul justru lewat hal-hal yang dianggap "kecil". Misalnya, si sulung berusia 12 tahun hingga orangtuanya memberi dia uang saku Rp 5.000 per hari, sementara si bungsu yang berusia tujuh tahun menurut pertimbangan orangtua tak terlalu memerlukan uang saku sebab sekolahnya lebih dekat dengan rumah dan dia juga tak punya kegiatan sesibuk kakaknya.
"Si adik juga bisa kesal karena orangtua suka bertanya soal pelajarannya, sementara si kakak dibebaskan sebab orangtua menganggapnya sudah bisa bertanggung jawab. Sebaliknya, si kakak bisa iri hati juga kepada adiknya karena orangtua masih suka memeluk dan menolong si adik, sedangkan si kakak merasa tidak lagi diperhatikan," Adriana menuturkan.
Walaupun iri hati di antara saudara sekandung bisa disebut wajar, iri hati yang berlebihan bisa berakibat buruk. Menurut Adriana, iri hati saat masa kecil yang dibawa terus hingga mereka dewasa tak hanya membuahkan hubungan saudara yang tidak harmonis, tetapi lebih jauh lagi bisa menyebabkan persaingan yang tak sehat seperti fitnah sampai berebut harta warisan.
"Begitu menyadari iri hati si anak sudah berlebihan, orangtua harus mencari tahu penyebabnya dan berusaha mengatasinya. Jangan biarkan rasa iri hati itu berlarut-larut. Gejalanya antara lain, anak suka protes, ngambek, ada perubahan sikap dan tingkah laku," kata Adriana.
Anak tunggal sampai usia lima tahun dan selebihnya punya kecenderungan iri hati pada adiknya yang lahir dengan beda umur yang banyak. Berdasarkan pengalamannya, Adriana mengatakan, si anak sulung mendadak merasa semua perhatian yang semula untuk dirinya lalu berubah sepenuhnya untuk si adik.
"Ayah dan ibu sibuk dengan si bayi sepanjang hari, orang yang datang pun semuanya mau melihat adik, tak ada yang mengacuhkan dirinya. Hal ini menyakitkan bagi si kakak yang semula adalah anak tunggal," ujar Adriana yang menyebutkan kadar iri hati tiap orang amat dipengaruhi oleh kepribadian masing-masing.
Orangtua yang tanpa sadar suka membandingkan antara anak yang satu dengan lainnya juga berisiko menuai sosok berkepribadian iri hati. "Ingatan bahwa orangtua membandingkan anak-anaknya ternyata bisa membekas sampai mereka dewasa. Anak itu akan tumbuh menjadi pribadi yang mudah iri hati," tutur Adriana.
Di sisi lain, lewat iri hati pula orangtua bisa mengajari anak tentang adanya persaingan, perlunya toleransi dan kompromi, serta mengajari si anak untuk menyelesaikan sendiri konflik-konflik di dalam dirinya.
IRI hati tak hanya muncul pada anak-anak. Orang dewasa juga sering merasakannya. Iri hati di antara suami istri yang tidak bisa diselesaikan dengan baik dapat berakhir dengan perceraian. Nanet dan Yusar, keduanya berusia 30-an tahun dan bukan nama sebenarnya, pernah merasakan "hawa" iri di antara mereka.
"Saya tidak tahu kenapa dia begitu keras kepala dan selalu punya jawaban untuk memojokkan saya," kata Nanet tentang suaminya, Yusar. Padahal, di luar, pasangan dengan satu anak ini dikenal oleh kolega dan teman-temannya sebagai suami istri ideal. Yusar ganteng dan punya kedudukan sangat baik di suatu perusahaan swasta. Nanet pun memiliki pribadi yang menarik dan karier bagus.
Mereka bertemu ketika tengah bersekolah di luar negeri. Sewaktu mereka berpacaran banyak orang iri pada Nanet sebab Yusar aktif dalam berorganisasi, pandai, dan banyak dikelilingi gadis-gadis. Sementara Nanet, cenderung pendiam dan tak banyak bergaul.
Kembali ke Tanah Air, karier Yusar melejit dan mereka memutuskan menikah. Waktu itu Nanet baru empat tahun memulai karier, tetapi posisinya terus bergerak ke atas. Pada saat inilah pertengkaran kecil mulai sering terjadi. Kalau Nanet pulang lebih malam, Yusar menegurnya dengan kata-kata tajam.
Posisi Nanet seiring dengan peningkatan gajinya sampai melebihi gaji Yusar. Pertengkaran makin sering terjadi. "Banyak hal kecil tak masuk akal yang ia lakukan. Saya tidak berubah, saya tetap menghormatinya sebagai suami. Tetapi, ia semakin memperlihatkan kekuasaannya sebagai laki-laki yang memperlakukan istrinya semata-mata sebagai miliknya," kata Nanet menuturkan.
Ibu satu anak ini harus pintar berstrategi. Misalnya, dia tidak lagi sering tugas ke luar kota, membatasi tugas ke luar negeri sekali saja dalam setahun, dan kerap minta pertimbangan Yusar meski untuk hal yang sepele sekalipun, seperti membeli baju. Lima tahun hal itu berjalan, namun keadaan tak berubah, Yusar malah mengungkit-ungkit barang apa saja yang dibeli dengan uangnya. Semua kelebihan dirinya diungkapkan dan kekurangan Nanet dibongkar habis.
"Saya sulit berdiskusi dengan dia karena dia menganggap dirinya paling benar. Diskusi selalu berakhir dengan kemarahan atau tangisan," ujar Nanet yang kemudian sadar bahwa perubahan sikap Yusar karena iri hati. Ketika karier Nanet naik terus, Yusar merasa kariernya mandek, dan ini berimbas pada hal-hal lain seperti soal gaji dan sebagainya.
Namun, cinta keduanya membuat semarah apa pun Yusar, dia tak pernah melakukan kekerasan fisik terhadap istrinya. Nanet pun berusaha sabar ketika Yusar tengah marah. Setahun terakhir keadaan membaik setelah mereka sepakat menyisihkan waktu untuk berdua saja. Dimulai dengan makan malam bersama, lalu ngobrol, hingga baik Yusar maupun Nanet sadar apa pun yang terjadi tak mengubah cinta mereka.
"Kami mencoba menyelamatkan perkawinan ini. Saya meyakinkan dia kalau dulu dia yang banyak memberi untuk keluarga ini, sekarang giliran saya," ujar Nanet. Dari dialog intensif mereka, Nanet tahu bahwa sikap Yusar berubah karena dia merasa tak lagi berarti dalam keluarga. "Ia merasa saya terlalu mandiri, tidak butuh dia lagi. Ia cemburu dan iri, merasa dikalahkan. Bagusnya, dia tak menuduh saya macam-macam. Dia juga tetap setia dan bertanggung jawab," kata Nanet menambahkan.
DARI pengalaman di ruang konsultasi, Adriana menuturkan, iri hati antara suami istri biasanya timbul ketika bayi mereka lahir. Suami yang bertipe senang diladeni merasa tak lagi diperhatikan oleh istrinya karena kehadiran bayi mereka. Sementara si istri merasa suaminya tak mau mengerti rasa bersalahnya setelah seharian bekerja meninggalkan bayi mereka dengan orang lain di rumah.
"Ada lagi iri hati yang muncul karena si istri iri pada hobi si suami yang banyak menyita waktunya. Ada pula suami yang iri karena kalau si anak sakit, si istri dengan sukarela akan cuti dari kantor. Tetapi bila si suami yang sakit, istri seakan tak peduli. Suami juga kesal sebab istrinya tak sabar mendengarkan keluh kesahnya, tetapi dia punya waktu ketika temannya ingin curhat," kata Adriana.
Hal-hal kecil semacam itu bila dibiarkan terus akan menumpuk. Kalau semula iri hati si istri hanya karena suami tak menyisihkan perhatian untuknya, berkembang menjadi kecurigaan lalu kemarahan. Semakin panasnya suasana rumah akan membuat suami tak betah, atau sebaliknya. Kalau sudah begini, tak jarang mereka memerlukan pihak ketiga untuk memperbaiki hubungan suami istri.
Iri hati antara suami istri biasanya muncul karena salah satu merasa kurang diperhatikan, bukan soal materi. Ini beda dengan anak-anak, yang biasanya merasa diperlakukan tidak adil karena si A dibelikan barang lebih mahal daripada si B," kata Adriana.
Nilai-nilai dalam masyarakat pun bisa menjadi pemicu iri hati antara suami istri. Sebab, sampai sekarang masih banyak orang beranggapan bahwa suami harus lebih sukses segalanya dari si istri. Misalnya, kalau suami lebih populer, istri akan bangga. Sebaliknya, kalau istri lebih populer, suami tidak senang.
Iri hati juga bisa muncul di antara pasangan dengan orangtuanya. Bila suami/istri lebih memperhatikan orangtuanya daripada pasangannya, mereka merasa disisihkan atau dikalahkan. Di sisi lain ada keharusan berbakti pada orangtua. Kalau sudah begini, satu pihak merasa diabaikan, sedangkan pasangannya "pusing" karena terjepit di antara dua kepentingan.
"Hal-hal semacam itu bisa berkembang menjadi masalah besar, termasuk soal gaji istri yang lebih besar dari suaminya. Si suami merasa harga dirinya terkoyak, dia jadi tidak percaya diri. Iri hanya wujud awal saja, namun harus diwaspadai kalau tak ingin telanjur bertumpuk," Adriana mengingatkan.
Untuk mengatasi iri hati semacam itu, selain berkomunikasi dengan kepala dingin, menurut Adriana, setiap pasangan sebaiknya juga bersedia mengubah persepsi dan mau berkompromi. Semua itu diperlukan kalau tak ingin perkawinan itu berakhir dengan depresi atau perceraian. (CP/MH)
               (
geocities.com/w1d1anto)