From: "Joshua Latupatti" joshualatupatti@hotmail.com
Date: Thu, 10 Jan 2002 10:13:16 +0000
SEBUAH BUKU IBLIS DITERBITKAN LAGI
download artikel in print friendly version Tanggapan-tanggapan Joshua Lainnya
Salam Sejahtera!
Saudara-saudara sebangsa,
Rupa-rupanya masih ada juga yang bernafsu untuk mendiskreditkan Maluku dengan
kepicikan dan kelicikannya. Masih ada saja yang berlagak tahu banyak tentang
Maluku, dengan memamerkan berbagai teori dan analisa mentereng tentang sejarah
Maluku. Padahal, yang ada dibaliknya hanyalah kebohongan dan niat busuk. Banyak
orang akan tertipu lagi, dan Maluku tetap bermandi kemelut. Saya harus melakukan
sesuatu, walaupun kecil, bagi Maluku saya yang saya kenal seperti mengenal diri
saya sendiri.
KEPADA: LAMBANG TRIJONO, MA
----------------------------------------------------
SOURCE: REPUBLIKA; DATE: 2002-01-06; Revitalisasi Maluku Pasca Prahara
Judul Buku : Keluar dari Kemelut Maluku
Penulis : Lambang Trijono, MA
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan I : Juli 2001
Tebal Buku : xvi + 218 halaman
JOSHUA:
Kepada sdr.Lambang Trijono, MA, ingin saya katakan, jika anda berpikir bahwa
Indonesia memerlukan tulisan anda, anda mungkin sekali benar, tetapi "Maluku tidak
membutuhkan tulisan anda, dan tidak membutuhkan orang-orang seperti anda"!
Sejujurnya saya katakan bahwa kepercayaan rakyat Maluku terhadap Negara-nya
para penjahat-beriman, sudah hampir pupus. Kepercayaan kami kepada orang luar
Maluku, juga sudah menurun drastis. Yogyakarta mungkin masih menarik bagi para
turis asing, tetapi sudah lapuk dimata kami, sebab terlalu banyak kebohongan dan
kemunafikan yang dilahirkan di Yogyakarta untuk menekan kami, rakyat Maluku.
Yang paling membusukan Yogyakarta adalah kenyataan bahwa hampir semua
kebohongan dan kemunafikan itu dilahirkan di dalam pertemuan yang berbau
keagamaan atau intelektual.
Saran saya kepada anda sederhana saja. Kalau mau cari makan dan popularitas,
lakukanlah dengan jujur dan bersih sebagai orang beragama, supaya jangan makanan
itu menjadi racun dan popularitas itu menjadi kutuk bagi anda dan keluarga anda.
SOURCE: REPUBLIKA; DATE: 2002-01-06
Revitalisasi Maluku Pasca Prahara Letusan tragedi 19 Januari 1999 galibnya dipatok
sebagai sekat partisi yang signifikan. Kalangan Muslim, khususnya di Maluku,
mengenang hari ini sebagai 'Idul Fitri 1419 H Berdarah'.
JOSHUA:
'Idul Fitri 1419 H Berdarah' bukan istilah populernya! Anda sengaja menempatkan
"1419 H" untuk memberi kesan bahwa Muslim Malukulah yang mengingat hari itu
dengan air mata. Padahal, istilah populernya adalah "Idul Fitri berdarah", atau
"Lebaran berdarah", yang artinya ‘LEBARAN MUSLIM MALUKU BERLUMURAN
DARAH KRISTEN MALUKU'! Istilah MUNAFIK itu adalah ciptaan AL FATAH sendiri,
yang diresmikan ‘tiga belas hari sebelumnya', pada tanggal 6 Januari 1999.
Seandainya anda adalah intelektual yang beragama dan jujur, anda akan
memperlihatkan kepada publik bahwa daerah Kristen Mardika dan Silale di dalam
Kota Ambon, adalah korban pertama dari "Proyek Al Fatah – MUI-Maluku yang
sengaja diberi judul "Lebaran Berdarah" tersebut.
Satu saja fakta sudah cukup untuk menjatuhkan banyak argumentasi munafik untuk
memutar-balikkan sejarah. Mengapa Ketua MUI-Maluku, R. Hasanusi, adalah Perwira
Polisi Aktif saat itu, dan mengapa dia bersembunyi di dalam diam di Ternate, Maluku
Utara? Dia yang meresmikan ‘Posko dan Tim Advokasi Lebaran Berdarah',
diselamatkan oleh Firman Gani, mantan Kapolda Maluku, sebab "catatanya banyak
di Polda, dan belum diproses tuntas". Jika masih ada sedikit kejujuran dan
intelektualitas di dalam kepala anda, pikirkanlah itu!
SOURCE: REPUBLIKA; DATE: 2002-01-06; Revitalisasi Maluku Pasca Prahara
Faktor pemicu prahara itu adalah kejadian sepele, yang dipahami agak
bersimpang-siur. Satu versi menyebut, kenek angkot Muslim asal Batumerah
dianiaya sopirnya, Jacob Kauhery alias Yopi. Menurut versi lain, Yopi dipalak Rp 500
oleh Nursalim, pemuda keturunan Bugis (hlm 38-40). Kebenaran persoalan ini
belumlah final.
JOSHUA:
Anda sendiri malah lebih mengsimpang-siurkan masalah yang sudah final! Memang
benar bahwa peristiwa itu kemudian disebarkan di dalam dua versi, tetapi anda pasti
tahu bahwa hanya satu di antaranya yang berisikan kebenaran. Anda tidak
memperlihatkan keinginan intelektual anda untuk mencari dan mengungkap yang
benar, tetapi membuat teka-teki baru untuk diselesaikan oleh pembaca, padahal
tulisan ini anda beri judul "Keluar dari Kemelut Maluku"!? Bagaimana anda bilang
"keluar dari kemelut" tapi menggiring orang untuk masuk lagi ke dalam kemelut baru
ciptaan anda? Itulah sebabnya saya katakan, "Maluku tidak membutuhkan tulisan ini
dan orang seperti anda"!
Sebenarnya dalam bidang apakah gelar ‘MA' yang menghiasi nama anda? Dalam
bidang hukum? Tidak tahukah anda bahwa sidang pengadilan tentang pertikaian
Yopie Leuhery – Nursalim itu sudah selesai dan Yopie Leuhery dinyatakan "tidak
bersalah"? Anda mengaku sudah sering ke Ambon, tetapi rupanya anda hanya
mengais berita dan komentar-komentar sampah di tepi jalan! Anda tahu artinya kata
"halal"? Carilah makan dan populatitas secara halal, sebagai orang beragama.
SOURCE: REPUBLIKA; DATE: 2002-01-06; Revitalisasi Maluku Pasca Prahara
Celakanya, kasus Batumerah mendadak sontak menggelembung menjadi konflik
komunal antarwarga desa beda agama. Rangkaian kejadian di hari-hari pertama itu,
meski diliput media massa lokal dan Ibu Kota, pembaca kelas pas-pasan sekalipun
menangkap semangat jurnalistik 'abu-abu' di situ. Lepas dari konstalasi dan
'hegemoni' media massa kita, pertanyaan terpenting disini adalah: masa kerusuhan
antarkomunitas merebak segampang itu?
JOSHUA:
Anda tidak menyaksikan pecahnya kerusuhan itu kan? Anda tidak menyaksikan
bagaimana jalanan Batumerah dipenuhi oleh pemuda Muslim bersenjata dan berikat
kepala putih, yang dipercik dengan air kebal oleh para Kiyai, sementara warga Kristen
Mardika berdiri menonton dari jauh dengan wajah penuh keheranan, tidak sadar
bahwa mereka sedang menonton persiapan penyerangan atas mereka! Belum
beberapa menit Mardika berasap, naik pula tiang asap dari wilayah Kristen Silale!
Buang atau simpan istilah "mendadak sontak" itu bagi sanak keluarga anda. Semua
sudah dipersiapkan sebelumnya!
Anda mengaku sudah mewawancarai kedua pihak! Apakah anda pernah mendatangi
Posko Maranatha dan melihat foto, video dan rekaman peristiwa di sana? Anda hanya
memungut isu-isu murahan bagi tulisan murahan anda, untuk mencari popularitas
murahan dan memberi keluarga anda makan makanan murahan pula! Anda berlagak
dengan cap "semangat jurnalistik abu-abu", padahal yang anda miliki adalah
"semangat jurnalistik hitam, kotor, dan berbau busuk"!
SOURCE: REPUBLIKA; DATE: 2002-01-06; Revitalisasi Maluku Pasca Prahara
Hal ini sebetulnya tak kelewat absurd jika saja sejarah Maluku diselisik dengan
cermat-sedari bercokolnya Portugis (1511) dan VOC/Belanda (1605) beserta implikasi
dari persebaran agama-agama dan pertumbuhan masyarakat.
JOSHUA:
Kerusuhan Maluku tidak ada hubungannya sama sekali dengan sejarah kedatangan
Portugis dan VOC. Lagipula, bagaimanakah seorang penyandang gelar MA yang
tidak mampu menyelidiki arsip pengadilan tentang perkara Leuhery-Nursalim, layak
untuk menjadi analis sejarah Maluku? Lihat fakta sederhana yang sengaja anda
abaikan! Ratusan tahun sepeninggal Portugis dan VOC, rakyat Maluku, Islam-Kristen
(Salam-Sarani), hidup di dalam kerukunan dan persaudaraan "Pela-Gandong" yang
tidak pernah dimiliki oleh nenek moyang anda dan siapapun di dalam negara ini! Pada
saat itu ucapan "memberi" adalah undang-undang seharga kehormatan dan darah,
sehingga kami tidak memerlukan sertifikat! Anda tak akan pernah bisa
membayangkan kedalaman hubungan kekeluargaan bangsa "Alif Ur" atau "Alif'uru"
saat itu karena leluhurmu belum bisa sampai ke sana! Zaman emas itu terjadi setelah
Portugis dan VOC pergi dari Maluku! Siapa yang merusak semuanya? INDONESIA,
baik negara, maupun rakyatnya, termasuk anda sekarang ini Soeharto dan Habibie
adalah dua iblis besar, perusak keharmonisan kehidupan rakyat Maluku! Soeharto
bersama Orde baru dan Golkarnya, dan Habibie bersama ICMI-nya, adalah penindas,
pemeras, dan pelaknat tanah dan rakyat Maluku!!
Hei penulis murahan! Jika Portugis dan VOC meninggalkan bibit permusuhan karena
penyebaran agama, mengapa harus ada "tiang Salam" di Gereja dan "tiang Sarani di
Mesjid"? Setiap pendirian Gereja dan Mesjid adalah tanggung jawab dan hutang
bersama, dari kedua pihak yang harus diselesaikan! Kami, orang Maluku tidak punya
kebiasaan "minta izin" untuk membangun Gereja dan Mesjid dan malah berupaya
agar keduanya berdiri bersisian! Mesjid Jamie adalah saksinya, tetapi Al Fatah
terkontaminasi oleh kebusukan Indonesia! Kalian orang luar yang penuh dengan nafsu
serakah dan iman sampalan yang datang memperkenalkan "izin mendirikan Gereja"
ke Maluku, lalu kalian tuduh Portugis dan Belanda sebagai pembawa bibit
permusuhan sektarian di Maluku! Bangsa Alif Ur yang asli adalah bangsa animis. Jika
Portugis dan Belanda bersalah di dalam mengubah bangsa Alif Ur menjadi Katolik
dan Protestan, mengapa "Arab" yang datang sebelumnya harus dibenarkan?
Mengapa bukan "Arab" yang menanamkan bibit permusuhan sektarian di Maluku?
Kalian sepertinya dilahirkan untuk menjadi pendusta secara turun-temurun!?
SOURCE: REPUBLIKA; DATE: 2002-01-06; Revitalisasi Maluku Pasca Prahara
Secara kontekstual, pertimbangkan pula situasi riil pada 19 Januari itu: (memang ada)
spanduk Usir BBM (Bugis-Buton-Makassar), tapi di sana-sini tak kalah meriah
bahana yel-yel RMS, pengibaran bendera RMS, dan tulisan di tembok.
JOSHUA:
RMS tidak punya andil apa-apa di dalam kerusuhan Maluku! Isu-Isu RMS adalah
buatan AL FATAH, untuk menyembunyikan dosa dan kejahatan terencana mereka!
Jika anda pernah berbicara dengan Ketua Yayasan AL Fatah, Abdullah Soulissa,
maka anda sudah berhadapan muka dengan salah satu tokoh penting RMS,
walaupun dia mati-matian menolaknya! Siapapun yang berbicara tentang RMS, tanpa
meneliti langsung dokumen - dokumen RMS di Belanda, hanyalah pembohong dan
penipu besar yang berniat untuk mendiskreditkan umat Kristen Maluku dan
memecah-belah Maluku! Jika RMS memang terlibat dan bisa dibuktikan, mengapakah
Al Fatah dan Muslim Galunggung harus membuat ratusan bendera RMS untuk
diselundupkan ke daerah-daerah Kristen?
Dulu saya tertunduk malu jika berbicara tentang RMS, karena generasi kami ditipu
oleh buku-buku sejarah murahan dan pernyataan-pernyataan munafik dari para
pemimpin negara ini. Sekarang wajah saya terangkat dan saya menepuk dada bila
bicara tentang RMS! RMS bukan pemberontak, dan kami, bangsa Alif Ur bukan
turunan pemberontak. RMS berhak menjadi negara merdeka dan hak itu berdasarkan
hukum dan konvensi internasional! RI adalah agresor yang melanggar hukum dan
konvensi internasional, dan malah menghianati kosntitusinya sendiri saat itu. RI tidak
memiliki legitimasi untuk menjadi NKRI sekarang ini! Silahkan kerahkan kebolehan
MA-mu itu untuk membantah saya! Jika perlu, ajak saja si Rustam Kastor, MUI,
"laskar jihad", Hamzah Haz, Amien Rais, Susilo Bambang Youdhoyono, Wiranto, dan
semua pakar hukum yang kamu ketahui. FKM dengan suka cita akan melayani
kalian!
Isu-isu BBM adalah ciptaan AL FATAH pula! Warga Muslim Maluku asal BBM
sengaja "dikorbankan" Al Fatah sebagai tumbal untuk merangsang kemarahan
Muslim Indonesia! Kasus hancurnya Pasar Gambus yang tidak terkawal, di pagi
subuh, 20 Januari 1999, adalah saksi dari rencana jahat Al Fatah. Sayangnya, umpan
BBM yang dilemparkan Al Fatah itu, langsung disergap oleh pihak Kristen yang
marah karena penyerangan dan pembakaran daerah Kristen Mardika dan Silale, sore,
jam 15.30, 19 Januari 1999. Sekali lagi saya katakana, MUSLIM BBM adalah
UMPAN yang dipasang AL FATAH, dan warga Kristen yang kalap menyambarnya
tanpa piker panjang. Jika masih ada sedikit kejujuran dan intelektualitas di dalam
kepala anda, pikirkanlah semua itu!
SOURCE: REPUBLIKA; DATE: 2002-01-06; Revitalisasi Maluku Pasca Prahara
Lalu, jangan sampai alfa mencermati rentetan yang merupakan prakondisi ke titik api
19 Januari-dari peristiwa Wailette, peristiwa Bak Air, peristiwa Dobo, pemilihan ketua
KNPI, demonstrasi di Makorem Pattimura, hingga isu turunnya Yesus Kristus di
Gudang Arang.
JOSHUA:
Inilah sebagian SAMPAH yang anda pungut di sepanjang jalan AY. Patty dan AM.
Sangadji, karena tuntunan bakat pemulung. Demonstrasi Mahasiwa menentang
Dwifungsi ABRI bukan monopoli warga Kristen, seperti kata tukang SAMPAH di Al
Fatah! Sejak kapankah yang namanya mahasiswa itu berarti Kristen? Justeru pada
saat itu, mahasiswa STAIN dan Universitas Darussalam yang paling berapiapi.
Sebagian preman dari Pasar Gambus, Pasar Mardika dan Pasar Batumerah malah
ikut menyusup dengan membawa buku terlipat di saku celana, tapi sebagian
besarnya memakai sandal jepit. Yang melempar Markas TNI, sehingga menimbulkan
konflik, ternyata adalah anggota TNI yang menyusup ke dalam barisan mahasiwa.
Kalaupun demonstrasi tersebut mempunyai kaitan dengan konflik Maluku, apakah
anda punya sedikit kejujuran dan intelektualitas untuk melihat, pihak manakah yang
lebih punya andil? Tahukah anda bahwa kerusuhan Wailette terjadi ketika desa
Kristen Hatiwe dan Pela - Muslimnya sedang melakukan pesta "Panas-Pela"?
Bukankah Adat Pela-Gandong itu harus dihancurkan terlebih dahulu, jika ingin
menguasai Maluku? Lalu, siapa yang punya motivasi untuk menghancurkan Maluku?
MA-mu itu dipungut di sawah?
Anda mengatakan konflik Maluku dimeriahkan oleh yel-yel RMS, tetapi mengajak
pembaca untuk melihat ‘peristiwa Dobo', di Maluku Tenggara sebagai prakondisi 19
Januari 1999. Sejak kapan RMS menjalankan aktifitasnya di Maluku Tenggara? Anda
hanya sedikit lebih tidak idiot dibanding "laskar jihad" yang membawa RMS dampai
ke Poso. Jika Dobo tetap harus terkait dengan 19 Januari 1999, tanyakanlah Al
Fatah, yang lebih punya andil di situ! Ketika konflik merebak ke Tual, Suaidi
Marasabessy dan Tim impotennya turun ke sana, dan mendapati bahwa ‘sebagian
besar pemimpin agama dan tokoh Muslim di Ambon sedang berada di Tual'. Kalaupun
anda tidak punya cukup keberanian dan kejujuran untuk memberikan kesimpulan
yang benar tentang kenyataan tersebut, apakah anda bisa melihat bahwa RMS tidak
tersangkut ke sana.
SOURCE: REPUBLIKA; DATE: 2002-01-06; Revitalisasi Maluku Pasca Prahara
Maka, tatkala kilas balik sejarah Maluku 'diawali' dari kolonialisme Belanda-paradigma
ini dianut agak umum, termasuk Lambang Trijono/penulis-masa penjajahan dan
penjarahan Portugis yang sekitar seabad itu menjadi nisbi. Padahal, dalam periode ini
berlangsung berbagai pergulatan fisik yang hebat. Ini dibuktikan oleh Perang Hitu
(1520-1605), Perang Alaka I (1570-1606), Perang Banda (1609-1921), Perang
Huamual (1625-1656), Perang Amaiha (1632-1654), Perang Kapahaha (1636-1646),
Perang Wawane (1633-1643). Keseluruhan pertempuran tersebut terjadi antara
pemeluk Islam dan Potugis yang menyebarkan agama Katholik di wilayah Maluku.
JOSHUA:
Dengar hai orang picik! Kami orang Maluku tidak pernah mempermasalahkan siapa
yang paling berjasa di dalam mengusir penjajah! Perayaan Hari Pattimura di Maluku
bukan lagi sekedar perayaan hari pahlawan tetapi "upacara rituil adat Maluku yang
diselenggarakan oleh Salam-Sarani Maluku dengan hikmat. Kami juga mengenang
jasa pahlawan lain dengan mengabadikan "nama" mereka pada jalan, taman makam
pahlawan, dll. Tulisan murahan seperti punya anda, tidak akan mencatat kenyataan
seperti ini! Mempertengkarkan "jasa pahlawan", seperti yang anda lakukan sekarang
ini, adalah salah satu "taktik laknat" yang dibawa dari luar Maluku, untuk merusak
hubungan Pela-Gandong, Salam-Sarani kami. Yang ribut soal jasa dan hak adalah
manusia kerdil berakhlak rendah dan beriman sampalan! Bangsa Alif Ur tidak!
Jika MA-mu itu berisi, cobalah jelaskan, mengapa sampai saat ini pun, politisi,
ilmuan, musisi, penyanyim olahragawan dll, didominasi oleh Kristen Maluku? Apakah
Portugis dan Belanda mengajarkan bagaimana menabuh ‘fifa' dan meniup ‘suling'?
Dari dahulu kala, kami, orang Maluku tidak pernah mempermasalahkan hal-hal
semacam itu. Kami tidak mempermasalahkan siapa yang jadi Pegawai Negeri dan
siapa yang berdagang, siapa yang menjadi Walikota dan siapa Gubernur. Kalian
orang-orang rakus dari luar Maluku yang datang dengan bertopeng ‘pemerhati
Muslim', hanyalah pembawa bibit permusuhan dengan mengungkit-ungkit masalah
SAMPAH di Maluku, untuk men-"devide et impera"-i Maluku! Indonesia ini adalah
"Penjajah tertamak dan terlaknat" yang pernah ada di Maluku!
SOURCE: REPUBLIKA; DATE: 2002-01-06; Revitalisasi Maluku Pasca Prahara
Konflik Maluku merupakan konflik sosial terdahsyat sepanjang republik. Kajian
penulis melalui kitab 6 bab ini sistematis adanya. Secara garis besar isi buku dapat
dipilah menjadi dua bagian: dinamika konflik dan (tawaran teoritis) alternatif keluar dari
konflik. Analisis buku dibangun dari teori dan metode studi konflik berdasarkan
realitas di zona konflik. Penulis sendiri enam kali hadir di Ambon-Maluku dalam kurun
waktu Juli 1999 hingga Januari 2001, mewawancarai kedua komunitas (Islam/Salam
dan Kristen/Sarani) serta pihak-pihak terkait lainnya.
JOSHUA:
Metode dan teori selangit apapun yang anda gunakan, tanpa kejujuran dan tekad
untuk mencari kebenaran, orang hanya silau karena kata-kata dan istilah mentereng
untuk kemudian disesatkan, sementara anda menikmati popularitas dan keuntungan
haramnya! Enam kali atau enam ratus kali anda mengais sampah di Maluku, tulisan
anda tetap akan berbau busuk.
SOURCE: REPUBLIKA; DATE: 2002-01-06; Revitalisasi Maluku Pasca Prahara
Melalui pengkajian periodisasi perkembangan konflik, penulis mengedepankan tesis
bahwa konflik terjadi akibat akumulasi konflik politik, konflik sosial-ekonomi, dan
konflik identitas kolektif antar komunitas agama.
JOSHUA:
Tanpa menyinggung "Soeharto-Orba" dan "Habibie-ICMI", buku ini menjadi semacam
"buku iblis" yang meracuni umat dan intelektualitas manusia. Orang yang tega
menggunakan kesengsaraan orang lain sebagai sumber popularitas dan nafkah
tambahan adalah manusia yang melaknati dirinya, keluarganya dan imannya sendiri!
SOURCE: REPUBLIKA; DATE: 2002-01-06; Revitalisasi Maluku Pasca Prahara
Tesis itu membuhul pada simpul: "Di permukaan memang tidak bisa dipungkiri yang
tampak adalah konflik agama, yaitu antara komunitas Kristen dan Muslim. Tapi
sumber konflik itu sebenarnya bukan berbasis agama. Konflik agama muncul sebagai
efek samping, yang digunakan sebagai alat pembenar untuk berkonflik yang
sebenarnya bersumber dari konflik politik dan sosial ekonomi" (hlm 185). Konklusi
penulis ini harus dikatakan bercorak abu-abu. Kini, memasuki tahun ketiga sejak
letusan 1 Syawal 1419 itu, hampir tak ada lagi pihak yang berhajat mengipas-ngipas
suasana. Maluku dewasa ini berada dalam situasi pascaperang. Satu tahapan yang
menurut penulis, "belum melampaui masa konflik apalagi memasuki kondisi normal"
(hlm 183). Ingatan tentang tragedi masih teramat segar. Kehilangan harta benda,
kematian sanak saudara, musnahnya sarana umum, dan berbagai hal tentang Ambon
Manise pun masih lengket sebagai kenangan masa lalu yang dekat. Kebanyakan
warga gamang melangkah, meski "dari 29 kecamatan di Maluku, hanya sekitar 4
kecamatan yang belum kondusif," ujar Gubernur Dr Ir M Saleh Latuconsina dalam
dialog yang digelar Forum Komunikasi Rekonsiliasi dan Rehabilitasi Maluku, di
Jakarta, belum lama ini.
Rekonsiliasi dan rehabilitasi merupakan terapi yang enteng diucapkan. Puak-puak
yang terlibat dalam perseteruan, kelompok akademisi, kalangan pemerhati, dan
jajaran birokrat pun mudah menyepakati tawaran ide ini. Hanya saja, jabaran
teknis-operasional untuk mengemas komitmen tersebut tak gampang. Dari mana
harus mulai? Dengan metode apa? Seberapa jelas gradasi kehendak (dari faksi yang
paling moderat hingga yang paling radikal) di kedua kubu dipahami? Soal-soal itu
mengantarkan hasrat untuk 'merujukkan' kepada pengertian mendasar tentang
masalah utama-apa penyebab konflik-di samping kejujuran merumuskan 'jenis
kelamin' konflik Maluku. Prahara kemanusiaan redup, seiring dengan berdenyutnya
kesadaran tentang rekonsiliasi (juga rehabilitasi). Tiba saatnya bagi warga Maluku
untuk melihat ke depan. Berbenah dan menata diri. Berhenti berduka dan merajut
persaudaraan besar dalam setting Maluku sebagai bagian mosaik etnik Nusantara.
Langkah-langkah relevan ini mulai dijalankan oleh berbagai komponen di sana.
Beraneka unsur kekuatan integratif mulai memperoleh tempat dan diterima dengan
tangan terbuka. Kekuatan integratif lokal tersebut itu adalah 100-an LSM (lembaga
swadaya masyarakat), kelompok perempuan, kelompok pemuda, tokoh masyarakat.
Juga patut disebut di sini peran serta Pemda yang tidak kecil; di samping urun
rembuk Jakarta, entah itu di era Habibie, Wahid, ataupun Megawati, dengan persepsi
dan kepedulian yang berbeda-beda. Dari pihak Pemda, misalnya, sejauh ini telah
dibangun Pusat Rujuk Nasional (8 April 1999), Tim 24 dan Forum Jaringan Pengaman
Lingkungan (Desember 99), Tim Fasilitator Pemda (14 Januari 2000), Pertemuan para
Latupati dan Kepala Desa/Kepala Adat Maluku (12 September 1999)./
JOSHUA:
Bagaimana menyembuhkan Maluku, misalkan Maluku diserang Malaria? Anda hanya
menawarkan obat penurun demam, sambil menciptakan kolam dan genangan air
kotor di Maluku, bagi pertumbuhan jentik-jentik nyamuk yang baru! Anda bertindak
seperti dukun cabul yang bukannya mengobati, tetapi mencari kenikmatan dari orang
yang sakit! Kami sudah lelah dan jemu berkelahi, dan kami sudah ingin istirahat di
dalam damai, tetapi "bibit Malaria" peliharaan iblis jahanam yang bernama "laskar
jihad", tidak mau pergi dari Maluku! Anda dan Pemerintah Pusat maupun daerah tidak
becus melihat sumber penyakit Maluku lalu berputar-putar dengan tetek-bengek teori
munafik yang tak berujung-pangkal! Mengapa anda tidak menyinggung MUBES Islam
Maluku yang mencoba mengklaim Pulau Seram sebagai zona ekonomi dan
pembangunan masa depan, setelah sebagian besar warga Kristen terusir dari sana?
Itulah mengapa, Yogyakarta semakin membusuk di mata kami orang Maluku, dan
anda adalah salah satu bakterinya!
Banyak orang yang mengaku ‘pengamat Maluku' lalu mempersalahkan Adat
Pela-Gandong sebagai ‘lemah' dan ‘tidak punya kekuatan pengikat'. Mereka tidak
sadar bahwa jangankan relasi antar sesama manusia, relasi dengan Tuhan-pun bisa
hancur luluh karena ulah si iblis jahanam. Orang bisa disalahkan karena memiliki
relasi yang tidak terlalu kuat, tetapi itu tidak berarti si iblis bisa dibenarkan (kecuali
oleh yang berakhlak iblis juga). Buktinya sekarang, Pela-Gandong masih hidup dan
bertunas setiap saat. Tetapi, si iblis tetap bercokol dan membunuh tunas-tunas
tersebut dengan dakwah beracun, dan bila perlu dengan pedang berdarah.
Pertanyaannya sekarang, "Mengapa si iblis di dalam bentuk "laskar jihad" tetap
dibiarkan merampok dan meracuni Maluku?" "Karena Pela-Gandong yang merupakan
kekuatan bangsa Alif Ur harus dimusnahkan!" Pela-Gandong yang hidup akan
menguatkan Maluku, dan Maluku yang kuat akan mampu memperjuangkan haknya
dan mengembalikan kehormatannya! Lalu, Maluku yang berdaulat tidak akan bisa
dijadikan sapi perahan, kuda beban dan kambing hitam, bagi negara-nya para
perampok dan penjahat beriman ini!
SOURCE: REPUBLIKA; DATE: 2002-01-06; Revitalisasi Maluku Pasca Prahara
Alih-alih buku sejenis-susunan Rustam Kastor, Konspirasi Politik RMS dan Kristen
Menghancurkan Umat Islam di Ambon-Maluku, atau buku Sinansari ecip, Menyulut
Ambon, Kronologi Merambatnya Berbagai Kerusuhan Lintas Wilayah di Indonesia,
atau buku ISAI, Luka Maluku, Militer Terlibat, atau buku susunan Majelis Ulama
Indonesia, Merajut Damai di Maluku -deskripsi penulis tentang liku-liku konflik cukup
berimbang, berhati-hati dan dingin. Ia benar-benar berupaya tak tergelincir (dan
tertuduh) menjadi partisan. Ini jihad akademis yang sehat, meski dengan risiko 'tak
memuaskan' bagi puak pembaca dari kedua komunitas.
JOSHUA:
Saya tidak menemukan suatupun "perimbangan" di dalam tulisan ini, yang
seharusnya diperlihatkan di dalam resensi seperti ini. Oleh sebab itu saya katakan,
"Sebuah buku iblis diterbitkan lagi"! Buku ini tidak lebih tinggi kelasnya dari punya si
"kopral dungu", Rustam Kastor, yang katanya berdasarkan ‘teknik analisis militer,
dan punya si "Pemeras Ayinomoto", MUI, yang ‘merajut perusuh, penjarah,
perampok, pemerkosa dan pembunuh', "laskar jihad", ke dalam serat-serat adat,
tanah dan rakyat Maluku, menjadi sehelai spanduk kumal bertuliskan ‘damai' bagi
Maluku! Semuanya diilhami oleh iblis!
SOURCE: REPUBLIKA; DATE: 2002-01-06; Revitalisasi Maluku Pasca Prahara
Bagi mereka yang meminati konflik, baik teoritis maupun praktis, kata Prof Dr Teuku
Jacob pada Pengantar, "buku ini merupakan bacaan yang memperkaya dan berguna."
Analisis lintasdisiplin di bawah bendera "studi konflik" niscaya memiliki banyak
tuntutan. Dalam kasus Maluku, prasyarat itu minimal mencakup penguasaan yang
baik dan berimbang tentang disiplin antropologi, sejarah, sosiologi, politik, agama,
dan hukum. Dengan begitu, missing link tentang masa awal Kemerdekaan dan era
Orde Lama, umpamanya, tak semestinya terjadi. dody mardanus
JOSHUA:
Kepada Prof Dr Teuku Jacob, ‘uruslah Aceh-mu yang porak-poranda, juga karena
kerakusan dan kejahatan Pemerintah Indonesia! Jangan tergiur dengan "permen
Syariat Islam", hadiah Pemerintah, sebab Pemerintah tidak akan sampai menghianati
Pancasila dan UUD-45, jika tak ada niat jahad dibaliknya, atau paling tidak, jika tidak
hendak menutupi kejahatan Pemerintah di masa lalu! Itu lebih baik daripada memberi
komentar yang muluk-muluk terhadap buku yang miskin kejujuran seperti ini.
Begitupun, saya mohon maaf kepada penulis buku ini, jika ternyata ringkasan ini
tidak mewakili isi buku tersebut. Jika itu terjadi, saya percaya, "dody mardanus" dan
"republika" adalah iblisnya!
Salam Sejahtera!
JL.
|