KOMPAS, Senin, 11 Maret 2002
Wilayah Tanpa Garis Demarkasi
MAAF, beta seng punya waktu, beta harus antre bayar registrasi," ucap seorang
mahasiswi menolak berbicara lebih lanjut ketika Kompas meminta kesediaannya
untuk wawancara. Mahasiswi yang pada Selasa siang pekan lalu mengenakan
kemeja ketat warna kuning plus kalung salib terbuat dari emas itu lalu menghindar.
Demikian juga tatkala Kompas coba memperkenalkan diri kepada mahasiswi
berjilbab, secara halus dia menolak diwawancarai dengan alasan harus bertemu
rekannya. Beberapa kali Kompas menerima perlakuan seperti itu, sampai akhirnya
ada juga yang bersedia diwawancarai. Lega rasanya. Gambaran seperti itu umum
terjadi di Kampus Alternatif Universitas Pattimura. Disebut Kampus Alternatif, sebab
dalam wilayah akademis inilah hampir tidak ada sekat-sekat yang di Kota Ambon
umum dikenal sebagai "garis demarkasi", suatu garis pemisah dua komunitas yang
membedakan diri berdasarkan agama.
Di berbagai tempat di Kota Ambon dan sekitarnya, "garis demarkasi" bisa berupa
penghalang kayu, drum bekas, atau ban-ban bekas. Bukan persoalan segala hal yang
serba bekas yang digunakan sebagai penghalang, namun keberadaan benda-benda
rongsokan itu telah menciptakan pembedaan "kita-mereka" yang demikian dahsyat,
khususnya setelah pecah konflik Ambon, 19 Januari 1999.
Memang di beberapa tempat, "garis demarkasi" itu sudah disingkirkan, seiring
dengan semakin membaiknya situasi. Namun, dengan terjadinya peristiwa Sabtu, 2
Maret lalu, garis itu sempat muncul ke permukaan untuk kemudian hilang lagi
keesokan harinya.
Di wilayah Kampus Alternatif, "garis demarkasi" itu tidak pernah ada. Mahasiswa
Kristen maupun mahasiswa Islam bisa saling berinteraksi, bergaul berdiskusi, bahkan
bercanda dengan leluasa.
Di Kampus Alternatif inilah mahasiswa lama coba meneruskan kembali kuliah mereka
yang sempat terputus akibat konflik. Bagi mahasiswa baru, kampus ini benar-benar
satu-satunya pilihan karena memang tidak ada alternatif lain.
"Di Kampus Alternatif ini katong seng punya masalah. Beta bisa bergaul dengan
teman beta yang Obet. Kampus ini bebas konflik, tahunya beta belajar saja. Entah
kalau katong sudah berada di luar kampus," kata Suwardi (25), mahasiswa Muslim
yang kuliah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan semester sepuluh. Obet
adalah istilah yang umum digunakan di Ambon untuk menyebut Kristen (dari Robert),
sedangkan Islam disebut Acang (dari Hasan).
Semangat kuliah
Tubuh Holi Walun (19) dua bulan lalu di suatu hari yang panas tengah bersimbah
peluh di wilayah OSM yang berpenduduk Kristen. Di hadapannya terdapat
bertumpuk-tumpuk pakaian kotor yang harus dicucinya. Bukan pakaian miliknya,
namun pakaian tetangganya yang kebetulan orang berada. Gadis hitam manis
berperawakan kecil itu tidak harus malu untuk mendapatkan imbalan Rp 25.000 atas
jerih payahnya mencuci pakaian. Holi ini pulalah yang pada Selasa siang itu bersedia
diwawancarai dan berterus terang menceritakan "pekerjaan sampingan"-nya itu.
"Kiriman uang dari saya punya kakak sering terlambat. Sering sampai tiga atau
empat bulan kiriman uang tak sampai. Saya harus makan dan beli keperluan kuliah.
Lalu mencuci pakaian orang. Saya tidak malu melakukan itu," kata Holi yang Kristen
berterus terang, nyaris tanpa senyum. Holi kini kuliah di Fakultas Biologi di Kampus
Alternatif semester dua. "Maunya saya menyelesaikan kuliah dengan cepat, saya
mau kerja. Cita-cita saya mau jadi guru. Itu saja," katanya lagi.
Holi yang berasal dari Larut, Maluku Tenggara, adalah gadis yatim piatu. Kedua
orangtuanya meninggal secara wajar, bukan karena konflik, tatkala usia Holi sepuluh
tahun. Merri, kakaknya yang petani, setiap bulan mengiriminya uang Rp 250.000. Dari
uang itu Holi harus membayar kos Rp 75.000 per bulan. Sisanya untuk kebutuhan
hidup sehari-hari.
Ditanya soal keadaan Ambon saat ini, Holi tampak ragu. Namun, sebelum berpamitan
dengan alasan sudah harus bertemu pacarnya yang sekampus namun beda jurusan,
Holi berkata, "Siapa yang mau konflik terus? Maunya ya berhentilah. Kalaupun ada
konflik lagi, biarkan itu terjadi di luar saja. Jangan masuk kampus. Niat saya belajar."
O ya, Holi adalah salah seorang dari 65 warga Kristen yang terperangkap di Ambon
Plaza (Amplaz) saat terjadi peristiwa kericuhan tanggal 2 Maret lalu. Holi dan
rekan-rekannya yang ikut pawai damai diselamatkan oleh warga Muslim,
sebagaimana warga Kristen yang berlari dan berlindung di Masjid Al Fatah.
Lekas pulih
Kampus Alternatif Universitas Pattimura yang terletak di Jalan Dr Tamaela memiliki
tujuh fakultas. Dengan jumlah mahasiswa sekitar 5.000-an, Kampus Alternatif itu
terasa sempit. Ruang kuliah, meja dan kursi, papan tulis dan alat-alat belajar lainnya
terasa amat sederhana. Namun, semangat belajar mahasiswa boleh dibilang luar
biasa. "Karena katong ingin kepastian, maka harus serius kuliah," kata Sehat (19),
mahasiswi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan MIPA, yang diiyakan oleh
dua rekannya, Suparti dan Juleha.
Di depan Kampus Alternatif, terdapat sekolah menengah umum yang bangunannya
dulu bekas penjara. Hari itu para siswa belajar. Sementara di sepanjang trotoar depan
Kampus Alternatif atau seberang Rumah Sakit Tentara terdapat pasar kaget yang
menjual berbagai kebutuhan sandang dan perabotan rumah tangga. Seperti terkena
"imbas" Kampus Alternatif yang bebas "garis demarkasi", pasar kaget ini pun
merupakan wilayah di mana masyarakat Kristen dan Muslim bisa saling bebas
berbaur.
Rum Suneth, aktivis Forum Rekonsiliasi bernama "Baku Bae Maluku" saat ditemui
Kompas di tempat terpisah mengatakan, zona-zona baku bae seperti wilayah
kampus, pasar, toserba, harus dijadikan tempat terjadinya rekonsiliasi alamiah antara
masyarakat Muslim dan Kristen. Rekonsiliasi yang tanpa rekayasa.
Merujuk pada polling (jajak pendapat) yang pernah dilakukan "Bakubae Maluku" pada
pertengahan tahun 2001 terhadap 9.000 responden di Ambon, hanya 1,5 persen
responden yang menyatakan ingin agar konflik terus berlangsung. "Selebihnya
mereka ingin agar konflik itu berhenti. Bisa saja polling ini dianggap tidak valid, namun
begitulah adanya," katanya.
Hanya dengan berhenti berkonflik, mahasiswa seperti Holi, Suwardi, Suparti, Juleha,
dan Sehat, akan lebih mendapat kepastian karena dapat menyelesaikan kuliah
dengan tenang di Kampus Alternatif yang nyaris tanpa sekat. Memang, bila kelak
pembauran Obet dan Acang sudah terjadi secara utuh seperti sebelum terjadinya
konflik, untuk apa lagi ada Kampus Alternatif? (Pepih Nugraha)
© C o p y r i g h t 1 9 9 8 Harian Kompas
|