KOMPAS, Jumat, 18 Januari 2002
Wali Kota dan DPRD Ambon Temui Ketua DPR
Desak Pemerintah Pusat Tangani Konflik Ambon
Jakarta, Kompas
Wali Kota Ambon Yopy Papilaja dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) Kota Ambon Lucky Wattimury, Kamis (17/1), menemui Ketua DPR Akbar
Tandjung. Mereka meminta bantuan DPR untuk mendesak pemerintah pusat
menyelesaikan konflik Ambon yang sudah berlangsung tiga tahun.
Dalam pertemuan itu Tandjung didampingi Ketua Komisi I DPR Ibrahim Ambong
(Fraksi Partai Golkar), Wakil Ketua Komisi I Astrid Susanto (Fraksi Partai Demokrasi
Kasih Bangsa) dan Wakil Ketua Komisi II LT Sutanto (Fraksi Kesatuan Kebangsaan
Indonesia). Tercatat dalam rombongan dari Ambon itu anggota DPRD Provinsi Maluku
asal pemilihan Kota Ambon dan anggota DPRD Kota Ambon.
Menanggapi masukan dari masyarakat Ambon tersebut, Tandjung mengatakan, akan
meneruskannya kepada komisi-komisi yang menjadi mitra kerja pemerintah.
Secara terpisah, pengacara, aktivis gerakan Baku Bae Maluku, dan Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jakarta mengadakan jumpa pers
sehubungan akan diselenggarakannya pertemuan para pengacara Maluku di Jakarta
19-23 Januari mendatang.
Menurut mereka, penyelesaian konflik sosial tidak bisa dilakukan hanya dengan
melakukan proses maaf-memaafkan tanpa proses penegakan hukum dan upaya
menemukan kebenaran untuk mengungkapkan sebab-musabab terjadinya konflik.
Jadwal Komisi DPR
Menurut Ketua Komisi I Ibrahim Ambong, tanggal 28 Januari (malam) Komisi I dan II
sudah menjadwalkan rapat dengan Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan
(Menko Polkam) Susilo Bambang Yudhoyono, dengan Kepala Kepolisian RI (Polri)
Jenderal (Pol) Da'i Bachtiar tanggal 29 Januari, dan dengan Panglima Tentara
Nasional Indonesia (TNI) Laksamana Widodo AS tanggal 30 Januari. LT Sutanto
menambahkan, pada tanggal 28 Januari (siang) Komisi II menjadwalkan rapat dengan
Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Dalam paparannya, Papilaja mengatakan, rombongan dari Ambon ini sebelumnya
sudah menemui Menko Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Jusuf Kalla, dan berharap bisa
bertemu Presiden Megawati Soekarnoputri dan Wakil Presiden Hamzah Haz.
Menurut Papilaja, konflik di Provinsi Maluku itu sekarang terpusat di Kota Ambon.
"Masyarakat Kota Ambon sebetulnya sudah capek, tetapi ada orang-orang yang
memanfaatkan apa yang terjadi untuk kepentingan ekonomi, mungkin juga politik.
Misalnya pembakaran Kantor DPRD Ambon," tuturnya.
Oleh karena itu, mereka datang lagi ke Jakarta untuk minta perhatian agar
pemerintah pusat menangani konflik Ambon. "Ada satu hal yang belum dibuat
pemerintah pusat, yaitu agenda komprehensif tentang penyelesaian Maluku, dengan
berbagai skenario untuk berbagai aspek, dan juga waktu dan siapa yang
melaksanakannya," tambah Papilaja.
Lucky Wattimury menambahkan, perhatian pemerintah pusat terhadap masalah
Ambon jauh lebih berkurang daripada masalah Aceh, Papua, dan Poso, sehingga
kesan di masyarakat seolah-olah Maluku adalah daerah kelas dua. Masalah tersebut
ditambah dengan fenomena konflik internal aparat TNI dan Polri, seperti kasus
terakhir antara marinir dan Brigade Mobil (Brimob). "Kami minta kepada Pimpinan
DPR untuk mengoordinasikan hal ini dengan Panglima TNI dan Kepala Polri, sehingga
persoalan internal tidak terjadi seperti di Ambon," katanya.
Wattimury menambahkan, penerapan darurat sipil di Maluku terkesan memunculkan
dualisme kepemimpinan. Di satu sisi ada Gubernur Maluku sebagai Penguasa
Darurat Sipil (PDS), tetapi pada sisi lain operasionalisasi (di lapangannya) tidak
penuh berada di tangan PDS. "Terutama pada sisi keamanan, pada saat Gubernur
memerintahkan Kepala Polda atau Panglima Kodam untuk melaksanakan
tugas-tugas PDS, ternyata tidak jalan. Malah yang lebih aneh, tunggu konsultasi dulu
dengan Jakarta. Yang menjadi PDS itu Panglima TNI atau Kepala Polri?" ujarnya.
Ia meminta agar DPR mengusulkan kepada pemerintah pusat agar ada keputusan
presiden (keppres) yang memberi kewenangan penuh PDS kepada Gubernur Maluku,
sehingga Panglima Kodam Pattimura dan Kepala Polda Maluku berada di bawah
Gubernur selaku PDS tidak lagi menunggu konsultasi dengan Jakarta.
Wattimury juga mengusulkan agar wilayah darurat sipil diperkecil, karena Maluku
Tenggara dan Maluku Tengah sudah mulai aman. "Tinggal Kota Ambon yang jadi
pusat konflik Maluku," katanya.
Konsep Malino
Secara terpisah, Ichsan Malik, fasilitator gerakan Baku Bae Maluku menyatakan,
konsep Malino tidak bisa dibawa begitu saja untuk menyelesaikan konflik di Maluku
karena keluasan wilayah konflik dan kompleksitas yang dihadapi. Menurut Ichsan,
pertemuan tokoh-tokoh yang berkonflik di Maluku telah beberapa kali dilakukan,
terakhir Desember 2000 di Yogyakarta. Dalam pertemuan itu masing-masing pihak
dikonfrontasikan, saling membuka kartu, dan berlangsung proses negosiasi.
Ichsan menyambut baik keinginan Jusuf Kalla untuk menyelesaikan konflik di
Maluku, namun ia mengharapkan agar proses dari atas bisa diketemukan dengan
proses yang terjadi dari bawah. Penyelesaian konflik Maluku, lanjutnya, harus
dilakukan di Ambon, bukan di Malino, dan harus mengakomodasi aspirasi dari bawah
dengan menempatkan Gubernur Maluku sebagai pemimpin musyawarah rakyat
Maluku. (sah/wis/bur)
© C o p y r i g h t 1 9 9 8 Harian Kompas
|