KOMPAS, Kamis, 21 Februari 2002
Penyelesaian Konflik Ambon Jangan Tinggalkan
Masyarakat
Jakarta, Kompas
Respons negatif masyarakat Ambon terhadap hasil pertemuan Malino II seharusnya
menyadarkan pemerintah bahwa penyelesaian konflik di Maluku tidak bisa
diselesaikan sendiri oleh pemerintah dengan mengesampingkan peran masyarakat.
Pemerintah sebaiknya melibatkan kelompok-kelompok masyarakat yang telah
(merintis) mencari jalan untuk menyelesaikan konflik di Ambon, sehingga muncul
sinergi untuk menghentikan konflik dan merehabilitasi masyarakat Ambon.Demikian
dikemukakan pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Tri
Ratnawati dan tokoh masyarakat Ambon Piet Manoppo kepada Kompas di Jakarta,
Rabu (20/2). Pernyataan senada dikemukakan dua pengacara Ambon, Munir Kaeroti
dan Anthony Hatane.
"Reaksi negatif masyarakat Ambon sangat wajar. Mereka seperti anak-anak sakit
yang ngambek, karena merasa tidak diberi peran. Pemerintah mengatakan selesai,
tetapi masyarakat melihat tidak ada persetujuan yang dicapai dan belum melihat
langkah-langkah konkret untuk mereka," kata Manoppo.
Menurut dia, pertemuan untuk menyelesaikan konflik di Maluku mestinya
diselenggarakan di Ambon, karena dengan begitu penyelesaiannya tidak bersifat
elitis. Dengan diselenggarakan di Ambon, akan segera diketahui kelompok-kelompok
yang bereaksi negatif maupun positif dan dapat segera didengar suara mereka. Akan
tetapi, kata Manoppo, bagaimanapun masyarakat Ambon perlu berterima kasih
kepada pemerintah yang telah berinisiatif menyelenggarakan pertemuan Malino. Yang
perlu segera dilakukan kesepakatan Malino ditindaklanjuti dengan dialog-dialog yang
melibatkan berbagai komponen masyarakat yang menjadi korban.
"Tanpa melibatkan masyarakat, mereka yang menjadi korban hanya akan menjadi
obyek dalam manajemen konflik," kata Manoppo.
Tri Ratnawati berpendapat, meski agak terburu-buru pertemuan Malino II merupakan
sebuah awal yang baik. Melihat reaksi negatif yang disampaikan masyarakat,
pemerintah sebaiknya segera melakukan pendekatan terhadap kelompok-kelompok
yang merasa tidak puas dan tidak dilibatkan dalam pertemuan tersebut. Dialog yang
melibatkan akar rumput perlu dilakukan bersamaan dengan langkah-langkah konkret
untuk mengurangi beban masyarakat yang menjadi korban, dengan mengembangkan
proyek-proyek yang dikerjakan bersama-sama.
"Soal berdamai tidak boleh dipaksakan, pelan-pelan, dan tidak perlu terburu-buru.
Hasil pertemuan Malino juga jangan dimentahkan, tetapi sebaiknya diteruskan
dengan dialog sampai di akar rumput," kata Ratnawati.
Ia juga mengingatkan agar pemerintah tidak terburu-terburu melakukan represi
terhadap kelompok-kelompok garis keras yang keberatan terhadap hasil kesepakatan
Malino. Pemerintah justru sebaiknya mengajak mereka berbicara sejauh mereka tidak
melakukan kekerasan. Akan tetapi, bila ada kelompok-kelompok yang melakukan
tindak kekerasan, pemerintah mesti tidak segan-segan melakukan tindakan hukum.
Ratnawati juga menekankan perlunya investigasi dilakukan untuk mengungkapkan
akar masalah konflik di Maluku. Orang Ambon, kata Ratnawati, pada dasarnya meski
berbeda agama dapat hidup rukun karena ikatan-ikatan tradisional di antara mereka.
"Faktor ketiga dalam konflik di Maluku perlu dicari, kenapa tiba-tiba orang Ambon
saling berkelahi yang mengakibatkan ribuan orang tewas. Tanpa ada investigasi akan
terus ada kecurigaan di antara orang Ambon, maupun antara orang Ambon dengan
Pemerintah Jakarta," kata Ratnawati.
Konflik Ambon, lanjut Ratnawati, terkait erat dengan kejatuhan Soeharto dan konflik
antar-etnis di Ketapang Jakarta yang disusul dengan pengembalian preman-preman
ke Ambon. Karena itu, tim investigasi tidak boleh melibatkan aparat militer, polisi,
maupun semua pihak yang berkepentingan untuk mementahkan hasil investigasi.
Munir Kaeroti mengemukakan, pada awalnya ada resistensi dari masyarakat Ambon
terhadap hasil pertemuan Malino. Penolakan dari masyarakat, menurut Munir,
sebenarnya bukan terhadap hasil pertemuan itu, tetapi lebih karena tokoh-tokoh yang
dilibatkan dianggap belum mewakili kelompok-kelompok yang ada. "Masyarakat
terpaksa menerima karena ada ancaman, siapa pun yang tidak setuju hasil
pertemuan Malino dijadikan musuh bersama," kata Munir.
Senada dengan Munir, Anthony mengemukakan bahwa ada pro kontra di kalangan
masyarakat dalam merespons hasil pertemuan Malino. Namun, kekecewaan dari
masyarakat terutama karena seakan-akan ada intervensi dari pemerintah bahwa siapa
pun yang tidak setuju dengan hasil pertemuan Malino akan berhadapan dengan
negara. "Padahal, hasil pertemuan Malino hanya menyalahkan komunitas Kristen dan
Muslim di Ambon. Seakan-akan tidak ada tanggung jawab negara dalam masalah
ini," papar Anthony. (wis)
© C o p y r i g h t 1 9 9 8 Harian Kompas
|