The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Jangan Rusuh Lagi, Kami Sudah Tak Kuat Lari...


KOMPAS, Rabu, 27 Februari 2002 Kompas

Panti Werdha Madago Poso
Jangan Rusuh Lagi, Kami Sudah Tak Kuat Lari...

HARI merambat malam di Tentena. Menyusuri lorong memanjang, tampak ruang-ruang gelap akibat lampu-lampu yang dipadamkan oleh penghuni panti sebelum mereka berangkat tidur. Satu-dua lampu masih menyala di beberapa wisma.

Dalam ruang santai berukuran 4x4 meter persegi yang termasuk dalam kompleks seluas 4,18 ha itu, duduk empat orang tua dengan televisi hitam putih 14 inci yang terpancang pada stasiun TVRI saja sebagai pusat perhatian. Seolah mewakili sesama penghuni Panti Sosial Tresna Werdha Madago, Tentena, Fen Hendrik (77) hanya bisa berkata lirih sembari tersenyum, "Kalau bisa, jangan sampai ada keributan lagi. Kami yang tua-tua ini sudah tidak kuat lari."

Mengaku masih rutin mendengarkan siaran berita, pria berdarah campuran Manado-Portugis-Gorontalo itu menyatakan bahwa berita-berita kerusuhan memang selalu membuat mereka khawatir. Lebih-lebih karena lokasi panti yang persis di jalur utama Poso-Tentena. Dengan demikian, orang yang berniat tidak baik pun akan lebih gampang masuk. "Padahal, apa urusannya dengan kami di sini ini," kata Hendrik.

Pernyataan itu disambung Jago Sawane (64), yang mengatakan bahwa orang-orang tua yang masuk ke panti itu hanya menginginkan ketenangan. Mereka yang datang dari berbagai daerah di Sulawesi Tengah itu memilih masuk ke panti dengan alasan yang beragam karena beranggapan akan bisa menghabiskan masa tuanya dengan tenang di panti itu. "Kalau soal kesenangan, mungkin kami sudah mendapatkannya dulu-dulu, sebelum kami masuk ke panti ini," kata Sawane yang menemukan jodoh kedua dari sesama penghuni panti.

Setiap pagi, selepas bangun tidur, para penghuni langsung dibebaskan untuk melakukan aktivitasnya. Ada yang memilih bertani di bagian belakang panti, sebagian yang lain menganyam di depan ruangan mereka. Malamnya, mereka yang masih kuat untuk menahan kantuk boleh menghabiskan waktunya dengan bermain kartu. Semua kegiatan dilakukan dalam ukuran "kalau mau". Praktis, "kewajiban" yang harus mereka turuti adalah mengikuti jadwal makan yang mesti teratur tiga kali sehari.

Untuk makan pun, pengurus panti pun tidak bisa memaksa mereka untuk terlalu ketat mengkuti jadwal. Makan malam yang semestinya dijadwal antara pukul 18.30-19.30 bisa molor sekehendak mereka. Keinginan mendapatkan ketenangan dan kebebasan menjadi salah satu pertimbangan pengurus untuk berbesar hati merenggang tenggat seperti itu. "Pokoknya, semua dilakukan kalau mereka mau saja. Kami tidak akan pernah memaksa mereka," kata Johan Malumpi (40), Kepala Bagian Penyantunan Panti Werdha Madago.

Jika mencari ketenangan, lokasi di Madago memang tidak keliru. Masuk di wilayah pegunungan, dengan lahan luas dan tata bangunan yang apik bantuan dari Jepang, panti yang mulai melayani santunan semenjak tahun 1981/1982 itu pilihan lokasinya yang sekarang ini memang dilakukan dengan pertimbangan matang. "Setelah dilakukan survai di berbagai daerah di Sulawesi Tengah, kondisi geografis dan penerimaan masyarakat menjadi pertimbangan penting untuk menempatkan panti ini di Madago," kata Kadir.

Posisinya yang berada di samping akses utama Poso-Tentena menjadikan keluarga para penghuni bisa dengan leluasa mengunjungi tetuanya. Di bagian belakang panti, terhampar tanah kosong yang siap digarap menjadi lahan pertanian.

PANTI yang terletak pada sisi jalan poros sekitar empat kilometer menuju pusat Kota Tentena itu menampung 100 orang yang terdiri dari 44 pria dan 56 wanita. Di antara mereka terdapat 14 pasang suami-istri dengan sembilan pasang di antaranya menemukan jodoh keduanya saat berada di panti ini. Saat ini, penghuni yang tertua berusia 99 tahun. Total jumlah seratus orang tersebut relatif tidak berubah meski sebenarnya masih ada ruangan yang masih bisa dimanfaatkan. Untuk mencari calon penghuni baru yang memenuhi syarat seperti berusia di atas 60 tahun, berbadan sehat tanpa mengidap penyakit menular, serta menyertakan surat keterangan dari keluarga dan kepala desa setempat pun tidak sulit.

Hanya saja, seperti dituturkan oleh Kepala Panti Abdul Kadir Sidik kepada Kompas, panti yang pengelolaannya berada di bawah Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) itu setiap tahunnya hanya memperoleh anggaran berkisar Rp 200 juta. Yang selalu dicemaskan, kondisi keuangan bantuan Pemerintah Provinsi Sulteng sebesar sekitar Rp 200 juta acap kali mulur tersalur. Sementara, untuk kebutuhan per orang per hari hanya dianggarkan Rp 7.500. Dana kesehatan per orangnya hanya Rp 35.000 untuk sepanjang tahun. Anggaran kematian setahunnya hanya dialokasikan maksimal delapan orang dengan biaya masing-masing Rp 300.000. "Padahal, untuk awal tahun 2002 ini saja sudah ada dua penghuni panti yang meninggal," kata Kadir.

Akibatnya, pengurus panti pun dipaksa untuk berpikir teliti dan bertindak cermat membelanjakan anggarannya yang terbatas itu. Namun, Kadir tidak mengelak jika sekarang kondisi panti sekarang masih jauh lebih baik ketimbang kerusuhan berbau SARA yang mengoyak-ngoyak Poso. Saat itu, posisi Panti Madago yang berada di jalur utama tergolong rawan, meskipun tidak ada serangan yang merembet langsung ke dalam panti.

Namun, tidak ayal, imbasnya langsung terasa bagi penghuni panti yang menjadi takut keluar dan tidak bisa memasarkan hasil kerajinan tangannya dengan bebas. Para petugas panti diminta tidak meninggalkan para penghuni, serusuh apa pun di lingkungan sekitar mereka.

Bahkan, seperti yang pernah dialami Yusuf Parape, untuk mengambil dana penutup kebutuhan operasional dan gaji pegawai, petugas panti ini harus berjalan kaki ke Palu. Tidak adanya angkutan umum yang melintas dan minimnya pemilik kendaraan pribadi yang mau lewat di Tentena menjadikan Yusuf harus melakukan perjalanan Tentena-Palu lewat jalur alternatif yang sulit ditembus. "Empat hari saya berjalan kaki ke Palu, lewat hutan-hutan," cerita Yusuf.

Yang makin memberatkan, harga kebutuhan pokok langsung melambung tinggi. Kebutuhan pokok yang sulit diperoleh di Tentena, seperti ikan, sabun, dan minyak harganya langsung melonjak berlipat tiga. "Sebungkus mie instan pun sudah menjadi Rp 2.500," kenang Kadir.

Kini, selepas Deklarasi Malino 20 Desember makin tersebar ke semua kalangan di Poso, setiap terbit fajar dan hari merambat malam, para penghuni Panti Werdha Madago bisa kembali merasakan damai, menikmati masa-masa senja mereka dengan tenang. "Kami senang di sini dan semoga tidak ada lagi gangguan," kata M Rukayah Bunai (80).

Bagi pengurus, mengelola panti dalam suasana damai pun membuat mereka bekerja maksimal. Suka-duka membantu orang tua yang berusia senja-yang kadang-kadang kembali bertingkah laku seperti kanak-kanak-bisa dijalani dengan suasana riang yang tidak pernah diperoleh semasa kerusuhan terus berlangsung.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kekhawatiran sedikit mewarnai kehidupan mereka di Tentena. Soalnya, "Kami takut, orang so lari, kami belum apa-apa," kata Fen Hendrik sembari terkekeh memperlihatkan mulutnya yang ompong. (p01)

© C o p y r i g h t   1 9 9 8   Harian Kompas
 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/baguala67
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044