ManadoPost Online, 20/02/2002
Konflik Maluku Pasca Pertemuan Malino II
Kubu Kristen-Islam Tetap Rindukan Perdamaian
NOVI PINONTOAN, Ambon
Sosialisasi hasil-hasil perjanjian Malino II di Maluku memang butuh waktu dan
kesabaran. Tapi, kubu Islam dan Kristen sepakat tidak bakal patah arang.
KAMIS pagi, 14 Februari. Hujan mengguyur cukup deras di Kota Makassar, Sulawesi
Selatan. Hawa dingin menusuk kulit. Namun, hawa dingin itu kian menyejukkan hati.
Delegasi Islam dan Kristen harus meninggalkan Makassar untuk balik ke Ambon.
Kedua kubu merasa plong setelah dua hari sebelumnya menghasilkan 11 poin
kesepakatan damai Malino II. Suasana perdamaian sudah terasa. Kedua kubu yang
berjumlah sekitar 100 orang, yang sebelumnya bertikai, ada dalam satu pesawat
Hercules milik TNI-AU. Mereka membaur dan berbincang akrab. Mereka merasa
bahagia telah menghasilkan traktat damai untuk mengakhiri lebih dari tiga tahun
pertikaian di bumi Maluku.
Dua jam perjalanan dari Lanud Hasanuddin, Makassar, menuju Ambon cukup
membuat penumpang pesawat Hercules TNI-AU kegerahan. Ada yang tertidur pulas
dan ada juga yang berusaha memejamkan mata, tapi tak mampu. Sisanya berbagi
cerita dan bercanda.
Pendeknya, di dalam Hercules itu, tidak ada lagi sekat di antara kubu Islam dan
Kristen. Semuanya cair. Tak ada ketegangan. Malahan, di pintu belakang pesawat,
anggota kubu Islam dan Kristen berbagi cerita sambil merokok. "Beta mau merokok
di belakang, permisi," kata Drs Kuba Karepesina, anggota delegasi Islam. Dia
kemudian asyik bercanda dengan Drs Izack Saimima, kepala biro humas Pemprov
Maluku.
Tak terasa, rombongan pun mendarat di bandara Pattimura Ambon, sekitar pukul
15.00 WIT. Siang itu, di Ambon, cuaca ternyata panas. Rombongan tetap bersama.
Mereka kemudian menuju dermaga Lanud Pattimura, lantas memakai angkutan laut
di Teluk Ambon menuju ke Kantor Gubernur Maluku.
Sayangnya, insiden kecil terjadi. Mobil yang ditumpangi Ustad Abdul Wahab Polpoke
(ketua MUI Maluku) melintasi Jalan Sultan Babullah, tidak jauh dari Masjid Raya Al
Fatah, dilempari batu oleh sekumpulan massa, sehingga kacanya pecah. Ketegangan
sempat terjadi antara rombongan delegasi Islam dengan warga yang kelihatan sedikit
emosional.
Aparat keamanan pun sempat melepas beberapa tembakan peringatan guna
membubarkan massa. Apakah massa Muslim itu menolak kesepakatan Malino II?
Tidak juga. Kalau boleh dikata, Muslim yang melakukan protes itu adalah mereka
yang masih perlu penjelasan atau sosialisasi atas kesepakatan-kesepakatan Malino
II.
Sebagian besar adalah pengungsi korban tragedi 19 Januari 1999, yakni insiden besar
saat Idul Fitri yang memulai konflik SARA di Maluku. "Aksi massa ketika kami tiba di
Ambon sebenarnya bukan murni keinginan warga. Aksi itu sengaja dilakukan orang
yang sakit hati karena tak diikutsertakan dalam tim delegasi perundingan Malino,"
papar Thamrin Ely, ketua delegasi Islam dalam perundingan Malino II, kepada
wartawan JPNN Nasri Dumula.Kedua delegasi kemudian tiba di halaman kantor
gubernur Maluku. Mereka diterima Wagub Bidang Kesra Dra Ny. Paula Renyaan dan
Kapolda Maluku Brigjen Pol. Sunarko D.A. Perpisahan pun kemudian harus terjadi di
antara mereka. Masing-masing harus kembali ke rumah masing-masing. Pelukan dan
jabat tangan mewarnai perpisahan itu.Demi keamanan setelah insiden dekat masjid
Al Fatah itu, Ustad Abdul Wahab Polpoke, yang bertempat tinggal di kawasan
Diponegoro, harus dikawal aparat Brimob. Sedangkan ketua delegasi Thamrin dan
beberapa lainnya sempat menginap di mess
gubernuran Maluku di kawasan Manggadua, yang merupakan kawasan komunitas
Kristen."Insiden itu dan benjol-benjol kecil, tak apa. Sudah risiko bagi kami untuk
mengakhiri konflik," tutur Thamrin saat itu.Di komunitas Kristen sendiri, meskipun tak
terjadi insiden, bukan berarti kesepakatan Malino II tersebut bisa diterima tanpa
tantangan. Tantangan pertama, rata-rata, mempersoalkan istilah dan penjelasan pada
poin enam dari 11 butir Perjanjian Maluku di Malino. Misalnya, istilah "Kristen RMS"
dan "Laskar Kristus". Istilah itu, menurut para penentang, berarti mencap seluruh
orang Kristen adalah RMS. Selain itu, mereka juga menolak sebutan "Laskar Kristus"
karena laskar itu dinilainya tidak pernah ada dalam komunitas Kristen, serta terlalu
menyeret-nyeret nama Tuhan.
Sejatinya, bagaimanakah bunyi poin enam itu? Tidak lain, membentuk tim investigasi
independen nasional untuk mengusut tuntas peristiwa 19 Januari 1999, FKM, RMS,
Kristen RMS, Laskar Jihad, Laskar Kristus, pengalihan agama secara paksa dan
pelanggaran HAM, dan lain-lain sebagainya demi tegaknya hukum."Ada
kesalahpahaman soal istilah. Karena beberapa kalangan melihat hanya pada istilah
itu tanpa melihat keseluruhan penjelasan poin enam. Dan, itu adalah tudingan atau
isu yang dituduhkan kepada kelompok Kristen. Nah, apakah benar atau tidak,
pemerintah dipersilakan untuk membentuk tim investigasi independen nasional," ujar
ketua delegasi Kristen, Toni Pariela.
Anggota lain pada delegasi Kristen, Hengky Hattu SH, menjelaskan, pemakaian
istilah-istilah itu bukanlah vonis. "Itu tuduhan yang harus dibuktikan. Karena selama
ini kedua kelompok saling menuduh. Nah, apakah benar atau tidak tudingan itu, harus
diusut dan diproses sesuai hukum atau pemerintah mengklarifikasi atau kalau tidak
benar, ada proses permintaan maaf," tandas Hengky.
Seperti penuturan Thamrin bahwa hasil kesepakatan Malino masih butuh sosialisasi
di kalangan warga Muslim, Toni juga melihat kebutuhan serupa di kalangan warga
Kristen. Menurut Toni, sosialisasi terus dilakukan sampai ke masyarakat paling
bawah, hingga ke pelosok desa. Mengapa?
Satu sebab, perjanjian itu dilakukan atas kesadaran kedua komunitas. Tidak ada
tekanan dari siapa-siapa. "Harap tahu, ini hasil kompilasi aspirasi kedua komunitas.
Sebenarnya ada 17 butir aspirasi, 15 diantaranya punya persamaan. Hanya dua yang
tidak. Lantas, mereka digodok perwakilan kedua komunitas dan pemerintah,
kemudian dirumuskan, dan akhirnya lahirlah 11 butir perjanjian itu," ungkap
Toni.Setiba di Ambon, delegasi Kristen keesokan harinya (15/2) melakukan
sosialisasi hasil-hasil Malino II itu melalui Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM),
Keuskupan Amboina dan denominasi gereja lainnya. Para pendeta, pastor, majelis
jemaat dan perangkat pelayan, diberi penjelasan di Gereja Maranatha, Jalan
Pattimura. Sabtu (16/2), bertempat di gereja yang sama, anggota delegasi kristen
mensosialisasikan perjanjian tersebut kepada anggota jemaat.Pertemuan tersebut
berjalan alot dengan diwarnai berbagai pertanyaan kritis. Tapi, setelah diberi
penjelasan, rata-rata peserta dapat memahaminya.
Selain anggota delegasi kristen, turut hadir Kapolda Maluku Brigjen Pol. Sunarko
Danu Arianto.
Hasilnya, dari hari ke hari memang terasa. Ambon kian sejuk dengan napas
perdamaian. Soal beberapa insiden kecil pasca perjanjian Maluku di Malino itu?"Kita
tetap maju. Sebab, kita sudah sampai pada sebuah titik terang. Kita tidak mungkin
kembali lagi," tegas Toni.Perjanjian perdamaian itu, lanjutnya, harus dipertahankan,
apa pun risikonya. Sebab itu, soliditas anggota tim dan seluruh masyarakat yang
mencintai kedamaian dan ketenangan harus dibangun untuk melawan orang yang
secara sengaja menunjukan itikad tidak baik.
"Kalau ada riak-riak kecil, seperti dibilang Gubernur Palaguna (gubernur Sulsel),
anggaplah itu bunga-bunga perdamaian serta sebagai tantangan yang menjadikan kita
lebih dewasa dalam proses ini," tutur Toni.Kapolda Maluku Brigjen Pol Sunarko DA
menegaskan, semua pihak harus menerima 11 butir kesepakatan perundingan
Maluku di Malino. Maka, proses sosialisasi akan diintensifkan. Menurut Kapolda,
yang kemarin didampingi Gubernur Maluku DR Ir Saleh Latuconsina, Wagub Maluku
Bidang Kesra Dra Paula Renyaan, Ketua Delegasi Muslim Thamrin Ely dan Ketua
Delegasi Kristen Toni Pariela MA itu, tahapan sosialisasi berlaku hingga 1 Maret,
sedangkan penghentian konflik hingga 1 Mei.
Maluku memang sudah bisa menatap masa depan cerah. Tapi, berapa korban jiwa
kerusuhan di Maluku sebenarnya? Ini memang sulit dan tidak ada data yang valid.
Namun dari data posko darurat sipil diperkirakan sedikitnya 6.000 orang yang
meninggal, rumah penduduk yang hancur/terbakar yang tercacat 28.000 unit,
pengungsi sekitar 330.000 orang yang tinggal di barak-barak dan lokasi
penampungan.Jumlah itu Belum termasuk ratusan sekolah, rumah ibadah (gereja dan
masjid), serta tiga kampus hancur/dibakar yaitu Unpatti, Politeknik Negeri Ambon dan
Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM), dua rumah sakit yaitu RS Otto Kuyk
dan RS Bersalin Polri di kawasan Tantui."Untuk jumlah rumah penduduk saja belum
termasuk sarana umum, kalau pemerintah hanya bisa bangun 1.000 rumah per tahun,
maka kita harus butuh 28 tahun untuk membangun rumah orang Maluku yang hancur
dan terbakar," ungkap Gubernur Maluku Dr Ir. Saleh Latuconsina.(jpnn)
Risbang © Copyright 1996, MANADO POST Online
|