The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

APA BETUL CUMA 4 KELOMPOK??


Masariku Network

APA BETUL CUMA 4 KELOMPOK??

Halo MASARIKU !!

Pangkolkaops, Brigjen Moestopo bilang: ".....pasca-Kesepakatan Malino II masih ada sejumlah kelompok yang tidak mendukung.

Antara lain, karena alasan politik. Kemudian kelompok yang kerap menggunakan kekacauan ala premanisme, kelompok oknum aparat yang melakukan desersi, dan kelompok yang menikmati keuntungan ekonomi akibat konflik....."

Sebetulnya bukan cuma 4 kelompok. Dari data hasil pengamatan terhadap jalannya konflik selama tiga tahun ini, sumber kekacauan ada pada dua kategori, yaitu "orang/kelompok tertentu", dan "situasi/keadaan tertentu". Karena itu bukan saja kelompok masyarakat yang dituduh masuk dalam kategori sumber kekacauan, tetapi harus dimasukan juga "situasi tertentu" sebagai sumber kekacauan. Mengenai kelompok-2 sumber-2 kekacauan masih ada tambahan beberapa kelompok kategoris yaitu:

Kelompok ke-5, adalah mereka yang kuatir tentara menggunakan alasan "penolakan hasil Malino" untuk bertindak represif sehingga jatuh korban yang tidak perlu. Mereka akan meributkan bagaimana cara tentara bertindak mengatasi aspirasi rakyat yang tidak sejalan dengan Malino. Meributkan hal seperti ini adalah hak rakyat. Jangan sampai terjadi, rakyat yang menggunakan haknya dianggap sebagai sumber keributan, sama dengan kelompok orang yang ribut untuk merampas hak orang lain. Karena itu kebijakan operasi dan pengendaliannya harus diketahui masyarakat. Sebagai Jenderal/Pangkolaops, Moestopo pasti tidak tahu bagaimana ulah prajurit di lapangan.

Kelompok ke-6, yaitu mereka yang bisa membayar supaya tidak digeledah. Mereka akan ribut jika setelah membayar, mereka tetap digeledah oleh pasukan lain yang tidak terima bayaran. Mereka akan lebih ribut lagi jika harus membayar semua pasukan yang melakukan sweeping, tetapi tetap menggeledah dan merampas senjata mereka.

Kelompok ke-7, yaitu mereka yang kehilangan barang berharga waktu rumah mereka digeledah. Yang ini 'kan sering terjadi setelah konflik berjalan setahun. Begitu mereka melapor kepada pimpinan tentara, yang ditanya adalah nama penggeledah, kesatuan, pangkat dll yang sering tidak mereka ingat. Karena lupa nama, kesatuan, pangkat dll, laporan mereka tidak ditanggapi. Ini sumber keributan. Sudah kehilangan barang berharga, mereka masih harus kehilangan kepercayaan dari aparat yang menerima laporan mereka.

Kelompok ke-8, yaitu oknum atau kelompok militer yang tahu bahwa kalau mereka mengacau dan tertangkap/diketahui/dilaporkan, mereka akan disebut desertir (tentara/polisi yang desersi). Tetapi kalau mereka tidak tertangkap/diketahui/dilaporkan, mereka akan mengacau supaya mereka dibutuhkan untuk kerja pengawalan dlsbnya. Ada pertanyaan penting di sini, yaitu: "Setelah kerusuhan berlangsung selama tiga tahun, mengapa desersi bisa tetap terjadi; mengapa para desertir yang sudah diketahui kesatuannya masih bisa bergerak bebas di wilayah konflik??.

Kelompok ke-9, yaitu kelompok "aparat keamanan lengah". Bagaimanapun tanggungjawab terakhir keamanan terletak pada aparat keamanan. Jangan sampai karena alasan sudah ada perjanjian damai, aparat lengah mengawasi keamanan. Kasus penembakan bis pegawai kemarin adalah juga karena di "wilayah bahaya" yang dilewati bis pengamanan kendor. Padahal aparat tahu, meskipun sudah ada perjanjian damai, masih ada banyak senjata di tangan rakyat; masih ada "koboi-koboi agamis" yang berkeliaran dengan senjata.

Kemudian "situasi" yang bisa menjadi sumber keributan adalah antara lain:
(1) Tindakan represif yang berlebihan.
(2) Penegakan hukum yang tidak adil.
(3) Perbaikan lingkungan-2 yang rusak secara tidak adil.
(4) Tuduhan-2 tidak beralasan dari satu kelompok ke kelompok masyarakat lain.

Yang terakhir, ada-tidaknya kekacauan (terbatas atau meluas), sangat ditentukan oleh berhasil-tidaknya imbauan maupun tindakan penyerahan/pelucutan senjata. Aparat keamanan harus mengawasi kemungkinan senjata/bahan peledak dan yang sejenis; yang ada sekarang di tangan rakyat, dipindahkan tempatnya dalam jangka waktu 3 bulan ini. Karena tidak ditemukan senjata di tangan rakyat pada tempat yang digeledah misalnya, aparat keamanan nanti mengumumkan bahwa hasil geledah/razia/sweeping dll telah berhasil. Ini kekeliruan bahkan bisa disebut kesengajaan menganggap senjata-2 tidak lagi berada di tangan yang tidak berhak. Harus diingat bahwa prinsip penyerahan atau pelucutan senjata adalah agar senjata dan yang sejenis tidak lagi ada di tangan rakyat. Kalau nanti senjata-2 itu berpindah tempat, maka sebagai tindakan follow-up perundingan Malino, penyerahan/pelucutan senjata harus dianggap gagal. Karena "berpindah tempat" tidak sama dengan "berpindah tangan"; apalagi jika pindah-tangan terjadi bukan dari "yang tidak berhak" kepada "yang berhak", tetapi dari "yang tidak berhak" kepada "yang tidak berhak". Hal ini sangat mungkin terjadi. Nah, kalau himbauan penyerahan senjata dan kemudian pelucutan senjata gagal, siapa yang harus bertanggungjawab ?? Jawabannya adalah: APARAT KEAMANAN. Tapi jawaban ini pasti ditolak aparat, karena yang paling gampang disalahkan adalah masyarakat. Atau, pikiran ini yang salah??

Salam,

dqm

MASARIKU NETWORK
 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/baguala67
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044