Ada Apa Di Balik Rencana Jakarta untuk Renkosiliasi di Ambon?
Hilversum, Jumat 01 Februari 2002 06:15 WIB
Pemerintah di Jakarta bermaksud membuka pembicaraan perdamaian di
Ambon seperti dilakukan di Poso baru baru ini. Padahal, rombongan para
Menko baru baru ini dikritik di Ambon, dan Walikota Ambon menuduh
sengketa aparat bersenjata justru menghambat perdamaian. Menurut
pengamat Maluku sosiolog Ivan al Hadar di Jakarta, sekarang
pemerintahan Megawati maupun pihak TNI mempunyai
kepentingan-kepentingan lebih besar, untuk mensukseskan perdamaian di
Ambon, seperti halnya di Poso.
Ivan al-Hadar [IH]: Sebenarnya masyarakat dengan inisiatif sendiri
sudah ingin damai, sudah ingin tidak lagi saling bantai dan tidak lagi
perang. Dan kenyataan itu memang diketahui oleh banyak orang. Media
massa sudah mengungkapkan sepenuhnya, sehingga mau nggak mau bagi
pemerintah harus menyatakan bahwa keadaan memang sudah kondusif.
Dan di Maluku Utara memang rencananya akan diturunkan status darurat
sipil menjadi tertib sipil. Mesikipun dari indikasi yang ada di lapangan
darurat sipil di Maluku berkaitan dengan kerusuhan yang terjadi di sana,
memang pada akhirnya sangat menguntungkan militer. Karena mereka dari
berbagai aspek terutama ekonomi dan politik, memperoleh keuntungan
yang sangat besar.
Katakanlah di Maluku Utara, misalnya, banyak pertambangan, banyak
perusahaan dan juga dalam hal-hal keseharian, itu selalu memerlukan
pengawalan militer. Kalau melakukan peninjauan ke lapangan pun peralatan
militer, misalnya helikopter dan sebagainya itu disewa dengan harga yang
relatif tinggi. Sehingga kenyamanan yang ini akan tetap dipertahankan.
Tetapi untuk meyakinkan dunia luar bahwa militer tidak bermaksud
apa-apa, saya pikir, militer yang bagian dari pemerintah itu menginginkan
sebuah tindakan, baik bentuk statement atau dalam bentuk upaya, untuk
mengatakan bahwa niat baik mereka untuk melakukan rekonsiliasi,
perdamaian di daerah-daerah konflik itu nyata ada.
Radio Nederland [RN]: Ya tapi kalau bicara mengenai Maluku, Maluku
Utara memang seperti anda katakan sudah membaik. Tetapi
walikota Ambon baru-baru ini secara terbuka mengkritik bahwa
sengketa di dalam aparat bersenjata itu menghambat perdamaian.
Sedikit banyak ini pun dibenarkan oleh Menko Susilo Bambang
Yudoyonho sekembali dari Ambon. Lalu mengapa mereke cukup
optimis untuk membuka perdamaian baru?
IH: Optimisnya itu kan bisa pedang bermata dua. Di satu pihak pemerintah
memang membutuhkan keberhasilan untuk mengantisipiasi berbagai
kemelut yang ada, kegagalan yang beruntun selama ini dilakukan, selama
enam bulan pemerintahan Megawati. Juga mengantisipasi pemilihan umum
bagi berbagai kepentingan partai politik di Indonesia. Jadi, saya pikir itu
salah satu. Mungkin dari segi ini bisa dilihat ada kesungguhan dari
pemerintah untuk melakukan upaya-upaya rekonsiliasi. Karena seperti
pengalaman di Poso, begitu TNI dan Polri bersikap tegas memang stop
kekerasan akan terjadi.
Hal ini sebenarnya yang sudah lama dituntut oleh masyarakat di Ambon,
tetapi kesan mengulur-ngulur dan sengaja membuat kerusuhan atau tidak
bertindak tegas di lapangan itu kan memicu kerusuhan berantai. Yang
terjadi sampai saat ini memang sudah berlangsung tiga sampai empat
tahun dan sangat sulit melakukan rekonsiliasi kembali. Kalau pemerintah
lewat TNI dan Polri dari awal bersikap tegas, itu sebenarnya masalah di
Ambon atau pun Maluku secara keseluruha tidak separah seperti sekarang.
Kalau mereka sekarang pun berniat untu stop kekerasan, saya pikir akan
berhasil.
RN: Apakah ada indikasi untuk itu saat ini?
IH: Saya pikir ya. Indikasinya ada, karena memang pemerintah menimbang
juga perlu hal-hal yang kemudian mengatakan bahwa mereka berhasil.
Karena kegagalan dalam bidang ekonomi, kegagalan dalam bidang politik,
itu sudah terlalu banyak.
Demikian Ivan Al Hadar, seorang sosiolog pengamat Maluku.
© Hak cipta 2001 Radio Nederland Wereldomroep
|