Pihak Keamanan terpukul Mundur di Poso
Hilversum, Senin 10 Desember 2001 08:00 WIB
Intro: Walau pun situasi Poso dikabarkan kembali tentang,
banyak orang bertanya di mana sebenarnya warga Kristen
dan Katolik kota ini? Dikhawatirkan memang orang-orang
Kristen sudah terusir sama sekali dari kota ini, dan mereka
kini mengungsi ke Tentena. Yang jelas, pihak aparat
keamanan sama sekali lumpuh dalam menghadapi serbuan
lasykar Jihad. Koresponden Syahrir mengirim laporan
berikut dari Jakarta:
Kepala Kepolisian RI (Polri) Jenderal (Pol) Da'i Bachtiar
mengatakan sampai saat ini belum diperlukan
pemberlakuan darurat sipil di Poso, Sulawesi Tengah.
Sebab dalam kurun waktu 2-3 hari ini situasi Poso dinilai
sudah agak tenang. Hal itu dikatakan Kapolri, usai bertemu
Wakil Presiden Hamzah Haz selama beberapa menit
setelah melakukan shalat Jum'at bersama di mesjid Mabes
Polri, Jakarta.
Menurut Da'i Bachtiar untuk menangani kasus Poso sudah
diterapkan operasi terpadu, gabungan antara aparat Polri,
TNI dan pemerintah daerah setempat. Operasi terpadu
antara satuan TNI/Polri dan Pemerintah Daerah tersebut di
bawah kendali Polri. Namun demikian, menurut Da'i
Bachtiar, saat ini sudah mulai dilakukan penambahan
pasukan untuk menangani kerusuhan di Poso, yaitu
sebanyak dua batalyon TNI.Dan Kepolisian RI mengerahkan
10 SSK Brigade Mobil/Brimob.
Mengenai kesulitan Polri dalam menangani kerusuhan di
Poso, Da'i Bachtiar beralasan kondisi Poso yang sangat
luas dan wilayahnya tersebar memerlukan jumlah tenaga
yang cukup besar. Oleh sebab itu, saat ini diupayakan
untuk mencegah terjadinya konflik antara dua kelompok di
Poso, dengan cara-cara yang berimbang. "Karena itu,
tenaganya kita cukupkan. Sebab untuk mencegah
terjadinya konflik di antara dua kelompok itu kan harus
berbuat seimbang dan proporsional sehingga tidak ada
kesan berlebihan di satu tempat dan kurang di tempat
lain," ujar Da'i Bachtiar. Tindakan yang proporsional,
menurut Da'i Bachtiar, minimal akan mengurangi
kecemburuan, dan anggapan adanya perlakuan yang tidak
adil dalam penanganan kasus tersebut. Dalam kesempatan
itu, Da'i menyesalkan semestinya ia sudah berkunjung ke
Poso sejak beberapa waktu lalu, namun, baru akan
dilakukan dalam waktu dekat ini.
Seorang pastor di Tentena kemarin mengatakan keadaan di
wilayahnya kini aman. Hingga kini di Tentena yang
penduduknya mayoritas Kristen masih terdapat sebagian
kecil umat Islam. Dan ini pun sempat dilihat oleh para
menteri dari Jakarta yang mengunjungi Tentena beberapa
hari lalu. Tetapi berbeda dengan Tentena di Poso sekarang
sudah tidak ada lagi warga yang beragama Kristen. Ummat
Kristen khawatir kembali ke Poso setelah sekitar 7000
tentara Laskar Jihad masuk ke Poso. Apalagi di antaranya
ada yang tidak mengerti bahasa Indonesia.
Bukan hanya ummat Kristen yang melarikan diri. Juga dari
kalangan Hindu. Masyarakat Hindu di kampung transmigran
melarikan diri setelah suatu Pura dan satu kampung
dibakar pasukan-pasukan bersenjata yang kemudian
melakukan perampokan di kampung tersebut. Menurut
pihak Pusat pengendali krisis di Tentena, dalam pertemuan
warga Tentena dengan Menko Susilo Bambang Yudhoyono,
pihak kepolisian melaporkan bahwa pihak tentaralah yang
berada di belakang kerusuhan di Poso.
Warga muslim melaporkan bahwa anggotanya dibunuh
tentara. Demikian pula ummat Kristen melihat warganya
dibunuh tentara yang menyamar sebagai anggota Lasykar.
Pastor Jimmy Tumbelaka yakin tentaralah yang mau
mengadu domba antar ummat, entah dengan maksud apa.
Kalangan lain melihat ini suatu usaha jenderal-jenderal
Orde Baru agar Sulawesi Tengah bisa menjadi rusuh dan
situasi Darurat Sipil dapat diumumkan di propinsi ini.
Rencana pemerintah untuk mengirim 3000 tentara dan
polisi ke Poso jelas tidak cukup menghadapi Lasykar Jihad
yang berjumlah sekitar 7000 orang itu. Kalau di Timor
Timur, Aceh, Papua dan Maluku tentara tidak pernah di
pukul mundur, maka di Poso berkali-kali TNI dan Polri
melarikan diri. 27 November lalu 74 rumah di bakar di desa
Betalemba dan tiga orang penduduk luka tembak. Ini
disebabkan TNI dan Polri setempat lari tunggang langgang
dikejar perusuh yang menggunakan senjat-senjata organik.
Keesokan harinya desa Patiwungu diduduki 200 rumah,
satu sekolah dan satu gereja dibakar. Pada hari yang sama
desa Tangkura diserang 300 rumah dan satu gereja
dibakar. Tanggal 29 November desa Sanginora diserbu.
Lagi-lagi tentara dan polisi menghindar meski lima desa
telah dibakar. Yang paling mencolok adalah penyerangan
pada tanggal 1 Desember. Ratusan masyarat desa Sepe di
kecamatan Lage meski hanya bersenjatakan parang, panah
dan tombak bertahan di lorong-lorong menghadapi para
penyerang yang bersenjatakan senapan-senapan otomatis.
Tetapi jam 10.30 malam TNI dan Polri datang dan meminta
masyarakat mundur. Merekalah, katanya, yang akan
menghadapi para perusuh.
Anehnya tentara Indonesia yang cukup terlatih ini bisa
dipukul mundur dan kembali lari tunggang langgang.
Sehingga timbul kecurigaan bahwa yang menyerang itu
merupakan tentara Taliban dari Afganistan. Mereka
menjarah barang-barang di rumah penduduk. 60% rumah
rakyat dibakar. Empat anggota Batalyon 711 luka-luka dan
satu ibu yang hamil tewas. Dua penduduk sipil yang lain
luka-luka. Tanggal 3 Desember gereja Katolik di samping
Kodim Poso dibakar.
Sementara itu masyarakat kampung Sepe menemukan
peluru-peluru yang ditinggalkan para perusuh. Sebuah peti
seberat 25 kilogram milik Departemen Pertahanan
Keamanan RI. Di dalamnya terdapat 1400 butir peluru
kaliber 5,56 milimeter. Pada kantong plastik peluru itu
tertera No. Kontrak: KJB/004/DN/M/1988 tertanggal 12
Maret 1988. Pada sisi atas peti terdapat tulisan POSO
dalam huruf-huruf besar. Pada kantong plastik yang lain
bertuliskan 280 butir, munisi kaliber 5,56 mm. MU-5 TJ PT
Pindad (Persero).
Sesaat sebelum rombongan Susilo Bambang Yudhoyono
tiba di Poso gereja Ekklesia di kelurahan Gebangrejo
dibakar. Jadi tampaknya tanpa mengeluarkan Lasykar Jihad
dari Poso sulit untuk mendamaikan kedua pihak yang
bertikai di Poso. Apalagi jika nyata-nyata sementara
jenderal mendukung Lasykar Jihad di sana.
Setelah situasi keamanan di Maluku Utara dan Ambon
membaik, nampaknya para jenderal Orde Baru perlu pentas
baru untuk bisa mengirim pasukan lebih banyak lagi ,
sekaligus memanfaatkan logistik yang dikirim ke
daerah-daerah konflik baru itu. 50 batalyon ke Aceh dan
Papua nampaknya belum cukup. Untuk Poso dan Tentena
untuk sementara sudah dikirim 2 batalyon dan 100 SSK
polisi.
Sebenarnya jelas lebih bagus lagi jika TNI bisa mengirim
tambahan 50 batalyon lagi yang selama empat tahun
terakhir menjaga ibukota. Bukankah Jakarta setelah Mega
berkuasa sudah aman?
© Hak cipta 2001 Radio Nederland Wereldomroep
|