Jakarta seperti Kebakaran Jenggot ketika Amerika
Bicara Soal Terorisme Islam
Hilversum, Jumat 11 Januari 2002 06:00 WIB
INTRO: Pejabat-pejabat di Jakarta jengkel karena
Indonesia disamakan oleh Washington dengan Somalia,
Sudan dan Filipina yang menjadi tempat teroris Islam.
Tetapi mengapa Susilo Bambang Yudhoyono cs bersikap
semula bersikap lembek dan ragu-ragu terhadap para
teroris itu? Koresponden Syahrir mengirim laporan berikut
dari Jakarta:
Selain masalah Buloggate II yang menyulitkan Ketua
Umum Golkar Akbar Tandjung, maka tudingan Amerika
bahwa Indonesia merupakan sarang teroris,juga menyita
perhatian para pengamat di Indonesia. Menlu RI Hassan
Wirajuda sudah berusaha meyakinkan masyarakat tentang
pernyataan Wakil Menhan Amerika Serikat Paul Wolfowitz,
bahwa Amerika Serikat tidak mungkin melakukan intervensi
militer langsung untuk memberantas terorisme di
Indonesia. Memang pemerintahan Megawati tampaknya
yakin Amerika Serikat tidak mungkin mempertimbangkan
aksi militer langsung di Indonesia.
Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono, Menhankam
Matori Abdul Djalil, Menkeh dan HAM Yusril Ihza Mahendra
dan Kapolri Da'i Bachtiar Rabu lalu sepakat soal itu. Mereka
merujuk pada kebijakan aksi militer Amerika Serikat di
Filipina yang bersifat tidak langsung. Amerika membiarkan
Filipina sendiri mengatasi permasalahannya dengan
kelompok Teroris Islam di sana. Sebagaimana dikatakan
Paul Wolfowitz, pemerintah Indonesia sebenarnya sudah
bersikap unfriendly terhadap teroris di Indonesia. Dan
Wirayuda pun sudah menekankan bahwa Indonesia bukan
saja unfriendly, tetapi lebih dari itu sudah lama melakukan
berbagai aksi pemberantasan terorisme, jauh sebelum
tragedi 11 September 2001.
Tetapi para pengamat di Jakarta melihat bahwa pemerintah
AS sebenarnya hanya melakukan pendekatan cara Jawa
terhadap Indonesia, dengan sebelumnya mengatakan tidak
ada jaringan teroris di Indonesia. Maksudnya tentu agar
pemerintah Indonesia bisa mengerti isyarat Amerika untuk
menindak tegas para teroris di Indonesia. Tetapi Jakarta
ternyata kurang tanggap terhadap isyarat Amerika itu.
Setelah sejumlah dutabesar Eropa utamanya dubes Inggris
mendesak Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono
dengan ancaman langkah ekonomi, barulah pemerintah
buru-buru mengirim beberapa batalyon ke Poso, belum
lama ini.
Hassan Wirajuda juga menanggapi pernyataan Wolfowitz
soal potensi terorisme di Indonesia. Wolfowitz
menyebutnya di pojok kecil di Poso, Sulawesi Tengah. Ini
oleh Wirajuda dianggap sebagai kurang tepat dan sudah
kadaluwarsa. Entah mengapa, Hassan Wirajuda kini hanya
membawakan suara kalangan militer di kabinet. Bisa jadi
dia mengikuti jejak Ali Alatas yang dahulu selalu membela
militer dalam soal pelanggaran hak asasi manusia yang
mereka lakukan di Timor Timur. Hassan menekankan
tercapainya tercapainya kesepakatan damai melalui
Deklarasi Malino yang sedang dalam proses pemulihan dan
pembangunan kembali. Suara seperti ini jelas tidak banyak
berbeda dengan suara kalangan Lasykar Jihad. Hasan
Wirajuda setelah rapat Polkam Rabu lalu, seolah ingin
menunjukkan bahwa permasalahan terorisme di Maluku dan
Poso sudah teratasi.
Tetapi benarkah demikian? Mengapa sebenarnya militer dan
polisi Indonesia perlu di dorong-dorong Amerika dan Eropa
sebelum mau mengambil sikap terhadap para teroris?
Seorang aktivis pro-dem di Jakarta melihat sejumlah
petinggi Orde Baru yang masih bercokol di birokrasi dan
militer ragu-ragu bertindak terhadap lasykar-lasykar itu
karena takut mereka akan buka rahasia. Pada saat-saat
Orde Baru menghadapi sakratul maut, banyak petinggi Orde
Baru merangkul kelompok Pam Swakarsa dan
lasykar-lasykaran lain dalam rangka tetap bisa bertahan.
Dana-dana Bulog pun disalurkan kepada para pemimpin
lasykar itu yang juga punya hubungan dengan
kelompok-kelompok teroris internasional. Maka jaringan
mereka ke militer pun menjadi cukup kuat.
Jadi Orde Baru dahulu, melalui Wiranto, menggunakan
teroris untuk bisa bertahan. Itulah sebabnya orang-orang
seputar Susilo Bambang Yudhoyono takut dibuka kedok
mereka. Gubernur Maluku sendiri pernah mengeluh soal
sikap ragu-ragu yang dipertunjukkan Susilo Bambang
Yudhoyono terhadap kalangan Lasykar Jihad. Padahal
Gubernur Saleh Latuconsina ketika itu sudah meminta agar
Susilo Bambang Yudhoyono mengusahakan Lasykar Jihad
ditarik dari Maluku. Tetapi sang Menko justru mengatakan
militer harus menjaga perimbangan kekuatan di sana.
Dengan demikin Susilo ingin menunjukkan seolah tentara
dan polisi tidak mampu mengatasi keadaan di sana. Kini
Bambang Yudhoyono dan rekan-rekannya di kabinet harus
menghadapi kenyataan, mau tak mau harus membasmi
para teroris di Indonesia. Jaringan teroris kalau tidak
dihentikan akan lebih gawat lagi, dan akan memancing
Amerika Serikat mengirim pasukannya ke Indonesia.
Yang menarik Kepala BIN Hendropriyono sempat membuka
kehadiran jaringan Al Qaidah di Poso. Tetapi karena
desakan-desakan yang amat kuat, ia akhirnya meralat
ucapannya. "Sekarang dengan ditingkatkannya
desakan-desakan Amerika mungkin orang-orang semacam
Hendropriyono akan lebih berani mengungkapkan peran
golongan teroris Islam di Indonesia," ujar sumber tersebut.
Seorang pengamat dari CPS, Sunardi Dinakit, melihat peran
golongan Islam liberal seperti Nurcholis Madjid dan
kawan-kawan harus ditingkatkan untuk menghadapi para
teroris Islam ini.
Sunardi Dinakit: "Kalau soal itu kembali islam liberal harus
bicara seperti Cak Nur atau siapalah Ulil segala macam.
Gerakan islam liberal harus bicara bahwa gerakan islam
radikal di Indonesia pada intinya adalah bukan atau tidak
seluruhnya itu teroris".
Sementara itu Ketua Umum Forum Komunikasi Ahlusunnah
Wal Jamaah Ayip Syafruddin menilai Amerika Serikat
sedang mencari celah untuk masuk ke Indonesia dan
menghentikan kebangkitan Islam.
© Hak cipta 2001 Radio Nederland Wereldomroep
|