Masalah Poso Mengarah ke Badan Intelijen Negara
Hilversum, Kamis 13 Desember 2001 06:30 WIB
Detik.com kemarin memberitakan, Kepala Badan Intelijen
Negara, Hendroprijono menyatakan jaringan Al Qaida dan
RMS terlibat dalam rusuh di Poso. Menurut Hendro Poso
telah menjadi ajang antar link-up terorisme internasional
dengan kelompok radikal dalam negeri. Benarkah ucapan
semacam ini? Koresponden Syahrir mengirim laporan
berikut dari Jakarta:
Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono hari Rabu
kemarin mengatakan melihat tanda positif untuk
mendapatkan dukungan rekonsiliasi dan rehabilitasi sosial
di Poso. Susilo menjelaskan salah satu tandanya adalah
prakarsa tokoh masyarakat setempat untuk menyelesaikan
masalah secara internal. Selanjutnya Susilo Bambang
Yudhoyono atau SBY, mengemukakan prakarsa ini sesuai
dengan harapan masyarakat dan posisi pemerintah sendiri
untuk tidak akan turut campur tangan lebih jauh.
Rekonsiliasi akan dipimpin oleh Menko Kesra, Yusuf Kalla.
Pertemuan akan dilakukan setelah Idul Fitri di Malino
Sulawesi Selatan. Rekonsiliasi dan rehabilitasi, menurut
Susilo, adalah salah satu dari tiga konsep untuk
menyelesaikan konflik Poso. Dua yang lain adalah
penegakan hukum dan pemulihan keamanan.
Sementara pejabat keamanan di ibukota, seperti SBY tadi,
umumnya percaya dapat memulihkan keamanan di Poso.
Mereka konon akan mengusir Laskar Jihad dari Poso,
Sulawesi tengah. Menurut harian berbahasa Inggris The
Jakarta Post, para pejabat berjanji akan menertibkan
kelompok lokal bersenjata dan mengusir para pendatang
yang bersenjata, yang meneror penduduk di wilayah itu.
Komjen Polisi Sjahcroedin Pagaralam, Asisten Operasi
Kapolri, mengaku situasi di Poso sudah agak tenang sejak
para petugas melakukan operasi Senen lalu.
Laporan-laporan dari Poso menyatakan warga disana sejak
hari Senen malam sudah bisa tidur pulas.
Harian Sinar Harapan pun melaporkan bahwa kehadiran
lima bataljon TNI dan Polri sejak awal Desember sedikit
banyak mulai memberi rasa aman bagi warga kabupaten
Poso. Awal Januari mendatang diperkirakan situasi akan
menjadi semakin kondusif. Poso akan dijadikan tempat
latihan gabungan TNI termasuk 3000 pasukan yang sudah
ada disana. Tidak jelas berapa ribu pasukan lagi yang akan
dikirim ke sana. Yang pasti Polri sudah mengirim pasukan
dari Bali yang umumnya beragama Hindu setelah sebuah
pura dibakar perusuh dan ratusan warga asal Bali melarikan
diri.
TNI pun mengirim pasukan elitnya yaitu Kopassus. Hal ini
mengingat pasukan TNI dan Polri disana berkali-kali
dikalahkan pihak Laskar dalam pertempuran sehingga
disebut "Polisi India." Dalam film-film India polisi selalu
datang terlambat. Namun yang kini menjadi pertanyaan
masyarakat, mengapa meski TNI-Polri sudah mengirim
ribuan pasukan ke Poso lengkap dengan pasukan baret
merahnya, mengapa selama 12 hari ini belum ada satu
pucuk senjata pun yang disita?
Memang ada pendapat di daerah yang melihat konflik di
Poso sesungguhnya hanyalah merupakan transformasi
pergulatan politik di Jakarta. Di ibukota pun sekarang
beredar isyu adanya pertentangan kepentingan antara
sesama jenderal Orde Baru yang kini mendukung Megawati.
Antara "kelompok tiga" dan kelompok "five musketeers."
"Perbedaan pandangan ini sesungguhnya sudah dimulai
sejak kematian misterius tokoh Papua Teys Aluay," ujar
seorang perwira pensiunan TNI-AU.
Menurut harian the Jakarta Post, kekerasan kembali
merebak sejak bulan Oktober lalu di Poso yang
berpenduduk 260.000 orang itu. Dikemukakan pula bahwa
ini disebabkan kehadiran ribuan orang bersenjata dari
propinsi-propinsi lain. Laskar Jihad yang berpusat di pulau
Jawa dan berada di Maluku ketika itu diperkirakan telah
pindah ke Maluku karena kedekatan propinsi-propinsi itu.
Maka bagaimana pun pertemuan di Malino Selasa depan
yang disponsori Menko Susilo Bambang Yudhoyono tidak
bisa dilihat lepas dari perbedaan pandangan sementara
pejabat di Jakarta.
Bukan rahasia lagi di kalangan pers dan diplomat bahwa
SBY berseberangan pendapat dengan Kepala Badan
Intelijen Negara Hendropriyono dalam hal penanganan
keamanan di daerah. Kebijakan SBY hingga kini adalah,
pertama lucuti milisia kedua belah pihak yang bertikai,
dengan cara persuasif atau dengan cara keras, jika
terpaksa. Lalu usir Laskar Jihad dari wilayah itu. Kemudian
langkah ketiga, adakan pertemuan rekonsiliasi di Malino.
Dan langkah yang terakhir ialah lakukan perbaikan
asset-asset yang rusak. Tetapi pihak intelijen tampaknya
punya kebijakan yang berbeda yang tertutup. "Celakanya,"
kata seorang diplomat, "Presiden Megawati lebih percaya
kepada Hendro ketimbang Bambang." Padahal Bambang
mendapat dukungan KSAD Jenderal Endriartono dan Menteri
Pertahanan Matori Abdul Djalil. Bagaimana pada akhirnya
kebijakan politik dan keamanan akan perkembang di
Indonesia masih perlu dilihat lebih lanjut.
Konflik Poso yang sudah melibatkan orang-orang dari luar
daerah, oleh Pangkostrad Letjen Ryamizard Ryacudu dinilai
sudah mulai reda. Tetapi bahwa kondisi Poso sudah
benar-benar aman belum dapat dijaminnya mengingat
"sewaktu-waktu dapat terjadi lagi konflik," katanya kepada
pers.
Menurut seorang pengamat politik Indonesia di Belanda,
dahulu cara kerja orang-orang intel seperti Ali Moertopo
adalah melibatkan sebanyak mungkin "preman atau milisi"
untuk mensukseskan pekerjaannya. Inilah salah satu
sebabnya mengapa pada tahun 1970-an dan 1980-an Orde
Baru berjaya. Rupanya cara kerja seperti ini tetap tertanam
pada lembaga intel Indonesia, padahal pemerintahan
sekarang sudah mulai demokratis. Menariknya, cara kerja
lembaga intel tetap mandiri dan tidak berada dalam kontrol
DPR. Lembaga intel dengan demikian bisa berbuat apa
saja, termasuk mengambil langkah-langkah yang
sebenarnya membahayakan pemerintah sendiri. Demikian
sumber di Belanda tersebut. Kemungkinan masuknya
mantan Pangkostrad Djadja Suparman dan mantan
Pangdam Jaya Sjafrie Sjamsoedin ke dalam lembaga
intelijen jelas akan makin memperbesar pertentangan
dalam pemerintahan Megawati sendiri.
© Hak cipta 2001 Radio Nederland Wereldomroep
|