The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Konflik Ambon: Tinggal Sejarah?


KORAN TEMPO, Kamis, 6 Desember 2001

Konflik Ambon: Tinggal Sejarah?

Indra J. Piliang

Peneliti CSIS, Aktivis Forum Indonesia Damai (FID)

Merebaknya kembali kerusuhan di Poso dalam skala yang lebih luas menimbulkan pertanyaan: benarkah pemerintah serius menangani persoalan konflik sosial di tengah masyarakat? Jangan-jangan kita hanya menjadikannya sebagai santapan berita, untuk menguji sejauh mana kita bisa "tersedak" ketika makan dengan menyaksikan rumah-rumah yang terbakar, anak-anak telantar, dan orang-orang yang kehilangan harta bendanya.

Konflik Poso yang semula hanya melibatkan dua kelompok agama, kini malah menyebabkan 348 KK (1.419 jiwa) warga Hindu Bali yang mendiami beberapa desa di wilayah Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten Poso, dievakuasi keluar dari daerah konflik tersebut (KCM, 4/12).

Kejadian di Poso ini mengingatkan kita pada konflik agama di Ambon yang akan memasuki tahun ketiga sejak Januari 1999. Konflik yang sempat menjadi "teori pembuka" Balkanisasi ala Indonesia itu, terasa hanya sempalan dari wacana politik selama tiga tahun ini. Memang, sempat terjadi optimisme ketika Megawati secara khusus menugaskan Wapres Hamzah Haz untuk menanganinya, seperti halnya penugasan oleh Abdurahman Wahid kepada Megawati sebelumnya.

Tapi hingga kini Haz belum terlihat mengeluarkan blue print penyelesaian konflik ini. Persoalan terorisme, hubungan Indonesia-AS, sampai amandemen konstitusi, lebih menyita perhatian Wapres kita, serta perangkat birokrasi lainnya. TNI juga seakan sudah mengambil jarak atas persoalan Ambon ini, serta lebih berkonsentrasi pada persoalan politik nasional, peningkatan anggaran dalam APBN, pembelian dan pembaruan persenjataan, serta kesejahteraan personel.

Macetnya penanganan atas konflik Ambon, paling tidak, dilandasi oleh empat hal. Pertama, konflik itu mengandung unsur agama yang kental. Kedua:, konflik itu juga terhubung dengan elemen-elemen di luar masyarakat Ambon, baik di tingkat nasional maupun internasional. Ketiga, konflik itu, apabila dibicarakan secara terbuka, akan mengungkap sejumlah pertikaian di tubuh TNI, elite-elite lokal (termasuk kaum bangsawan), serta sejumlah milisi sipil yang bukan orang Ambon. Keempat, konflik itu menjadi data paling otentik betapa "toleransi" dalam kehidupan masyarakat Indonesia hanyalah palsu belaka.

Akibatnya, ketika konflik di Ambon dicoba untuk "diraba" oleh orang Jakarta, terasa sekali seperti meraba besi panas. Salah-salah, tangan melepuh atau tubuh terbakar. Jangankan orang Jakarta, bahkan orang Ambon yang bertempat tinggal di luar Ambon kesulitan untuk menyelesaikan konflik yang bahkan tak pernah terjadi di era kolonialisme. Jadilah, konflik Ambon diserahkan kepada waktu dan sejarah. Adagium yang berlaku bahwa waktu dan sejarah akan menyelesaikan segalanya, seakan menemui pijakannya.

Padahal, konflik Ambon jauh lebih buruk dari persoalan "konflik peradaban" dalam skala global. Konflik Ambon juga berbeda dimensinya dengan persoalan konflik Palestina-Israel yang berakar pada sejarah ribuan tahun. Soalnya, orang-orang yang bertikai, sekalipun berbeda dalam keyakinan, tetapi mempunyai warna kulit yang sama, turunan genetik yang sama, bahkan darah yang sama. Ketika mereka mempertaruhkan harga diri dan agama, pertaruhan itu membesar dan bahkan keluar dari inti persoalan awalnya, ketika unsur-unsur di luar Ambon melibatkan diri, baik TNI/Polri, politisi, Laskar Putih (Acan) atau Laskar Merah (Obet).

Kesimpulan umum selama tiga tahun ini adalah membiarkan konflik Ambon diselesaikan oleh orang Ambon. Kesimpulan ini mencuat dalam sejumlah diskusi, pernyataan, penerbitan, bahkan menjadi kebijakan pemerintahan Wahid. Tak kurang dari seorang finalis Miss Indonesia asal Ambon pernah menyampaikannya. Artinya, TNI ditarik dari Ambon, Laskar-laskar non-Ambon juga ditarik, bahkan organisasi internasional dan domestik yang hanya peduli pada persoalan kemanusiaan, terutama kesehatan.

Tetapi, itu saja tidak cukup. Yang terjadi adalah isolasi, bahkan karantina total. Mirip dengan perlakuan raja-raja Eropa yang membiarkan para tawanan bertempur, seperti yang ditunjukkan dalam film Gladiator. Atau mirip dengan perilaku masyarakat beradab yang mengasingkan orang-orang gila dan berpenyakit menular di abad pertengahan. Yang diperlukan adalah suntikan-suntikan penyelesaian damai, dengan meminimalisasi penggunaan kekerasan, bahkan oleh militer, serta tawaran rekonsiliasi menyeluruh disertai oleh pembangunan infrastruktur yang sudah hancur di Ambon untuk kedua kelompok. Upaya ini bisa ditempuh dengan membersihkan dulu niat orang-orang yang hendak berusaha "menyelesaikan" konflik itu. Program penyelesaian konflik itu harus benar-benar steril dari kepentingan politik, ideologi, atau ekonomi dari pihak-pihak yang menyodorkannya.

Dari sini penunjukan Hamzah Haz oleh Megawati patut dikritik. Haz, dalam kedudukannya sebagai Ketua Umum PPP yang berasaskan Islam dan mendorong pemberlakuan syariat Islam, telah memberikan cap khusus kepada masyarakat lainnya. Terpilihnya Haz dalam SI MPR 2001 juga bagian dari kepentingan politik Islam, sebagai pendamping kelompok Nasionalis yang direpresentasikan oleh Megawati. Kecuali, Haz--juga Megawati--melepaskan jabatan ganda mereka sebagai Ketua Umum partai masing-masing, dan tampil sebagai negarawan yang puritan.

Untuk itu, berbagai tim rekonsiliasi yang sudah dibentuk masyarakat Ambon yang terdiri dari (agama) kedua pihak yang bertikai, tetapi tak berniat memupuk dendam, perlu diaktifkan kembali. Tim yang sudah ada di Istana Wapres sejak era Megawati perlu memperluas dan memperbaiki kinerjanya. Kalau perlu, kewenangan tim itu diberi status hukum yang jelas dan dilindungi oleh UU. Kewenangan yang diberikan dengan penerapan darurat sipil kepada pemda (gubernur), polisi dan militer selama ini kurang efektif, karena sejumlah suara di Ambon menyebut bahwa individu-individu yang menjalankannya tak "bersih" dari kepentingan (politik-ekonomi) masing-masing. Artinya, kalau "wasit" yang ditunjuk oleh pemerintah pusat nyatanya juga sibuk "menggocek bola", sulit berharap masalah Ambon akan selesai dalam waktu singkat.

Di pihak lain, pemerintah dan parlemen, perlu menggelar blue print-nya untuk menyelesaikan kasus ini. Program rekonsiliasi dan rekonstruksi (sosial, mental, ekonomi, dan politik) yang sudah dilakukan oleh berbagai pihak (termasuk lembaga internasional dan lembaga penelitian dalam negeri) perlu difasilitasi, dengan anggaran serta sumber daya manusia yang netral. Blue print kalau perlu disepakati oleh berbagai pihak, baik yang ingin membantu menyelesaikan konflik itu maupun, terutama, pihak yang bertikai. Sedangkan pemerintah dan parlemen tinggal mengawasi, dengan bantuan militer/polisi.

Blue print itu harus berbentuk UU Khusus, seperti UU Nanggroe Aceh Darussalam dan UU Otonomi Khusus Papua. Sebut saja UU Rekonsiliasi dan Rekonstruksi Konflik Maluku. Tetapi, kekhususannya bukan berdasarkan tuntutan kedaerahan, melainkan dalam kerangka mengubur konflik dan mewujudkan perdamaian. Semoga saja, Ramadan kali ini dan Natal yang mengikutinya membuat orang-orang di luar Ambon tak lagi menyuarakan "bom-bom molotov" baru yang menimbulkan kebakaran di Ambon (dan Maluku secara luas), melainkan memberikan lampu-lampu penerang dan tali-temali iman yang bisa digunakan untuk tak membiarkan Ambon diselesaikan oleh sejarah. Wallahu 'alam.

© tempointeractive.com
 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/baguala67
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044