TEMPO, 27 Februari 2002
Dr Harold Crouch, Pengamat Politik Indonesia
"Di Maluku, Makin Keras Tindakan Aparat
Makin Kencang Perlawanan Mereka"
Pertikaian antara masyarakat Kristen dan Muslim di Maluku tidak juga selesai.
Perundingan masyarakat Kristen dan Muslim Maluku di Malino, Sulawesi Selatan,
menciptakan harapan perdamaian di tanah itu muncul kembali.
Pengamat politik Indonesia dari Universitas Nasional Australia, Dr Harold Crouch,
mengatakan bahwa perundingan itu hanya awal. Apalagi, label pertemuan itu bukan
perundingan perdamaian dan sejumlah masalah belum terpecahkan.
Soal Laskar Jihad di Maluku misalnya. Masyarakat Kristen ingin mereka pergi tapi
kelompok Muslim ingin tetap di sana. Crouch mengatakan sebelum aparat keamanan
bisa memberi jaminan keamanan, Muslim tetap ingin Laskar Jihad berada di sana.
Berikut adalah wawancara yang dilakukan Fitri Oktarini dari Tempo News Room
sebelum ia kembali ke Canberra, Sabtu (23/2), karena masa kerjanya sebagai
Indonesia Project Director, International Crisis Group, telah habis.
Pasca perundingan Malino, menurut Anda, apakah memberikan angin segar
bagi proses perdamaian di Maluku?
Saya melihat perundingan Malino adalah langkah pertama. Kalau tidak ada langkah
pertama, mana mungkin ada langkah berikutnya. Jadi saya rasa ini cukup penting.
Dari sini terlihat banyak pihak yang terlibat sangat sadar tentang banyak halangan
dalam proses tersebut, jadi bisa dikatakan persetujuan tersebut belum bisa dikatakan
persetujuan perdamaian. Mereka [kedua belah pihak] sendiri tidak menyebut
perundingan itu dengan istilah perundingan perdamaian. Jadi, perundingan ini lebih
pada proses penghentian kekerasan.
Saya kira ini menunjukkan bahwa mereka cukup realistik dalam menghadapi masalah
ini. Perdamaian yang sebenar-benarnya tak mungkin ada di Malino, kalau tanpa
hilangnya kekerasan, tanpa penegakan hukum, tanpa kembalinya pengungsi, tanpa
stabilnya perekonomian seperti itulah. Jadi ini tahap pencegahan terulangnya kembali
kekerasan di Malino. Dan merupakan kemajuan yang sangat penting.
Kapan sebaiknya para pengungsi kembali ke Maluku, Ambon, dan desa-desa
sekitarnya?
Sebaiknya jangan pada bulan ini, di awal sosialisasi perundingan Malino. Karena,
kalau terlalu cepat, saya khawatir akan terjadi kekerasan kembali. Kalau mereka
tiba-tiba teringat dengan peristiwa tiga tahun yang lalu mungkin kemarahan mereka
akan berkobar kembali.
Kalau ada pihak-pihak yang menolak perundingan ini?
Saya lihat penolakan datang dari pihak Islam.
Lalu bagaimana?
Menurut saya perundingan itu sudah yang terbaik.
Apakah alasan penolakan mereka? Apakah semata-mata karena mereka
tidak diajak dalam perundingan Malino?
Saya kira mereka diajak, namun mereka menolak. Tapi mungkin perundingan
selanjutnya mereka pasti diajak lagi. Mereka yang menolak [muslim] mengajukan
syarat yang sulit dipenuhi oleh pihak Kristen.
Yang pertama adalah pihak Kristen harus meminta maaf, karena mereka adalah
pemicu atau akar kerusuhan Januari 1999 yang lalu. Namun pihak Kristen tidak
merasa [bersalah], justru menuduh Laskar Jihad biang kekerasan yang terjadi dulu.
Pokoknya, keinginan Laskar Jihad adalah orang yang menjadi otak kerusuhan itu lah
yang harus lebih dahulu diadili diberi sanksi hukum. Jika tidak, kekerasan bisa terjadi
setiap saat.
Siapa yang harus mengalah, perlukah ada rekonsiliasi?
Bukan itu, tapi sebaiknya mereka melihat ke depan dan bukan terus menengok ke
belakang. Saya mengerti sekali masing-masing sulit memberi maaf dan melupakan
masa lalu.
Seandainya saya pun, kalau ayah, ibu, adik, kakak, istri, atau anak saya dibunuh,
sampai kapanpun saya akan mendendam. Tapi alangkah baiknya jika mereka mau
memaafkan dan melupakan.
Meski begitu sulit untuk mengadakan rekonsiliasi diantara mereka dan pasti
memakan waktu yang cukup lama. Jangan pikirkan soal rekonsiliasi dulu, cukup
dengan mencegah tindakan kekerasan dulu yang utama. Hidup berdampingan tanpa
perkelahian cukup. Lambat laun, mereka bisa lagi memulai hubungan dagang, dan
secara alamiah, hubungan bisa menjadi akrab dan lama-lama bisa bergaul satu sama
lain.
Contohnya, ada daerah netral di Ambon di dekat kantor gubernur, memang tidak luas
hanya sepanjang 200 meter dan disitu terdapat pasar kaki lima yang penjual maupun
pembelinya dari Kristen maupun islam. Tapi tidak terjadi apa-apa, namun hubungan
tetap baik.
Seberapa besar keterlibatan aparat keamanan baik TNI dan Polri di Maluku,
mampu meredam pertikaian atau malah memperuncing?
Saya tidak berani mengatakan bahwa tentara ataupun polisi memperuncing
ketegangan di Maluku. Tapi jelas ada unsur-unsur baik di dalam tubuh tentara atau
polisi itu sendiri cenderung untuk mengambil tindakan yang entah dengan alasan apa.
Mungkin ada unsur kontaminasi konflik pada masing-masing personil atau sentimen
agama. Aparat Islam cenderung berpihak pada yang Islam dan sebaliknya aparat
Kristen cenderung membela yang Kristen. Belum lagi keterlibatan emosional,
misalnya, jika dalam pertikaian yang lalu, ada anggota keluarga yang terbunuh,
rumahnya yang ikut terbakar.
Selain itu ada pula oknum yang berusaha mengambil keuntungan dari pertikaian ini,
misalnya menarik uang dari para pengusaha-pengusaha di sana. Sepertinya
ketegangan terus menerus dipertahankan, jadi bisa dikatakan mereka kurang
mendukung proses perdamaian.
Jadi, sebaiknya, apa yang harus dilakukan terhadap aparat-aparat tersebut,
perlukah proses seleksi bagi yang akan ditempatkan di sana atau pertegas
sanksi bagi mereka yang terbukti melanggar HAM?
Sudah dilakukan, pasukan batalyon organik, mereka orang Ambon, uslim atau
Kristen semuanya dipindahkan ke Papua. Ini agak luar biasa.
Kalau polisi, dulu, Kapolda Maluku, Edi Tanadi, mengusulkan semua polisi Maluku
dipindahkan ke tempat lain, dan digantikan dengan yang baru yang bukan orang
Ambon, karena memang keadaan cukup parah. Saya dengar juga kebijakan dari
mereka, bagi polisi yang terkontaminasi politik diberikan pilihan, apakah dipindah atau
keluar dari korps.
Kenyataannya banyak dari mereka yang justru memilih keluar. Dan ini juga
berbahaya. Mereka adalah orang yang terlatih dengan senjata, dikhawatirkan keluar
dari polisi dan memiliki keahlian dengan senjata, mereka akan ikut mengacau.
Hmh.... (Harold menghela nafas).
Belum lagi ditambah keberadaan Laskar Jihad, Laskar Mujahidin, kelompok dari
Kristen, dan sebagainya.
Sikap Masyarakat Ambon dan Maluku sendiri bagaimana terhadap
kelompok-kelompok tersebut?
Sebagian masyarakat Ambon/Maluku menginginkan Laskar Jihad tetap berada di
sana.
Karena mereka belum yakin aparat keamanan dapat menjamin keselamatan mereka.
Dan khawatir jika sewaktu-waktu pertikaian pecah kembali. Namun mungkin
keberadaan Laskar Jihad tidak akan begitu penting bagi mereka jika aparat keamanan
dapat meyakinkan mereka bahwa kondisi daerah mereka aman dan terjamin. Jadi ya,
Laskar Jihad itu seperti cadangan saja.
Jalan tengahnya?
Menurut saya, mungkin baik jika Laskar Jihad tetap berada di sana namun
persenjataannya dilucuti. Dan saya melihat baik dibentuknya sebuah komisi patroli
bersama antara pihak Kristen maupun pihak islam.
Soal aparat yang saling baku hantam sendiri? Apakah perlu pemisahan
wilayah pengawasan bagi polisi sendiri, militer sendiri, atau bagaimana
sebaiknya mekanisme pembagian tugasnya?
Itu sering kali terjadi. Tapi kalau polisi sendiri, atau TNI sendiri, mereka akan baku
hantam sendiri di dalam tentara maupun polisi. Itu yang sulit dan masalah yang
sangat rumit. Kalau gaji yang mereka kurang, mereka pasti akan mencari sendiri
pendapatan tambahan sendiri.
Dan lahannya terbatas jadi mereka, yah, ehm, saling baku hantam. Pasukan yang
seharusnya melindungi masyarakat malah sebaliknya.
Soal pernyataan Menko Polkam Susilo Bambang Yudoyono,
pascaperundingan Malino ini aparat dapat mengambil tindakan persuasif dan
tindakan represif bagi pelaku kekerasan?
Jika mereka diberi lampu hijau untuk mengambil tindakan represif untuk
mereka-mereka yang mengacau dan pelaku kekerasan, khawatirnya mereka juga
akan mengambil tindakan represif untuk siapa saja.
Kasus di Maluku ini berbeda dengan di Aceh. Kalau semakin banyak GAM dibunuh,
makin berkurang jumlahnya, tapi kalau di Maluku, karena yang terjadi konflik
horizontal, makin keras tindakan aparat makin kencang perlawanan mereka. Dan
lebih sulit lagi, aparat tidak boleh sedikitpun menyakiti hati salah satu golongan,
karena akan sulit bagi mereka untuk menjadi pihak yang mengakomodasi
perdamaian.
lalu, pendekatan seperti apa yang cocok untuk kasus Maluku ini?
Hahahaha, saya setuju dengan Mantan Presiden Soeharto, alon-alon asal kelakon
(lambat asal berhasil). ***
© tempointeractive.com
|