|
BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM
Para nelayan yang
menangkap ikan dengan pancing akan bergembira, berharap penuh akan
dapat mengail ikan banyak-banyak, jika air di kuala sedang keruh.
Ikan-ikan yang berenang berlalu-lalang dalam air yang keruh tidak akan
dapat membedakan makanan yang bebas melayang-layang di dalam air
dengan makanan yang berupa umpan yang dikaitkan pada pancing. Maka
dalam air yang keruh banyaklah ikan yang kena pancing, karena umpan
yang dilahapnya itu dikiranya makanan biasa yang tidak berbahaya.
Nenek-nenek moyang kita dahulu telah mengkaji fenomena ini sehingga
lahirlah peribahasa: Memancing di air keruh.
Bukan ikan saja yang mudah terpancing di air keruh, manusiapun akan
mudah terpancing dalam suasana politik yang keruh. Pada ikan, yang
memancing adalah tukang pancing, sedangkan air atau kuala yang keruh
bukanlah tukang pancing yang membuatnya demikian. Kuala memang sudah
keruh, tukang pancing hanya memanfaatkan kekeruhan air untuk
mendapatkan ikan hasil pancingan yang banyak.
Akan tetapi dalam hal manusia yang memancing manusia, suasana politik
yang keruh direkayasa, atau akibat kebijakan yang keliru (blunder).
Dalam hal yang pertama, yang memancing dan yang merekayasa kekeruhan
politik dilakukan oleh golongan yang sama, sedangkan dalam hal yang
kedua, lain golongan yang memancing, lain pula yang membuat kebijakan
yang keliru. Dalam hal yang kedua ini tukang pancing biasa disebut
dengan golongan yang membonceng atau menunggangi.
Apa yang terjadi baru-baru ini, yakni malapetaka 27 Juli, adalah buah
suasana politik yang keruh. Apabila ditilik dengan pikiran yang
jernih, blunder yang mengakibatkan kekeruhan politik itu berpangkal
dari orang intern PDI sendiri, yaitu Fatimah Ahmad dkk. Lalu
terjadilah rentetan yang beruntun yang terkait: Kongres Medan - dua
kubu kepemimpinan dalam tubuh PDI - mimbar bebas - tawuran antara
penyerbu dari pihak kubu Suryadi melawan yang bertahan dari pihak kubu
Megawati - melebar menjadi malapetaka 27 Juli.
Seperti yang diumumkan secara resmi dan formal oleh pihak yang
berwajib, malapetaka 27 Juli ditunggangi oleh Partai Rakyat
Demokratik, yang berupaya membangkitkan kembali ideologi komunis.
Lebih lanjut diinformasikan oleh yang berwajib bahwa PRD mempunyai
organisasi payung (onderbouw) yaitu Solidaritas Mahasiswa Indonesia
untuk Demokrasi (SMID), Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI),
Serikat Rakyat Indonesia (SRI), Serikat Tani Nasional (STN), dan
Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker).
Kita semua sama sekali tidak menginginkan akan terjadinya tragedi
nasional lagi. Kita tidak ingin ditohok oleh komunis untuk yang ketiga
kalinya. Kita ditohok yang pertama kali pada pemberontakan PKI Madiun,
ditohok untuk kedua kalinya pada pemberontakan G.30S/PKI.
Setiap celaka ada gunanya, demikian peribahasa. Walaupun malapetaka 27
Juli mengakibatkan kerugian baik jiwa maupun harta benda, namun ada
pula hikmahnya. Yaitu organisasi-organisasi dan LSM-LSM dapatlah
disaring sehingga dapat dibedakan mana organisasi dan LSM yang
mebahayakan Negara Republik Indonesia, dan mana organisasi dan LSM
yang korektif membangun, yang benar dikatakan benar, yang salah
dikatakan salah. Yang pertama menyalah-gunakan keterbukaan untuk
tujuan yang destruktif, sehingga tidak mempunyai hak untuk hidup dalam
Negara Republik
Indonesia. Sedangkan yang kedua memanfaatkan keterbukaan untuk tujuan
yang konstruktif, dengan sikap berani karena benar, takut karena
salah, sehingga eksistensinya perlu dipelihara baik oleh masyarakat
maupun oleh yang berwajib. Tolok ukur mengenai benar
adalah yang sesuai dengan nilai dasar pada Pembukaan UUD-1945 dan
sesuai pula dengan Kaidah Agama. Sebaliknya yang disebut salah ialah
yang bertentangan dengan nilai dasar dan bertentangan
dengan Kaidah Agama.
Sehubungan malapetaka 27 Juli itu terasa perlu untuk mengutip
pernyataan politik DPP PPP yang antara lain seperti berikut. DPP PPP
mengecam dan sangat menyesalkan terjadinya kerusuhan 27 Juli beserta
seluruh rangkaian yang melatar-belakangi persitiwa tersebut dan
mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan tegas terhadap para
pelakunya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Seluruh rakyat Indonesia perlu melakukan konsolidasi nasional dengan
semangat dan jiwa kesatria, jujur dan berani melakukan introspeksi dan
koreksi terhadap kekurangan dan penyimpangan yang masih dirasakan
selama ini. Penyimpangan dan
kekurangan yang dimaksud adalah dalam keadilan politik, keadilan
sosial dan ekonomi, keadilan hukum dan keadilan di bidang lainnya.
Terakhir kiranya perlu dikemukakan di sini nilai-nilai sub-kultur
dalam Kelong Rambang-Rambang yang telah pernah ditulis dalam Seri 139.
Kelong Rambang-Rambang ini umurnya sudah tua. Dahulu di Selayar
pakelong (penyanyi solo) yang diiringi dengan biola dan rebana disebut
Parambang-rambang, oleh karena "orkes" tradisional itu selalu dibuka
dengan Rambang-Rambang.
Rambang-Rambang
Ikkattepa ssamaturu'
Pakabajiki boritta
Naki'rambangang
Ansombali mate'nea
Teaki naparakatte
Sigea' siganra-ganra
Nalewa lino
Naamang pa'rasanganta
Mari membina kesepakatan
Membangun negeri kita
Berlomba berdampingan
Berlayar menuju bahagia
Janganlah di antara kita
Tumbuh silang-sengketa
Agar tercapai kestabilan
Amanlah kampung-halaman
Adapun membina kesepakatan, membangun negeri, berlomba berdampingan,
jika ditarik ke atas akan terkait pada Qaidah Agama
Ta'a-wanaw 'alay lBirri, tolong-menolonglah kamu berbuat baik.
Selanjutnya menjauhi silang-sengketa akan terkait pada Qaidah Agama
La- Ta'a-naw 'alay lItsmi wa l'Udwa-ni, janganlah kamu
bertolong-tolongan berbuat dosa dan agressi. Adapun lengkapnya Qaidah
Agama itu:
Ta'a-wanaw 'alay lBirri wa tTaqway wa la- Ta'a-naw 'alay lItsmi wa
l'Udwa-ni (S.Al Ma-idah 2). Tolong-menolonglah kamu berbuat baik dan
taqwa, dan janganlah kamu bertolong-tolongan berbuat dosa dan agressi
(5:2). WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 11 Agustus 1996
|
|