|
BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM
Dalam seri 241
hari Ahad yang lalu antara lain telah dikemukakan metodologi
penelitian Ibnu Khaldun yang berpangkal pada Ayat Qawliyah dan
mengadakan stratifikasi daerah penelitiaannya. Yaitu Ibnu Khaldun
membagi daerah penelitiannya dalam lima daerah, yaitu daerah yang jauh
ke selatan yang sangat panas, yang jauh ke utara yang sangat dingin
daerah selatan yang dekat yang kurang panasnya, daerah utara yang
dekat yang kurang dinginnya dan daerah pertengahan yang sedang panas
dan dinginnya.
Walaupun Ibnu Khaldun hidup sangat jauh dari zaman didapatkannya ilmu
statistik yang merupakan ilmu bantu yang sangat penting dalam
penelitian baik dalam disiplin ilmu eksakta maupun non-eksakta, ia
telah melakukan kegiatan ilmiyah, mengadakan stratifikasi daerah
penelitiaannya, salah satu unsur ilmu statistik dalam prihal
pengambilan sampel (sample, proefstuk).
***
Selanjutnya akan dikutip sebagian kecil dari seri 150 tertanggal 23
Oktober 1994 yang berjudul: Ujicoba yang Mubadzdzir. Seorang teknisi
membuat ujicoba yang mubadzdzir. Ia melihat gampangnya saja. Ia merasa
sudah cukup dengan melihat data input tekanan fluida kerja dan daya
output yang dikonversikan oleh sebuah turbin air. Ia kemudian membuat
turbin uap dengan data input dan daya output yang sama dengan data
input dan daya output pada turbin air itu. Ia mempergunakan material
turbin uap yang sama dengan material turbin air itu, sebab ia pikir
data input dan daya outputnya sudah sama.
Apa yang terjadi, setiap selesai membuat turbin uap kemudian
mengadakan ujicoba, hasilnya selalu gagal, sudu-sudunya patah. Apabila
konstruksi turbin uap yang demikian itu disodorkan kepada seorang yang
mengerti, yaitu sarjana teknik mesin, ia tidak akan mau mengadakan
ujicoba. Kalau sarjana teknik mesin itu tahu sedikit tentang sastera,
ia akan mengatakan:
Arang habis, besi binasa. Tukang bekerja, penat saja.
Atau dengan bahasa Al Quran: Mubadzdzir. Ini dilarang Allah:
wa La- Tubadzdzir Tabdziyran (S.Isra-, 26). Janganlah kamu
menghambur-hamburkan (tenaga, pikiran dan dana) secara boros (17:26).
Mengapa ujicoba itu selalu gagal? Turbin uap itu akan mengalami
tegangan termal (thermal stress), sedangkan pada turbin air tidak,
oleh karena keduanya beroperasi dalam kondisi suhu yang berbeda.
Dalam hal ujicoba lima hari kerja itu tidak ubahnya dengan perumpamaan
di atas: turbin air dan turbin uap. Ujicoba lima hari kerja itu
ternyata tanpa perhitungan cermat lebih dahulu, ibarat ujicoba yang
dikerjakan oleh sang teknisi di atas tadi. Orang-orang yang diujicoba
itu tak ubahnya sebagai material pada turbin itu. Yaitu orang-orang
pada negara maju ibarat material pada turbin air. Orang-orang di
Indonesia ibarat material pada turbin uap. Orang-orang di sini
mengalami thermal stress, karena ruang kerjanya tidak ber-AC. Maka
sesungguhnya tidaklah perlu mengadakan ujicoba, seperti sikap sarjana
teknik mesin yang disodorkan padanya turbin uap dengan material yang
sama dengan turbin air. Sebab insya Allah akan gagal, seperti gagalnya
ujicoba yang dikerjakan oleh teknisi di atas itu. Sekian kutipan
bagian yang dipersingkat dari seri 150 itu.
Baru-baru ini melalui media elektronik visual yang disebut televisi
Menteri Silalahi secara resmi membantah pendapat umum yang beranggapan
bahwa hari kerja lima hari itu sudah merupakan suatu keputusan. Ia
meluruskan pendapat umum itu dengan omongan bahwa itu bukan keputusan,
melainkan baru ujicoba. Setelah dievaluasi, demikian omongannya,
ternyata hanya cocok di Jakarta saja. Artinya ujicoba itu menunjukkan
kegagalan teori lima hari kerja, karena ternyata kinerja dan etos
kerja PNS bukan bertambah seperti yang diharapkan, melainkan dalam
kenyataannya menurun.
Kalau benar itu baru merupakan ujicoba ada yang patut disesalkan.
Yaitu metode pelaksanaan ujicoba itu membawa akibat biaya tinggi,
terjadi pemborosan. Mengapa seluruh populasi diujicoba. Memang ada
pengecualian, yaitu sekolah-sekolah tidak diujicoba. Namun maksud
Silalahi semula, betul-betul seluruh populasi, tidak terkecuali
sekolah-sekolah. Urungnya sekolah-sekolah menjalani ujicoba itupun
karena dilarang oleh Presiden atas saran para alim-ulama.
Silalahi telah mengabaikan salah satu aspek yang penting dalam
pembangunan, yaitu modernisasi dalam konteks pemanfaatan ilmu dan
teknologi dalam pembangunan. Ada yang terlecehkan dalam ujicoba itu.
Yaitu untuk menghemat dana dan daya tidaklah perlu untuk mengujicoba
seluruh populasi. Mengapa melecehkan ilmu statistik, yaitu mengapa
populasi itu tidak diperciut dengan mangambil sampel saja secara acak
dengan stratifikasi terlebih dahulu? Mengapa Silalahi sampai hati
untuk tidak menggubris ilmu bantu yang dapat menghemat biaya dan
tenaga itu? Ataukah ungkapan ujicoba itu hanya sekadar kilah untuk
menegakkan benang basah, mencoba membungkus kenyataan banyaknya dana
dan daya yang terbuang percuma akibat "uji-coba" lima hari kerja itu?
Ada sedikit catatan tambahan, yaitu penggunaan ungkapan modernisasi di
atas itu dengan modernisme dalam seri 241 yang lalu. Yang dimaksudkan
dengan modernisasi adalah pemanfaatan ilmu dan teknologi dalam
pembangunan untuk mendapatkan kinerja (efisiensi, efektivitas,
produktivitas) yang lebih tinggi, dengan mengingat dalil dari kaidah
agama:
WalalAkhiratu Khayrun Laka mina lUwlay (S. Adh Dhuhay, 4). Yang akhir
itu lebih baik dari yang lalu (93:4).
Sedang yang dimaksud dengan modernisme adalah suatu aliran filsafat,
bahkan di dunia barat banyak yang menganggapnya sebagai pandangan
hidup. Modernisme berakar pada pencerahan (Aufklarung), artinya
pencerahan adalah cikal bakal modernisme yang berintikan prinsip
reasoning, yaitu empirisme dan positivisme. Ajaran Islam tidak
menolak, bahkan sangat menekankan reasoning, menekankan empirisme
dalam bingkai tertentu. Namun menolak positivisme yang mengabaikan
bahkan menafikan Yang Ghaib dan alam ghaib, yang tak dapat dideteksi
oleh pancaindera secara langsung, maupun yang melalui hasil deteksi
oleh instrumen. Tegasnya ajaran Islam menolak sikap agnostik dan
ateis. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 22 September 1996
|
|