|
BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM
Hari Senin, 3 Maret 1997 saya menerima deringan-deringantelepon, meminta
agar saya menulis tentang manusia kembar buaya atau buaya kembar
manusia. Ini sehubungan dengan berita yang dimuat oleh FAJAR edisi 3
Maret 1997 dengan judul berita Melahirkan Manusia Kembar Buaya pada
halaman 9. Mengapa saya mendapat sasaran telepon mungkin karena dua
alasan. Pertama, berita itu relevan untuk dibahas dalam kolom Wahyu dan
Akal - Iman dan Ilmu. Kedua, saya berasal dari Selayar, seasal dengan
ibu buaya kembar manusia itu.
Sebenarnya peristiwa lucu itu telah dibahas dalam kolom ini 5 tahun yang
lalu sebagai sebagian oleh-oleh Mudik dari Selayar, yaitu dalam Seri
025, 026 dan 027.
Menjelang lebaran tahun 1412 H, saya ikut pergi ke udik atau mengudik
disingkat menjadi mudik. Sebenarnya bagi saya bukan mudik melainkan
menghilir, karena betul-betul pergi ke hilir, bahkan menempuh laut, ke
Selayar, kabupaten terselatan dari provinsi ini. Walaupun sebenarnya
menghilir, namun akan tetap dipakai istilah mudik, sebab istilah ini
sudah mempunyai konotasi yang khas. Oleh-oleh Seri 025 yang berjudul
Mudik, 12 April 1992, belumlah memuat laporan khusus tentang buaya yang
berkembar manusia. Barulah dalam kedua seri yang berikutnya membicarakan
antara lain cerita manusia beranak kembar buaya manusia tersebut.
Saya kutip: Saya teringat di bagian selatan pulau itu masih ada berhala
lokal yang disebut Topa. Menurut informasi yang saya dapatkan, berhala
Topa itu masih difungsikan orang. Topa itu erupa liang batu pada sebuah
muara. Di dalam liang batu itu katanya bersemayam seekor buaya putih
dengan lima jari, dianggap nenek moyang sebuah rumpun keluarga. Kata
orang, buaya putih itu sudah sedemikian besarnya sehingga tidak dapat
lagi keluar dari liang gua, karena mulut liang itu sudah terlalu sempit
baginya. Di situlah orang minta rezeki dengan membawa telur yang
diselamkan masuk ke dalam liang, dan mengoleskan darah ternak di mulut
lubang liang batu itu. (Dari Seri 26, Berhala Tradisional dan Berhala
Modern, 26 April 1992. Judul tsb merupakan tema Khutbah Jum'at terakhir
dalam bulan Ramadhan yang saya khutbahan di Masjid Raya Benteng,
Selayar)
Selanjutnya saya kutip: Tulisan ini adalah oleh-oleh terakhir pulang
mudik. Khuthbah Jum'at mengenai Topa, berhala lokal itu, buaya putih
lima jari, berkembang menjadi diskusi yang hangat pada sebuah rumah
keluarga tempat saya berkunjung sesudah lebaran alam rangka
silaturrahim. Istilah silaturrahim ini mengalami gejala apocope
menjadi silaturrahmi yang kelihatannya lebih populer. Ini tidak aneh,
dalam bahasa Makassar gejala ini juga ada, misalnya biralle menjadi
bilarre.
Bahwa rumpun keluarga keturunan buaya putih lima jari di Topa itu tidak
mustahil. Di Sulawesi Selatan ini katanya adalah hal yang lazim manusia
beranak buaya, anak yang mempunyai kembar buaya. Fa''A-lu Lima- Yuriydu
(S. Al Buruwj, 16). Allah berbuat sekehendakNya, ucap salah seorang
peserta diskusi mengutip ayat Al Quran. Serta merta ucapan itu didebat
oleh kemanakannya sendiri: Orang beranak buaya? Tidak masuk akal, karena
tidak ada dalam Al Quran. Sang paman menimpali pula: Jadi kau anggap
paman pembohong? Saya melihat dengan mata kepala sendiri dukun beranak
memperlihatkan kepada semua yang hadir di rumah ibu yang baru saja
melahirkan bayinya berkembar buaya. Sang kemanakan berucap pula:
Terserah, pokoknya itu tidak masuk akal sebab tidak ada dalam Al Quran
orang yang beranak buaya. Seorang tamu yang lain turut angkat bicara:
Yang penting, kita tidak ikut terlibat dalam minta-minta rezeki di Topa
itu. Apakah buaya putih lima jari itu menurunkan rumpun keluarga, atau
tidak, tergantung dari keyakinan dan pikiran masing-masing, pokoknya
asal kita tidak terlibat dalam menjadikannya berhala. Saya tidak
sependapat, sang kemanakan tadi memotong. Justru karena percaya tentang
tahyul, buaya menurunkan rumpun keluarga, atau ibu yang melahirkan
buaya, atau anak kembar buaya, membuka kesempatan untuk melakukan
khurafat, minta-minta rezeki, menyembah berhala. Tahyul semacam itu
membuka pintu kepada kemusyrikan. Jadi pada pokoknya tahyul itu harus
dikikis habis. (Dari Seri 27, Tahyul Klasik dan Tahyul Kontemporer, 3
Mei 1992).
Kutipan yang berikut adalah komentar saya sebagai kesimpulan dalam
diskusi itu: Jadi supaya terpelihara aqidah kita, apabila ada hal yang
aneh-aneh kita dengar kita tanya dahulu Ilmu pengetahuan alam syahadah
(baca: Ayat Kawniyah). Apakah mungkin manusia beranak buaya menurut
biologi, menurut ilmu genetika? Jawabnya bertentangan dengan ilmu
genetika. Apakah yang demikian itu ada dalam Al Quran? (baca: Ayat
Qawliyah). Tidak ada, jadi tidak masuk akal. Jalan pemikiran sang
kemanakan di atas itu benar adanya. Lalu apakah sang paman pembohong?
Kita bertanya pernakah seorang ibu yang melahirkan di rumah sakit
bersalin diinformasikan beranak buaya? Tidak pernah. Apa perbedaan orang
melahirkan di rumah sakit oleh bidan dengan melahirkan di rumah sendiri
oleh dukun beranak? Bedanya adalah di rumah sakit bersalin sifatnya
terbuka, bahkan ada berita acaranya. Sedangkan di rumah sendiri sifatnya
tertutup. Lalu apa artinya itu? Di ditempat terbuka tidak mungkin atau
tidak sempat untuk melakukan manipulasi, sedangkan di tempat tertutup,
ada kesempatan bahkan terbuka luas untuk manipulasi. Itulah jawabannya.
Sang paman tidak bohong, melainkan terkecoh oleh ulah si dukun beranak.
Tujuannya mengecoh? Untuk sensasi sebagai sasaran antara dan
komersialisasi untuk sasaran utama (alinea terakhir Seri 27).
Sekianlah kutipan dari kedua seri itu, mudah-mudahan jelas adanya. Kalau
kita mendengar atau membaca yang aneh-aneh, maka dengan landasan iman
dan mempergunakan akal kita merujuk sekaligus kepada Ayat Qawliyah dan
Ayat Kawniyah. Beriman kepada wahyu, mempergunakan akal sehingga berilmu
akan membentuk sikap yang tegas menolak tahyul, yang selanjutnya
menghasilkan perilaku untuk tidak terseret melakukan khurafat
minta-minta rezeki ataupun barakah selain dari Allah SWT.
Semoga terhindarlah kita dari cacat aqidah, terbebas dari pengaruh
tahyul, seperti buaya menurunkan rumpun keluarga, atau ibu yang
melahirkan buaya, atau anak kembar buaya, dan segala macam cerita,
berita aneh-aneh yang tidak ditopang oleh Ayat Qawliyah dan atau Ayat
Kawniyah, Amin! WaLlahu A'lamu bishShawab.
*** Makassar, 9 Maret
1997[H.Muh.Nur Abdurrahman]
|
|