|
|
|
Ada
orang lain yang berkata: saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja
satu, kursi empat, yaitu „meja-makan", lantas satu zitje, lantas satu
tempat tidur. Sang
Ndoro yang mempunyai rumah gedung, elektrische kookplaat, tempat tidur, uang
bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana yang lebih gelukkig, belum tentu mana
yang lebih bahagia, sang Ndoro dengan tempat tidurnya yang mentul-mentul, atau
Sarinem dan Samiun yang hanya mempunyai satu tikar dan satu periuk,
saudara-saudara! (Tepuk
tangan, dan tertawa) Saudara-saudara,
soalnya adalah demikian: k i t a
i n I b e r a n I
m e r d e k a a t a u
t i d a k ? ? Inilah, saudara-saudara sekalian, Paduka tuan ketua yang
mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan
hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian
P.T. Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan
merdeka, beliau mengatakan: kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah
merdeka, itulah kemerdekaan. Saudara-saudara, jika t i a p - t i a p orang
Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum
kita dapat mencapai political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur
kiamat kita belum dapat Indonesia merdeka! (Tepuk tangan riuh). D
i d a l a m Indonesia merdeka
itulah kita m e m e r d e k a
k a k a n rakyat kita!! D i d a l a m Indonesia
Merdeka itulah kita m e m e r d e k
a k a n hatinya bangsa kita!
D i d a l a m Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud
m e m e r d e k a k a n rakyat
Arabia satu persatu. D i d a l a m
Soviet-Rusia Merdeka Stalin m e m e
r d e k a k a n hati bangsa
Soviet-Rusia satu persatu. D
i d a l a m Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita, walaupun
misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk
menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. D i d a l a m
Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, d i d a l a
m Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya
dengan perkataan „jembatan". Di seberang jembatan, j e m b a t a n
e m a s, inilah, baru kita l
e l u a s a menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat,
sehat, kekal dan abadi.
Janganlah
kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih dulu 1001 soal yang
bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka apa tidak? Mau merdeka atau
tidak? (Jawab
hadlirin: Mau!) Saudara-saudara!
Sesudah saya bicarakan tentang hal „merdeka", maka sekarang saya
bicarakan tentang hal d a s a r. Paduka
tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang paduka tuan Ketua kehendaki!
Paduka tuan Ketua minta d a s a r , minta p h i l o s o p h i s c h e g r o n d s l a g,
atau, jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka tuan
Ketua yang mulia meminta suatu „Weltanschauung", diatas mana kita
mendirikan negara Indonesia itu. Tuan-tuan
sekalian, „Weltanschauung" ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam
hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang.
Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan
bermacam-macam „Weltanschauung", bekerja mati-matian untuk
me"realiteitkan" „Weltanschauung" mereka itu. Maka oleh karena
itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikusno, bila
beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi
seadanya saja, menurut keadaan, Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut
perkataan John Reed: „Soviet-Rusia didirikan didalam 10 hari oleh Lenin
c.s.", - John Reed, di dalam kitabnya: „Ten days that shook the
world", „sepuluh hari yang menggoncangkan dunia" -, walaupun Lenin
mendirikan Soviet-Rusia di dalam 10 hari, tetapi „Weltanschauung"nya, dan
di dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara
baru itu diatas „Weltanschauung" yang sudah ada. Dari 1895
„Weltanschauung" itu telah disusun. Bahkan dalam revolutie 1905,
Weltanschauung itu „dicobakan", di „generale-repetitie-kan". Lenin
di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau
sendiri „generale-repetitie" dari pada revolusi tahun 1917. Sudah lama
sebelum 1917, „Weltanschaung" itu disedia-sediakan, bahkan
diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John
Reed, hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan,
ditaruhkan kekuasaan itu di atas „Weltanschauung" yang telah
berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian? Di
dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara Jermania
di atas National-sozialistische Weltanschauung. Tetapi
kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya „Weltanschauung" itu? Bukan
di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja,
kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini, „Weltanschauung"
ini, dapat menjelma dengan dia punya „Munschener Putsch", tetapi gagal.
Di dalam 1933 barulah datang saatnya yang beliau dapat merebut kekuasaan, dan
negara diletakkan oleh beliau di atas dasar „Weltanschauung" yang telah
dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu. Maka
demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka, Paduka tuan
ketua, timbullah pertanyaan: Apakah „Weltanschauung" kita, untuk
mendirikan negara Indonesia Merdeka diatasnya? Apakah nasional-sosialisme?
Apakah historisch-materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan doktor
Sun Yat Sen? Di
dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi
„Weltanschauung"nya telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak salah,
dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku „The three people"s
principles" San Min Chu I, - Mintsu, Minchuan, Min Sheng, - nasionalisme,
demokrasi, sosialisme,- telah digambarkan oleh doktor Sun Yat Sen Weltanschauung
itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru diatas
„Weltanschauung" San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu
berpuluh-puluh tahun. Kita
hendak mendirikan negara Indonesia merdeka di atas „Weltanschauung" apa?
Nasional-sosialisme-kah, Marxisme-kah, San Min Chu I-kah, atau
„Weltanschauung’ apakah? Saudara-saudara
sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah
dikemukakan, - macam-macam - , tetapi alangkah benarnya perkataan dr Soekiman,
perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari
persetujuan faham. Kita bersama-sama mencari p e r s a t u a n p h i l o s o p h
i s c h e g r o n d s l a g , mencari satu „Weltanschauung" yang k i t a
s e m u a setuju. Saya katakan lagi s e t u j u ! Yang saudara Yamin setujui,
yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang sdr. Sanoesi setujui, yang
sdr. Abikoesno setujui, yang sdr. Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua
mencari satu modus. Tuan Yamin, ini bukan compromis, tetapi kita bersama-sama
mencari satu hal yang kita b e r -s a m a - s a m a setujui. Apakah itu?
Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan
Indonesia merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan
negara Indonesia merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya
hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu
golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan? K
i t a m e n d i r i k a n
s a t u n e g a r a
k e b a n g s a a n I
n d o n e s i a. Saya
minta saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: Menurut
Renan syarat bangsa ialah „kehendak akan bersatu". Perlu orang-orangnya
merasa diri bersatu dan mau bersatu. Ernest
Renan menyebut syarat bangsa: „le desir d’etre ensemble", yaitu
kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa,
yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu. Kalau
kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya
„Die Nationalitatenfrage", disitu ditanyakan: „Was ist eine
Nation?" dan jawabnya ialah: „Eine Nation ist eine aus
chiksals-gemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft". Inilah
menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang
timbul karena persatuan nasib). Tetapi
kemarinpun, tatkala, kalau tidak salah, Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan,
maka anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata: „verouderd", „sudah
tua". Memang tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah
„verouderd", sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala
Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap
baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik. Kemarin,
kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Moenandar, mengatakan
tentang „Persatuan antara orang dan tempat". Persatuan antara orang dan
tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya! Orang
dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang
ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat
orangnya. Mereka hanya memikirkan „Gemeinschaft"nya dan perasaan
orangnya, „l’ame et desir". Mereka hanya mengingat karakter, tidak
mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu, Apakah
tempat itu? Tempat itu yaitu t a n
a h a i r. Tanah air itu adalah
satu kesatuan. Allah SWT membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita
melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan dimana „kesatuan-kesatuan"
disitu. Seorang anak kecilpun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat
menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu
dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara 2 lautan yang
besar, lautan Pacific dan lautan Hindia, dan diantara 2 benua, yaitu benua Asia
dan benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau
Jawa,Sumatera, Borneo, Selebes, Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan
lain-lain pulau kecil diantaranya, adalah satu kesatuan. Demikian
pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon
yang membentang pada pinggir Timur benua Asia sebagai „golfbreker" atau
pengadang gelombang lautan Pacific, adalah satu kesatuan. Anak
kecilpun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan,
dibatasi oleh lautan Hindia yang luas dan gunung Himalaya. Seorang anak kecil
pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan. Griekenland
atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai kesatuan pula, Itu ditaruhkan oleh Allah
SWT demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athene saja, bukan Macedonia saja,
tetapi Sparta plus Athene plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain,
segenap kepulauan Yunani, adalah satu kesatuan. Maka
manakah yang dinamakan tanah tumpah-darah kita, tanah air kita? Menurut
geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa
saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja,
atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan uang ditunjuk oleh Allah SWT menjadi
suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita! Maka
jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan
buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oeh Ernest Renan dan Otto
Bauer itu. Tidak cukup „le desir d’etre ensembles", tidak cukup
definisi Otto Bauer „aus schiksalsgemeinschaft erwachsene
Charaktergemeinschaft" itu. Maaf saudara-saudara, saya mengambil contoh
Minangkabau, diantara bangsa di Indonesia, yang paling ada „desir d’entre
ensemble", adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2,5 milyun. Rakyat
ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuaan,
melainkan hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan! Penduduk Yogyapun
adalah merasa „le desir d’etre ensemble", tetapi Yogyapun hanya satu
bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat
merasakan „le desir d’etre ensemble", tetapi Sundapun hanya satu
bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Pendek
kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang
yang hidup dengan „le desir d’etre ensemble" diatas daerah kecil
seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi
bangsa Indonesia ialah s e l u r u h manusia-manusia yang, menurut geopolitik
yang telah ditentukan oleh s.w.t., tinggal dikesatuannya semua pulau-pulau
Indonesia dari ujung Utara Sumatra sampai ke Irian!
S e l u r u h n y a !, karena
antara manusia 70.000.000 ini sudah ada „le desir d’etre (Tepuk
tangan hebat). Kesinilah
kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale staat, diatas kesatuan bumi
Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu
golongan diatara tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang
dinamakan „golongan kebangsaan". Kesinilah kita harus menuju semuanya. Saudara-saudara,
jangan orang mengira bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat!
Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan Sakssen adalah nationale staat, tetapi
seluruh Jermanialah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan
Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italialah, yaitu seluruh semenanjung di
Laut Tengah, yang diutara dibatasi pegunungan Alpen, adalah nationale staat.
Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segi-tiga
Indialah nanti harus menjadi nationale staat. (T
U A N L I M
K O E N H I A N :
Bukan begitu. Ada sambungannya lagi. ) (T
U A N S O E K A R N O:) Kalau
begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena tuan Lim Koen Hian pun
menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik
yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk faham
kosmopolitisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa
Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka
berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada
bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya „menschheid",
„peri kemanusiaan". Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran
kepada rakyat Tionghoa, bahwa a d a
kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun,
duduk di bangku sekolah H.B.S. di Surabaya, saya dipengaruhi oleh seorang
sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya, - katanya:
jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan
mempunyai rasa kebangsan sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 17. Tetapi pada
tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, - ialah Dr
SunYat Sen! Di dalam tulisannya „San Min Chu I" atau „The Three
People’s Principles", saya mendapat pelajaran yang membongkar
kosmopolitisme yang diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu
tertanamlah r a s a
k e b a n g s a a n, oleh pengaruh „The Three People"s
Principles" itu. Maka
oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen
sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang
dengan perasaan hormat-sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun
Yat Sen, - sampai masuk kelobang kubur. (Anggauta-anggauta
Tionghoa bertepuk tangan). Saudara-saudara. Tetapi
........ tetapi ........... memang prinsip kebangsaan ini ada
b a h a y a n y a ! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan
nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berfaham „Indonesia uber
Alles". Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa
yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya
satu bahagian kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal ini! Gandhi
berkata: „Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah
perikemanusiaan „My nationalism is humanity". Kebangsaan
yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai
dikobar-kobarkan orang di Eropah, yang mengatakan „Deutschland uber
Alles", tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya, bangsanya minulyo,
berambut jagung dan bermata biru, „bangsa Aria", yang dianggapnya
tertinggi diatas dunia, sedang bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita
berdiri di atas azas demikian, Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa
Indonesialah yang terbagus dan termulya, serta meremehkan bangsa lain. Kita
harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia. Kita
bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju
pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Justru
inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch principe yang nomor dua, yang
saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan „i n t e r n a s i o n
a l i m e". Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya
bermaksud k o s m o p o l i t
i s m e, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia,
tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan
lain-lainnya. Kemudian,
apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar
permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu
negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan
negara „semua buat semua", „satu buat semua, semua buat satu".
S a y a y a k i n
s y a r a t y a n g
m u t l a k u n t u k k
u a t n y a n e g a r a
I n d o n e s i a i a l a h p
e r m u s y a w a r a t a n p e r w a k i l a n . Untuk
pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sayapun,
adalah orang Islam, -- maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum
sempurna, -- tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat
saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan, hati Islam. Dan
hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam
permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan
agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan
Perwakilan Rakyat. Apa-apa
yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan,
inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita
usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi
perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja
sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan
perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam. Jikalau memang
rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang
Islam disini agama yang hidup berkobar-kobar didalam kalangan rakyat, marilah
kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan
sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya
badan perwakilan Rakyat 100 orang anggautanya, marilah kita bekerja, bekerja
sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan
rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. dengan sendirinya hukum-hukum yang
keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula. Malahan saya yakin,
jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama
Islam benar-benar h i d u p di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90%
utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya
berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau demikian,
h i d u p l a h Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya diatas bibirsaja.
Kita berkata, 90% dari pada kita beragama Islam, tetapi lihatlah didalam sidang
ini berapa % yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya
hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup
sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada
saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam,
setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan. Dalam
perwakilan nanti ada perjoangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang
hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan-perwakilannya tidak seakan-akan
bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjoangan faham di
dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjoangan
selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan
rakyat! Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara islam dan saudara-saudara
kristen bekerjalah sehebat- hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa
tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut
Injil, bekerjalah mati-matian, agar suapaya sebagian besar dari pada
utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang kristen, itu
adil, - fair play!. Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau
tidak ada perjoangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjoangan.
Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah Subhanahu Wa
Ta’ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita
sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah,
supaya keluar dari padanya beras, dan beras akan menjadi nasi Indonesia yang
sebaik-baiknya. Terimalah saudara-saudara, prinsip nomor 3, yaitu prinsip
permusyawaratan Priinsip
No. 4 sekarang saya usulkan, Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip
itu, yaitu prinsip k e s e j a h t
e r a a n, p r i n s i p:
t i d a k a k a n
a d a k e m i s k i n a n
d i d a l a m I n d o n e s i a M
e r d e k a. Saya katakan tadi: prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min
Chuan, Min Sheng: nationalism, democracy, sosialism. Maka prinsip kita harus:
Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang
semua rakyat sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam
kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi
sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara
kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya
sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropah
adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democracy. Tetapi tidakkah
diEropah justru kaum kapitalis merajalela? Di
Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum
kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela?
Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah oleh
karena badan- badan perwakilan rakyat yang diadakan disana itu, sekedar menurut
resepnya Franche Revolutie. Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan democratie
disana itu hanyalah p o l i t i e k
e democratie saja; semata-mata
tidak ada sociale rechtvaardigheid, -- tak ada k
e a d i l a n s o s i a l, tidak ada e k o n o m i s c h e democratie sama
sekali. Saudara-saudara,
saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang
menggambarkan politieke democratie. „Di dalam Parlementaire Democratie, kata
Jean Jaures, di dalam Parlementaire Democratie, tiap-tiap orang mempunyai hak
sama. Hak p o l i t i e k
yang sama, tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di dalam
parlement. Tetapi adakah Sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan
kesejahteraan di kalangan rakyat?" Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata
lagi: „Wakil kaum buruh yang mempunyai hak
p o l i t i e k itu, di
dalam Parlement dapat menjatuhkan minister. Ia seperti Raja! Tetapi di dalam dia
punya tempat bekerja, di dalam paberik, - sekarang ia menjatuhkan minister,
besok dia dapat dilempar keluar ke jalan raya, dibikin werkloos, tidak dapat
makan suatu apa". Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki? Saudara-saudara,
saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat,
tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni
p o l i ti e k - e c o m i s c h e
democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia
sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang
dimakksud dengan faham Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin
sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian,
menciptakan dunia-baru yang di dalamnya a d a keadilan di bawah pimpinan Ratu
Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat
mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale
rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan
p o l i t i e k, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan
e k o n o m i kita harus
mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya. Saudara-saudara,
badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan
politieke democratie saja, tetapi badan yang
b e r sa m a d e n g a n m a
s y a r a k a t dapat mewujudkan
dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid. Kita
akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama, saudara-saudara, di dalam badan
permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal!
Juga di dalam urusan kepada negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih
monarchie. Apa sebab? Oleh karena monarchie „vooronderstelt
erfelijkheid", - turun-temurun. Saya seorang Islam, saya demokrat karena
saya orang Islam, saya meng-hendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap
kepala negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala
negara, baik kalif, maupun Amirul mu’minin, harus dipilih oleh Rakyat?
Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita pilih. Jikalau pada suatu
hari Ki Bagus Hadikoesoemo misalnya, menjadi kepala negara Indonesia, dan
mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya,
dengan automatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya
tidak mufakat kepada prinsip monarchie itu. Saudara-saudara,
apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan 4 prinsip: 1.
Kebangsaan Indonesia. 2.
Internasionalisme, - atau peri-kemanusiaan. 3.
Mufakat, - atau demukrasi. 4.
Kesejahteraan sosial.
Prinsip
yang kelima hendaknya: Menyusun
Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Prinsip
K e t u h a n a n ! Bukan
saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya
bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al
Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha
menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita
semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap
orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat
hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada
„egoisme-agama". Dan hendaknya N
e g a r a Indonesia satu
N e g a r a yang bertuhan! Marilah
kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang
b e r k e a d a b a n. Apakah
cara yang berkeadaban itu? Ialah h
o r m a t - m e n g h o r m a t i s
a t u s a m a
l a i n. (Tepuk
tangan sebagian hadlirin). Nabi
Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang
menghormati agama- agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid.
Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu,
menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah
K e t u h a n a n y a n g
b e r k e b u d a y a a n, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur,
Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya,
jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan
Ketuhanan Yang Maha Esa! Disinilah,
dalam pangkuan azas yang kelima inilah, saudara- saudara, segenap agama yang ada
di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara
kita akan bertuhan pula! Ingatlah,
prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, disitulah tempatnya kita
mempropagandakan idee kita masing-masing dengan cara yang berkebudayaan! Saudara-saudara!
„Dasar-dasar Negara" telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca
Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat disini. Dharma berarti kewajiban,
sedang kita membicarakan d a s a r.
Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima
jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Inderia. Apa lagi yang
lima bilangannya? (Seorang
yang hadir: Pendawa lima). Pendawapun
lima oranya. Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan, internasionalisme, mufakat,
kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya. Namanya
bukan Panca Dharma, tetapi - saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita
ahli bahasa namanya ialah P a n c a
S i l a. Sila artinya azas atau
d a s a r, dan di atas
kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi. (Tepuktangan
riuh). Atau,
barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Dan
demokrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi politiek-economische demokratie,
yaitu politieke demokrasi d e n g a
n sociale rechtvaardigheid,
demokrasi d e n g a n
kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya
namakan Tinggal
lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Negara Indonesia yang kita dirikan
haruslah negara g o t o n g r o
y o n g! Alangkah hebatnya!
N e g a r a G o t o n g
R o y o n g ! (Tepuk
tangan riuh rendah). „Gotong
Royong" adalah faham yang d i
n a m i s, lebih dinamis dari „kekeluargaan", saudara-saudara!
Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan
satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat
Soekardjo satu karyo, satu gawe. Marilah
kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini,
b e r s a m a- s a m a ! Gotong-royong
adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan
bantu-binantu bersama. A m a l
semua buat kepentingan semua, k
e r i n g a t semua buat
kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong
Royong! (Tepuktangan
riuh rendah). Prinsip
Gotong Royong diatara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang
Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa
Indonesia. Inilah,
saudara-saudara, yang saya usulkan kepada saudara-saudara. Pancasila
menjadi Trisila, Trisila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan,
mana yang Tuan-tuan pilih: trisila, ekasila ataukah pancasila?
I s i n y a telah saya
katakan kepada saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya
usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang
abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi
jangan lupa, kita hidup didalam masa peperangan, saudara- saudara. Di dalam masa
peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia, - di dalam gunturnya
peperangan! Bahkan saya mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu Wa
Ta’ala, bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan
purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan.
Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang
digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah
negara Indonesia yang kuat, bukan negara Indonesia yang lambat laun menjadi
bubur. Karena itulah saya mengucap syukur kepada Allah SWT. Berhubung
dengan itu, sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara tadi,
barangkali perlu diadakan noodmaatregel, peraturan bersifat sementara. Tetapi
dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya,
haruslah Panca Sila. Sebagai dikatakan tadi,saudara-saudara, itulah harus
Weltanschauung kita. Entah saudara- saudara mufakatinya atau tidak, tetapi saya
berjoang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu.
Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk
kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam peri-kemanusiaan; untuk permufakatan;
untuk sociale rechtvaardigheid; untuk ke-Tuhananan. Panca
Sila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh-puluh tahun.
Tetapi, saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah saudara-saudara. Tetapi
saya sendiri mengerti seinsyaf- insyafnya, bahwa tidak satu Weltaschauung dapat
menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu
Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi r e a l i t e i t, jika
tidak dengan p e r j o an g a n ! „D
e Mensch", -- manusia! --, harus p
e r j o a n g k a n itu. Zonder
perjoangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi
realiteit zonder perjoangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat
menjadi kenyataan zonder perjoangan bangsa Tionghoa, saudara-saudara! Tidak!
Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: zonder perjoangan manusia, tidak ada
satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit.
Janganpun buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab
Qur’an, zwart op wit (tertulis di atas kertas), tidak dapat menjelma menjadi
realiteit zonder perjoangan manusia yang dinamakan ummat Islam. Begitu pula
perkataan-perkataan yang tertulis didalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk
di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perjoangan ummat Kristen. Maka
dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Panca Sila yang saya usulkan
itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa,
satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka,
yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup diatas dasar permusyawaratan,
ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan
sejahtera dan aman, dengan ke-Tuhanan yang luas dan sempurna, --janganlah lupa
akan syarat untuk menyeleng-garakannya, ialah perjoangan, perjoangan, dan sekali
lagi pejoangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka
itu perjoangan kita telah berakhir.Tidak! Bahkan saya berkata:
D I d a l a m Indonesia Merdeka itu perjoangan kita harus berjalan
t e r u s, hanya lain
sifatnya dengan perjoangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita, bersama-sama,
sebagai bangsa yang bersatu padu, berjoang terus menyelenggarakan apa yang kita
cita-citakan di dalam Panca Sila. Dan terutama di dalam zaman peperangan ini,
yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu saudara-saudara, bawa Indonesia
Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak mengambil risiko, --
tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya.
Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekad - mati-matian untuk
mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa
Indonesia buat selama-lamanya, sampai keakhir jaman! Kemerdekaan hanyalah
diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad
„Merdeka, -- merdeka atau mati"! (Tepuk
tangan riuh) Saudara-sauadara!
Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka Tuan Ketua. Saya minta maaf,
bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar, dan sudah meminta tempo yang
sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena saya telah mengadakan kritik
terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya anggap „verschrikkelijk
zwaarwichtig" itu. Terima kasih! (Tepuk tangan riuh rendah dari segenap hadlirin). Disalin dari buku LAHIRNYA PANTJASILA, Penerbit Guntur,1949, Jogjakarta, Cetakan kedua
|
||
|