JENDELA itu masih terbuka. Ani mengintip sekali lagi, masih gelap. Tak ada setitik cahaya pun dari kamar itu. Tapi dia yakin sejenak yang lalu, sepasang mata menyorot tajam di tengah kegelapan bilik di lantai dua rumah tetangganya, sepasang mata yang bersinar kehijauan.
Dari balik jendela kamarnya, Ani dengan leluasa biasa mengawasi kamar yang angker itu. Bukan sekadar omong kosong keangkerannya. Hampir setiap malam Ani bisa mendengar suara menggeram, seperti berasal dari seekor binatang besar, dari jendela tersebut. Ani pernah mendengar dari orangtuanya, di rumah berpagar tinggi itu tinggal dua orang pemuda, yang satu lumpuh kakinya, dan yang satu tuli. Mereka tak pernah keluar rumah. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, setiap akhir pekan orangtua mereka mengirim barang melalui pos. Ani tidak habis pikir, apakah dua pemuda itu menjadi orang buangan di rumah besar itu, tidakkah orangtuanya merasa bersalah mengurung dua anak mereka di dalam rumah.
Sekali lagi Ani mencoba menajamkan pandangan dan pendengarannya. Dia bisa mendengar suara itu lagi, pelan tapi teratur, satu per satu, seperti detak jam, tapi itu bukan detak jam, lebih mirip geraman serigala atau beruang hitam besar. Tiba-tiba sekilat cahaya terpancar, menyilaukan matanya, rumah itu seketika berpendar kemudian kembali gelap tak berbekas. Ani nyaris tak mempercayai matanya. Dia bergegas turun.
"Ayah, ayah. Rumah depan terbakar," dia berteriak sambil menuruni tangga.
Sebenarnya bukan terbakar, tapi Ani hanya ingin membuat kejutan agar ayahnya mau bergerak. Bukan hanya sekali ini Ani mencoba meyakinkan Ayahnya bahwa rumah di depan itu mengandung misteri. Minggu lalu, Ani melihat serombongan burung masuk melalui jendela yang selalu terbuka itu. Minggu sebelumnya lagi dia menyaksikan cahaya yang menari-nari membentuk serangkaian huruf dari jendela yang sama, belum lagi berbagai bunyi-bunyian yang tidak bisa dinamainya. Ayah tak pernah mau percaya itu. Ilusi, mimpi, khayal, takhayul. Hanya itu komentar ayah. Alasan apalagi yang dapat digunakan Ani untuk mengajak ayahnya menyaksikan pertunjukan aneh itu kalau bukan sebuah bencana yang nyata.
Ayah Ani sontak berdiri demi mendengar teriakan anaknya. Dia bergegas membuka pintu depan, bertepatan dengan menyalanya lampu kilat yang lain dari jendela depan rumah misterius itu. Dia terperanjat, nyaris terjatuh, dengan hati-hati melangkah ke halaman depan agar bisa menyaksikan dengan lebih jelas. Geraman yang teratur itu kembali terdengar.
"Tidak ada kebakaran," katanya sambil menutup pintu. Dengan mata berbinar Ani menyatakan kemenangannya, "Ani sering melihat cahaya-cahaya aneh itu, juga bunyi-bunyian seperti yang barusan, akhirnya ayah mau percaya kan, kalau rumah itu misterius."
Ayah Ani hanya tersenyum sambil mengangguk, seperti masih enggan mengakui kebenaran perkataan anaknya.
* * *Sepulang sekolah keesokan harinya Ani mengajak Rina dan Bobi, sobat sekelasnya, untuk bermain di rumah. Mereka sudah sering membicarakan rumah misterius itu. Rina pernah menginap di rumah Ani dan menyaksikan salah satu episode cahaya dan suara aneh dari jendela di lantai dua. Bobi bahkan pernah mencoba mengintip dengan memanjat pohon yang tumbuh di pinggir jalan di depan rumah itu, tapi tak berhasil melihat apa pun. Bertiga mereka ingin menyusun rencana mengungkap misteri rumah bercat hijau muda itu.
"Bagaimana kalau kita saja yang mengantarkan paket yang dletakkan di depan pagar dan mengetuk pintu supaya mereka keluar," usul Rina.
"Mereka tidak pernah mau membuka pintu. Yang satu tak bisa berjalan ke pintu, yang satu lagi tidak bisa mendengar suara ketukan," kata Ani.
"Kalau begitu bagaimana mereka bisa mengambil paket yang dikirim setiap minggu."
"Mungkin ada alat otomatis yang mengantarkan kotak itu masuk, cukup dengan satu tombol untuk menggerakkan ban berjalan seperti di pabrik-pabrik mobil itu," kata Bobi.
"Coba kita cari nomor telepon rumah itu, tentu mereka punya telepon untuk berhubungan dengan orangtua mereka. Kita bilang saja kalau kita petugas yang dikirim orangtua mereka untuk membersihkan rumah," usul Ani.
Rina kelihatan ragu-ragu, "Sepertinya itu usul yang bagus, tapi apakah mereka percaya petugas kebersihan itu masih kecil-kecil seperti kita."
"Pasti mereka akan percaya, kalau kita punya peralatan yang lengkap dan berseragam." Ani yakin usulnya bisa berjalan.
* * *
Tak sulit untuk menemukan nomor telepon rumah di Jalan Haruman 17 itu. Ketiga anak itu menghubungi 108 dan langsung mendapatkannya. "2554664," Ani berulangkali menyebut nomor itu, seakan-akan itu adalah deretan angka sakti. Dia senang langkah pertamanya telah berhasil.
Tiga kali percobaan menelepon pada hari Sabtu pagi tak mendapat jawaban. "Mungkin mereka masih tidur," kata Bobi. "Kita coba lagi agak siangan, pukul sebelas barangkali mereka sudah segar."
Satu jam kemudian, mereka kembali menyesaki boks telepon umum di persimpangan jalan. Kali ini berhasil, suara seorang laki-laki menyahut, "Halo, siapa di sana?"
"Kami tiga petugas kebersihan yang diminta Bapak untuk membersihkan rumah di Jalan Haruman 17 hari minggu besok. Bolehkah kami masuk pada pukul sepuluh pagi besok?"
Sejenak tak terdengar suara apa pun di ujung sana, kemudian kemerisik telepon jatuh, dan hubungan terputus. Suara nyut-nyut di gagang telepon memusingkan kepala Ani.
"Huh, gagal. Mungkin dia curiga, karena belum pernah ada petugas kebersihan yang disuruh datang ke sana sebelumnya," katanya. "Kita harus cari cara lain."
Ketiga anak itu berpisah, kembali ke rumah masing-masing. Wajah Ani masih diliputi penasaran. Masuk ke kamarnya, dia kembali duduk di pinggir ranjang sambil memperhatikan jendela misteriusnya.
Ibu mengetuk pintu. "Ani, makan siang yuk. Mana Rina dan Bobi?"
"Sudah pulang, Bu," jawab Ani dengan suara lesu. Otaknya terus berputar memikirkan jalan untuk menembus pagar, membuka rahasia yang menyibukkan pikirannya.
"Ada apa sih, kelihatannya kamu tidak enak badan."
"Bukan begitu, Bu. Ani hanya capek, semalam Ani tidak bisa tidur, jendela rumah depan itu selalu mengganggu."
"Bagaimana kalau posisi tempat tidur kamu digeser sedikit supaya tidak bisa melihat jendela itu sambil tidur. Ditaruh di pojok samping jendela itu mungkin lebih baik, kamu bisa tidur lebih tenang."
"Ah, tidak mau. Ani justru ingin terus melihat jendela itu. Ani ingin tahu siapa yang tinggal di sana dan apa yang dilakukannya sampai membuat cahaya dan suara-suara aneh itu."
"Kalau begitu, bersahabatlah dengan mereka. Nanti ibu buatkan makanan, Ani antarkan kepada mereka, ya? Datang dengan bersahabat itu lebih baik daripada dengan curiga."
Ibu benar, tapi di mana letak petualangannya jika mereka bertiga datang ke sana sebagai sahabat.
* * *Ani tidak menolak tawaran ibunya ketika suatu minggu siang membuatkan puding jagung untuk diantarkan ke rumah tetangga depan. Puding jagung yang berwarna keemasan itu tampak begitu lezat. Ani segera menelepon Rina dan Bobi untuk ikut mengantarkan makanan itu bersamanya.
Pukul tiga sore, ketika hari masih terik, mereka bertiga mengetuk pagar tinggi rumah itu. Dengan suara keras Ani berkata, "Maaf, saya tetangga depan rumah, mau mengantarkan makanan bikinan ibu saya untuk kakak-kakak di sini."
Tiga kali mengetuk, akhirnya terdengar bunyi geretan ditarik di balik pagar. Sebentuk wajah muncul, berkaca mata tebal, tak lebih tinggi dari Ani dan kawan-kawan yang masih sembilan tahun. Pemuda yang duduk di kursi roda itu tersenyum, menyilakan mereka masuk. Ani menyerahkan piring puding, tapi dia tak bisa mengambilnya, tangannya justru menunjukkan jalan supaya Ani, Rina dan Bobi terus masuk ke ruang depan.
Ani terpana begitu berada di ruang itu. Sebuah ruang yang besar berloteng tinggi penuh perlengkapan seperti mesin dan laboratorium kimia. Beberapa komputer besar sedang menyala, dan bunyi geram aneh yang sering didengarnya dari rumah meraung dengan lebih keras di sini.
Seorang pemuda lain tampak duduk di atas balkon lantai dua, tak jauh dari jendela terbuka yang misterius itu. Pemuda itu tersenyum pada tamu-tamu kecilnya. Ani berdegup, ternyata manusia-manusia misterius itu ramah-ramah. Bertiga mereka berbincang dengan Kak Arman, pemuda yang tadi membukakan pintu buat mereka.
"Saya sedang merancang sebuah mesin yang bisa berkomunikasi dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan," katanya. "Suatu kali saya berhasil memanggil serombongan burung bangau yang sedang dalam perjalanan migrasinya dari sungai utara ke selatan. Untung tidak terlalu banyak yang datang, kalau tidak tentu peralatan di sini bisa hancur akibat serangan mereka."
Ani terangguk-angguk. Dari tadi dia hanya bisa bengong menyaksikan isi ruangan yang luar biasa itu.
"Akbar, kakak saya yang di atas itu, sedang bereksperimen membuat alat yang bisa mengirim orang berpindah seperti cahaya, barangkali dia ingin membantu saya agar tidak terlalu sulit menggerakkan kursi roda kalau mau pergi ke mana-mana," ujarnya sambil tersenyum ke arah kakaknya di lantai atas."
* * *Keluar dari rumah misterius itu, Ani tersenyum puas. Tak ada lagi misteri. Dia kini menikmati pemandangan dari jendela yang terbuka sepanjang hari itu, menanti jika ada cahaya dan suara lagi yang keluar dari sana. Dia bersyukur telah mengikut saran ibunya, untuk datang ke sana sebagai sahabat, bukan dengan curiga.[]
Tokyo, Oktober 2002. Tidak dipublikasikan
Kembali ke Halaman Depan