SAYA duduk di depan cermin. Menatap wajah yang sudah berubah seperti seorang putri raja dari sebuah kerajaan. Garis alis ditarik tinggi melengkung seperti bulan sabit. Bibir dipoles merah mawar dengan lekukan yang jauh melebar dari batas bibir. Pipi merona merah oranye tipis. Rambut ditata tinggi menggelembung di atas kening, disangga dengan kawat yang terasa menusuk-nusuk kulit kepala. Rasanya seperti menjadi badut sirkus. Saya nyaris tak mengenali lagi siapa pemilik wajah di cermin itu.

Orang di sekitar saya sibuk mondar mandir dan berceloteh, tertawa, berseloroh, mencoba pakaian ini itu di badan mereka. Semua tampak bahagia. Ruang yang biasanya adalah kamar tidur saya kini jadi ruang rias bagi persiapan pernikahan saya hari ini. Saya bisa melihat dari bayangan cermin Tante Mira dan kedua anaknya. Tante Kirana dan si bungsu Tika yang akan mendampingi saya di pelaminan. Tante Diah dengan putranya Dodi yang akan jadi pendamping laki-laki. Adik-adik ibu itu telah berdandan, berpenampilan amat berbeda dari sehari-hari. Mereka mengenakan pakaian terbagus, kebaya panjang sutra dan songket yang masih menebarkan harum kapur barus dan kilau kain yang jarang terkena matahari.

Tante Diah mendekati saya. Dari belakang dia tersenyum lebar sambil menelengkan kepala memandangi bayangan saya di cermin. Saya memberi tanda untuk mengajaknya duduk di samping saya. Tante Diah menarik kursi, membenamkan tubuh langsingnya di sana, kemudian memutar kursi menghadap saya. Saya berbicara kepada bayangannya.

"Waktu menikah dulu, Tante pernah merasa ragu?"

"Ragu?"

"Ya, misalnya, soal apakah tante sudah mendapatkan pasangan yang tepat, apakah dia suami yang baik, calon ayah yang baik bagi anak-anaknya nanti?.

"Kok dipikirin sekarang?"

"Entah kenapa, saya tiba-tiba merasa cemas. Kalau sudah melangkah lebih jauh dari sini, sulit untuk kembali surut."

"Sudah jangan terlalu dipikirkan, kalian kan sudah saling kenal bertahun-tahun. Kecocokan yang dirasakan selama waktu itu, yang sudah mengantar kalian sampai pada keputusan ini, sudah cukup untuk menjadi bekal."

Tante Diah tidak tahu kalau calon yang akan menikahi saya hari ini bukan Azwar yang pernah ditemuinya di teras tiga tahun berselang, tapi Anwar yang baru saya kenali di tempat kerja tiga bulan lalu. Mestinya saya memberi tahu ini agar mendapat pertimbangan yang lebih baik, tapi seseorang memanggil Tante Diah dari luar ruangan. Dia bangkit, pergi, meninggalkan saya dalam keraguan yang masih tersisa. Mengapa baru muncul di saat terakhir, itu juga pertanyaan saya sekarang. Seolah-olah saya menjalani masa-masa setelah bertunangan dengan Anwar dalam keadaan tidak sadar, terbius oleh kegirangan menyambut sebuah pengalaman yang telah lama dinantikan. Daya pikir saya tersumbat, daya kritis saya tumpul. Baru setelah semua kenyataan tampak jelas-jelas di mata, ketika ijab kabul akan diucapkan, mata saya terbuka lebar dan segala kemungkinan buruk terbayangkan.

Sekarang Tante Kirana datang mendekat sambil membawa Tika yang sedang menangis. Airmatanya merusak riasan yang sudah rapi di seputar matanya.

"Aduh Tika, sudah didandani begini kok nangis, lihat tuh, riasan matanya jadi belepotan," Tante Kirana mengomel sambil mengusap mata anaknya yang merah basah.

"Tika nggak mau sama Dodi."

Untung Tante Diah dan anaknya Dodi sudah keluar ruangan. Dodi dan Tika seumur. Kelas satu di sekolah yang sama.

"Tika bosan kalau harus ketemu Dodi terus setiap hari. Dodi nakal."

Bertemu setiap hari. Ini satu lagi yang belum terbayangkan. Saya belum pernah membayangkan bagaimana rasanya bertemu dengan Anwar setiap hari. Ketika lamarannya disampaikan, saya sempat merasa bahagia. Ingin segera mengalami hidup berumah tangga, menjadi lebih dewasa, menyingkap sebuah rahasia kehidupan yang baru. Pengalaman yang luar biasa. Tapi membayangkannya kini, berhadapan dengan seorang yang tidak saya kenali lebih jauh dari sekadar nama dan tanggal lahirnya, penampilan dan makanan kesukaannya, saya merasa gamang. Saya belum tahu bagaimana kebiasaannya di pagi hari, ketika penampilan sedang berada di titik terendah, rambut kusut, mulut bau, mata merah, peluh dan daki masih menempel. Saya tidak tahu apakah ada sesuatu yang aneh dalam kebiasaan hidupnya. Bagaimana kalau dia sedang marah besar, bagaimana kalau dia sedang tidak sabar dan jengkel. Saya teringat dia pernah bersuara keras di telepon memarahi seorang bawahannya yang melakukan kesalahan, suatu saat tentu suara seperti itu akan digunakannya pada saya. Barangkali saya akan cepat bosan bersamanya, bertemu dengan dia setiap hari. Tika yang masih kecil bisa melihat kemungkinan itu lebih cepat daripada saya.

"Nanti Dodi nggak boleh tinggal di rumah kita ya, Ma?" kata Tika lagi.

Tante Kirana tersenyum, nyaris menyemburkan tawa. Tapi Tante Kirana bukan ibu yang suka menganggap remeh perkataan anak-anak. Dengan wajah sungguh-sungguh dia menjawab, "Hari ini upacara pernikahannya Kak Rina, Tika dan Dodi hanya menemani di pelaminan besok. Tika belum akan menikah hari ini. Kalau Tika sudah besar nanti, Tika boleh pilih siapa yang tika senangi untuk duduk bersama di pelaminan."

Pelan-pelan Tika mengangguk. Airmatanya sudah tidak mengucur lagi.

Saya tersenyum sendiri menyaksikan adegan tadi. Tante kirana mengedipkan mata ke arah saya, saya membalas. Ya, saya telah memilih orang yang saya suka untuk duduk di pelaminan, tapi adakah jaminan dia orang yang tepat. Saya tidak mengenal dia cukup jauh untuk bisa memastikan itu. Kata orang, pasangan bisa berubah menjadi seorang yang berbeda sama sekali setelah menikah. Siapa yang bisa memastikan bagaimana perubahan itu, mungkin jadi makin baik mungkin juga jadi makin jelek. Berapa banyak berita tentang perceraian dan perselingkuhan yang terungkap di koran dan majalah, menjadi gosip yang berbedar dalam perbincangan sehari-hari di kantor dan warung-warung. Saya bukannya ingin membatalkan ini. Langkah yang sudah terlalu jauh diambil ini sulit untuk ditarik mundur. Sudah terlalu banyak orang yang terlibat. Tiba-tiba saya seperti masuk ke dalam lorong satu arah, tak bisa berbalik. Saya hanya butuh keyakinan diri untuk terus melangkah dengan mantap. Seandainya saya bisa diyakinkan saat ini, saya akan mampu masuk ke ruang upacara pernikahan nanti dengan kepala tegak dan langkah pasti.

Saya tidak ingin kami nanti menjadi seperti pasangan yang pernah saya lihat di sebuah restoran. Mereka yang berpenampilan sangat menarik. Wanitanya cantik, dengan rambut hitam berombak, kulit putih dan tubuh semampai terbalut pakaian mahal. Penampilan yang saya idealkan untuk diri saya sendiri. Prianya gagah, dengan wajah bersih, rahang kuat dan berpakaian rapi. Saya tak malu-malu menatapnya, merasakan cemburu ingin mendapat pasangan seperti dia. Mereka duduk berhadapan, bukan saling menatap, hanya diam, asyik dengan lamunan masing-masing. Tak ada percakapakan antara mereka hingga makan siang selesai. Hening. Dingin. Gerakan mereka seperti robot. Mengangkat cangkir, menyeruput isinya, menyendokkan makanan ke dalam mulut, mengelap bibir. Masing-masing seperti tidak menyadari kehadiran yang lain di hadapannya. Seolah-olah mereka duduk bersama karena terpaksa, jemu dengan keadaan itu. Pasangan ideal yang tak terjalin oleh kehangatan kasih sayang. Tak ubahnya dua boneka manekin bertubuh sempurna dengan senyuman kaku dan tubuh beku.

Saya cemas kalau-kalau di antara kami terdapat benih untuk menjadi seperti itu. Saya baru masuk kerja beberapa hari di tempat kerja yang baru ketika pertama bertemu dengan Anwar. Dia duduk di dalam ruang kerjanya dengan pintu yang selalu dibiarkan terbuka. Kata orang itu pertanda sikap terbuka, yang mau mendengar pendapat orang dan memperhatikan keluhan rekan kerja. Anwar adalah manajer pemasaran di kantor kami, sebuah majalah mingguan. Saya bekerja sebagai salah seorang reporter di majalah itu, dengan pengalaman kerja beberapa tahun di majalan lain sebelumnya. Setiap kali berada di kantor, saya selalu melihatnya duduk di belakang meja besar itu, kadang-kadang sedang berdiskusi bersama beberapa orang di divisinya, kadang sendirian menekuni kertas-kertas di depannya, membaca atau menulis di depan komputer. Sesekali saya melihat dia berbicara, berdiri di dekat papan putih, menuliskan sesuatu atau menunjuk gambar grafik dan angka-angka. Angka-angka adalah urusannya. Kata-kata adalah urusan saya.

Saya mengenal dia lebih dekat ketika suatu sore saya mewawancarai seorang tamu yang berkunjung ke kantor kami. Seorang tokoh partai yang sedang melejit namanya sebagai calon presiden, mengunjungi kantor kami dalam rangka pendekatan massa jauh-jauh hari sebelum pemilu dan pekan kampanye. Anwar sebagai wakil dari pimpinan perusahaan menemani tokoh itu dalam wawancara. Dia memandangi saya setiap kali saya mengajukan pertanyaan, pandangannya terlalu lekat, menyelidik, membuat saya merasa kikuk dan sangat terganggu, tapi saya tidak bisa memintanya untuk keluar ruangan. Dia menikmati percakapan dalam wawancara itu dan sering memberi komentar-komentar singkat. Tamu baru pulang jauh setelah jam kerja berakhir. Anwar menawarkan untuk mengantar saya pulang. Saya tidak menolak. Kami memulai perkenalan yang akrab setelah kejadian itu. Dua bulan kemudian dia melamar saya. Usia kami bertaut tujuh tahun.

Saya punya kesan baik tentang dirinya. Karyawan dengan prestasi bagus, berpenampilan yang rapi dan menarik, latar keluarga yang baik, orang yang ramah, pintar dan cekatan bekerja. Semua orang bilang apalagi yang membuat saya ragu, semua bekal kebaikan ada pada dirinya. Dari dulu saya tidak ragu, hanya pada saat-saat terakhir inilah dalam benak saya membersit sebuah pertanyaan, apakah ini bukan pilihan yang terlalu tergesa-gesa?

Ruangan kini sepi. Tinggal saya sendiri. Saya mendengar riuh rendah suara tamu pun di ruang tengah mulai tenang. Dari pengeras suara terdengar pemberitahuan bahwa penghulu sudah tiba, keluarga calon penganten pria pun sudah datang. Jantung saya berdegup kencang. Benar-benar sudah tak ada waktu lagi untuk keraguan ini. Saya tidak ingin masuk ke ruangan itu dengan wajah yang memantulkan keraguan, langkah yang tertahan-tahan karena kecemasan yang belum terjawab. Saya berdoa dalam hati, memohon keyakinan dan keteguhan. Setiap hari barangkali ada jutaan manusia yang menikah, bercerai, punya anak, hidup dalam keluarga yang morat-marit ataupun bahagia.

Dalam kegalauan di saat-saat terakhir itu, ibu mendatangi saya. Beliau berdiri di belakang saya, meletakkan kedua tangannya di bahu saya. Cincin belah bambu di tangan kanan ibu terpantul di cermin. Cincin perak yang tak pernah lepas dari jari manisnya di tangan kanan sejak hari pertama pernikahannya, demikian sering ibu bercerita kepada saya. Di sisi dalam cincin itu terukir nama ayah dan ibu. Ibu tidak berkata apa-apa, hanya matanya terlihat basah, tangannya menekan kuat bahu saya sejenak kemudian pergi. Telah terlalu banyak yang kami ucapkan selama ini, saya pun terhenyak kenapa keraguan ini masih tersisa.

Kehadiran ibu yang sesaat itu kembali meneguhkan saya. Saya akan mengambil jalan yang pernah ditempuh ibu. Saya bukan orang pertama yang melalui jalan ini, yang mengalami badai keraguan di saat-saat terakhir yang membatasi antara lajang dan berpasangan. Saat saya disahut untuk masuk ke ruang tengah rumah kami, tempat upacara dilangsungkan, langkah saya terasa ringan dan ingin cepat-cepat menyongsong ikatan yang kukuh itu.[]


Tokyo, Juni 2003. Tidak dipublikasikan


Kembali ke Halaman Depan